PPU

Chamber Disoal, Alasan AGM Berhenti Urus Corona

Kaltim Today
30 Juni 2021 20:33
Chamber Disoal, Alasan AGM Berhenti Urus Corona
Teks foto: Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Ghafur Mas’ud (AGM). (Foto: Alif/kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Penajam – Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Ghafur Mas’ud (AGM) kembali menegaskan bahwa dirinya enggan menangani kasus Covid-19. Alasannya karena usaha pengadaan chamber disinfektan yang dipersoalkan dan landasan hukum yang dianggap tidak jelas.

AGM menyampaikan, selama ini pihaknya sudah semaksimal mungkin memprioritaskan keselamatan masyarakat PPU. Hal itu baik dalam bentuk kebijakan ataupun pengadaan barang dan jasa sebagai usaha penanganan Covid-19. Namun demikian, dirinya merasa kecewa karena hal tersebut justru dipersoalkan.

“Diperiksa itu begini, kan kawan-kawan media pasti tahu nih ada laporan dari ini, akhirnya masuk ke kejaksaan dan kepolisian,” ungkapnya kepada awak media pada Rabu (30/6/2021).

Pihaknya menilai, bahwa kondisi pada awal pandemi Covid-19 merebak sebagai kondisi darurat, menuntut pemerintah untuk bertindak cepat. Atas dasar itu, dirinya memutuskan untuk mengadakan chamber disinfektan di PPU.

Sebagaimana diketahui, kondisi darurat kesehatan masyarakat karena Covid-19 ditetapkan dengan Keppres 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Hal ini karena Covid-19 menyebabkan hal yang bersifat kejadian luar biasa (KLB).

“Cuma belakang saat 2020 itu keadaan darurat dan genting. Semua bisa melihat saat itu, masker saja melonjak harganya yang biasa Rp 50 ribu menjadi Rp 500 ribu. Apalagi Kaltim tidak ada yang buat, tak ada penyedia dan pembuatnya kecuali di pulau Jawa,” ujarnya.

AGM mengklaim bahwa, usaha menekan kasus Covid-19 di PPU selama ini cukup berhasil, sebab angka terkonfirmasi positif Covid-19 relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Kaltim. Padahal, PPU merupakan daerah perlintasan Balikpapan-Paser, serta Kalsel yang notabene sangat beresiko bagi penyebaran Covid-19.

“Karena chamber ini harganya bisa Rp 46 juta, sedangkan anggaran kami terbatas. Bukan dari APBN, anggaran itu dipotong dari APBD. Yang harusnya kita membangun jalan, infrastruktur yang baik itu terhambat dengan kondisi ini. Nah, saat itu dalam keadaan panik, dan berpikir cepat dalam menangani ini, maka kita adakan semuanya” lanjutnya.

Keppres 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dirasa olehnya kurang mengakomodasi tindakan kepala daerah dalam usaha menangani pandemi Covid-19. Pihaknya menganggap hal itu berbahaya, bahkan mudah untuk dipolitisasi.

“Hanya saja, kalau ini jadi masalah, takutnya Keppres, Pergub dan Perbup ini tidak menjadi acuan. Kami takut, nanti kami melakukan ini, menjadi masalah buat diri kami, keluarga juga akan malu,” tuturnya.

[ALF | RWT]



Berita Lainnya