Opini

Ayo Wujudkan Samarinda Bebas DBD (Demam Berdarah Dengue)

Kaltim Today
15 Juni 2021 15:43
Ayo Wujudkan Samarinda Bebas DBD (Demam Berdarah Dengue)

Oleh: Evieyana (Mahasiswi Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta)

Pandemi Covid-19 yang saat ini menyerang hampir seluruh kota di Indonesia memang sangat mengkhawatirkan dan saat ini pun masih dikembangkan vaksin dan meningkatkan protokol kesehatan. Akan tetapi, tidak hanya Covid-19 saja yang patut diwaspadai, adapula wabah lain yang masih terus terjadi dan juga mengancam yakni demam berdarah.

Wabah demam berdarah masih terjadi di beberapa daerah khusunya di Samarinda, Kalimantan Timur, dimana kota ini menjadi jalur pelayaran karena adanya Sungai Mahakam sehingga berpengaruh juga pada kemajuan di bidang sosial budaya, pertanian, industri hingga ekonomi sehingga mempengaruhi mobilitas penduduknya.

Akibatnya cukup berdampak pada lingkungan bahkan kesehatan masyarakat yang menurun karena lahan yang tersedia semakin sempit menyebabkan vektor nyamuk dapat berkembang. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue dan salah satu dari empat serotipe virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae (Boewono, Ristiyanto, & Widiarti, 2012).

Masuknya virus ini ke dalam tubuh manusia dengan cara perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit ini dapat menyerang hampir setiap daerah di Samarinda karena virus ataupun penularnya dapat tersebar di area perumahan penduduk atau di tempat umum, salah satu yang tidak terjangkau adalah tempat-tempat yang berada di ketinggin 100meter dpl (A., 2014). Adanya perubahan lingkungan dalam jangka panjang bisa menentukan pola penyebaran penyakit tular vektor DBD dan vektor malaria di ekosistem tertentu. 

Siklus dan Penyebaran Penyakit

Siklus dari vektor DBD dimulai saat nyamuk Aedes sp. betina yang menggigit seseorang dengan diagnosa demam berdarah maka dapat menyebabkan virus dengue tersebut ikut masuk melalui darah. Lalu mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan dengan beberapa tahap antara lain telur, larva, pupa, hingga menjadi nyamuk dewasa dan termasuk metamorfosis sempurna (holometabola) kemudian virus ini akan berada terus dalam tubuh nyamuk.

Masa inkubasi virus dengue dalam tubuh nyamuk adalah 8-10 hari setelah menghisap darah dari penderita demam berdarah. Sesudah masa inkubasi, maka kelenjar ludah nyamuk menjadi terinfeksi virus dan itulah yang menyebabkannya dapat tertular pada orang lain melalui gigitannya. Seseorang yang sudah terinfeksi virus dengue akan mengalami masa inkubasi sekitar 4-7 hari dan akan ditandai gejala klinis awal penyakit seperti demam, mual, muntah, hilang nafsu makan dan hal ini berlangsung pada 3-5 hari. (Prasetyani, 2015).

Jika pasien DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap dan masuk dalam lambung nyamuk. Virus ini akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya, bersamaan air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.

Sekitar seminggu sesudah menghisap darah pasien DBD, maka nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain atau dikenal dengan masa inkubasi ekstrinsik dan virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. 

Insiden dan Faktor Risiko

Kepadatan penduduk di Samarinda merupakan salah satu faktor transmisinya virus dengue dari nyamuk yang terinfeksi ke manusia dan dari manusia ke nyamuk yang tidak terinfeksi. Infeksi dari virus dengue itu tersebar lewat beberapa faktor yaitu hospes, lingkungan dan agen penyakit.

Jika tersebar oleh vektor, ini dapat juga dipengaruhi oleh perubahan iklim, di Samarinda beberapa bulan terakhir sering diguyur hujan hampir setiap hari dengan intesitas sedang sehingga beberapa kali menimbulkan banjir di beberapa tempat dan daerah. Maka daerah tersebut akan lemab dan udaranya kurang optimal sehingga menyebabkan daya tahan hidup nyamuk bertambah menurut beberapa kajian yang menyatakan jika meningkatnya suhu maka kasus dengue mengalami penurunan (Muliansyah & Baskoro, 2016).

Ada pula faktor keberadaan agen dan lingkungan, peningkatan mobilitas dan kepadatan penduduk akan menjadi salah satu penyebab meningkat dan meluasnya sebaran penyakit DBD. Selain itu, rendahnya standar kelayakan di daerah perkotaan seperti sistem pengelolaan air yang tidak mumpuni juga termasuk ke dalam faktor sosio-demografi. 

Strategi Pengendalian

Upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan 3 metode, antara lain:

Metode Lingkungan:

Dapat dilakukan dengan menguras bak mandi atau penampungan air minimal sekali seminggu, menutup dengan rapat penampungan air, dan mengubur kaleng-kaleng bekas hingga ban bekas disekitar rumah.

Metode Biologis:

Dapat menggunakan biota sungai seperti ikan kepala timah, cupang hingga ikan nila dan Bacillus Thuringiensis Var Israeliensis (Bti).

Metode Kimia:

Dengan fogging dan menyemprotkan zat kimia seperti insektisida ke sarang nyamuk seperti selokan hingga tempat yang kumuh, penggunaan anti nyamuk bakar yang digolongkan ke dalam pengendalian secara kimia. Akan tetapi, penggunaan metode kimia secara berlebihan dan berkelanjutan dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya pada manusia, contohnya asap fogging. Oleh karena itu, lebih baik jika difokuskan pemberantasannya menggunakan metode lingkungan atau biologis. Di kota Samarinda sendiri, beberapa kecamatan yang dipandu oleh Dinas Kesehatan Kaltim sudah melakukan upaya pemberantasan DBB berupa penanggulangan thermal fogging, pemeriksaan jentik, gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), lalu menerapkan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) habitat nyamuk vektor, penyuluhan masyarakat dan larvasidasi. 

Penutup 

Penyakit DBD tidak bisa kita abaikan karena akibat terburuknya dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu baik dari pihak pemerintah, Dinas Kesehatan Samarinda hingga ke RT lebih ditegaskan dan diketatkan lagi dalam menangani kasus DBD ini, terutama penyuluhan dan pemantauan penyebaran penyakitnya. 

Hal yang dapat dilakukan seperti melakukan penyuluhan secara berkala, membagikan kelambu dan menerapkan satu rumah satu jumantik dimana kepala keluarga tersebut bertanggung jawab dalam memantau dan memperhatikan keberadaan dari jentik. Seandainya ada, maka harus segera dibuang dan melaporkan pada RT atau kelompok organisasi di daerah masing-masing. Masyarakat juga diimbau agar lebih disiplin dalam menjaga dan membersihkan lingkingannya agar menghindari perkembangbiakan nyamuk.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya