Opini

Dampak Revisi UU Minerba untuk Calon IKN

Kaltim Today
16 Juni 2020 10:08
Dampak Revisi UU Minerba untuk Calon IKN

Oleh: Syarifa Ashillah (Aktivis muslimah di Penajam)

Di tengah pusaran pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini, rakyat kembali menerima pil pahit dari DPR dan pemerintah dengan disahkannya Revisi Undang-Undang 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) resmi disahkan lewat rapat paripurna pada Selasa, 12 Mei 2020. Pengesahan UU Minerba tersebut menuai gelombang penolakan dari berbagai pihak khususnya lembaga swadaya masyarakat dan aktivis lingkungan yang menilai muatan pasal UU tersebut berpihak pada perusahaan-perusahaan (korporasi) dan mengabaikan kepentingan masyarakat wilayah pertambangan dan kelestarian lingkungan. Misal organisasi sipil Auriga Nusantara, Walhi dan Jatam menyerukan untuk pembatalan pada presiden.

Ada banyak pasal yang ditambahkan, dihapus dan diubah namun hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, tak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang. Tujuan dari UU ini bukan pemanfaatan minerba melainkan penguasaan energi kotor ini. Ketika banyak negara-negara di dunia menurunkan penggunaan Batubara untuk mencegah pemanasan global. Indonesia malah membuka jalan bagi para korporasi menguasai minerba dengan kemudahan izin pertambangan. 

Dikebutnya pengesahan UU ini diduga karena akan berakhirnya izin tujuh perusahaan tambang baru bara pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Yang notabene perusahaan tambang terbesar di Indonesia. Lima di antaranya berada di Kalimantan Timur yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal. Total luas pertambangan di Kaltim sebanyak 5,1 juta hektar dari luas wilayah Kaltim 12,5 juta hektar. Ada 1.190 IUP (izin usaha pertambangan) di bumi Borneo. Jumlah tersebut belum termasuk izin Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) seluas 1,3 juta hektare. Jadi separuh wilayah Kaltim adalah wilayah pertambangan.

Termasuk calon IKN tak luput dari aktivitas ini, jumlah tambang di kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mencapai 625 IUP (kompas.com 29/08/19) lebih dari setengah dari IUP di Kaltim sedangkan kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menurut Dinas ESDM Kaltim mencatat sebanyak 152 IUP yang diterbitkan di Kabupaten PPU (Kompas 5/08/19). 

Dengan diketuk palu nya UU yang memberikan waktu 40 tahun bagi korporasi menguasai wilayah tambang, semakin membuat Borneo termasuk calon IKN makin dieksploitasi segelintir orang saja, berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian masyarakat bisa dilihat dari tingkat pengangguran di Kaltim yang tergolong tinggi karena jumlahnya mencapai 6,6 persen dari total jumlah angkatan kerja. Sedang dilansir dari kutairaya.com pada tahun 2015 ada 63% pengangguran lulusan SMU di Kukar dan di PPU dilansir dari beritagar.id pada Rabu, 31 Juli 2019 angka pengangguran dan kemiskinan di wilayah Batubara sebesar 7%. Sehingga berefek pada kemiskinan. Pada September 2018 ada 6,06% warga miskin di Kaltim.

Revisi UU ini menghilangkan pasal 82 ayat 2 yaitu pembatasan kawasan eksplorasi tambang. Semakin membuat provinsi ini dieksplorasi besar-besaran. Terlebih ditambahnya pasal baru (pasal 1 ayat 28a) yang menyebutkan setiap jengkal wilayah di kepulauan Indonesia baik darat dan laut boleh dilakukan aktivitas pertambangan, di Kukar jarak penambang sangat dekat dari pemukiman kurang dari 500 meter sehingga sangat berbahaya bagi masyarakat baik polusi atau hilangnya lahan, laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ada 50 persen lahan pertanian hilang. Pemerintah berdalih jika kawasan lumbung pangan ada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) tak sebanding antara lahan pertanian dengan lahan untuk pertambangan Batubara untuk menyediakan beras untuk sekitar 3,5 juta jiwa di Kaltim. Padahal realitasnya lahan sudah sangat berkurang.

Lewat revisi UU tersebut, pemerintah menjamin perpanjangan izin perusahaan pertambangan tanpa ada evaluasi perusahaan-perusahaan terkait atas kewajiban mereka terhadap reklamasi dan pasca tambang. Padahal ada 1.735 lubang tambang (2018) yang belum direklamasi dan 94 lubang yang tersebar di kawasan IKN data dari JATAM. Maka tak pelak lubang ini menelan 36 korban meninggal karena tenggelam. Paling banyak korban terdapat di Kab. Kukar (IKN). Dalam UU minerba baru tetap dipertahankan pasal yang menyatakan jika warga menghalangi-halangi kegiatan pertambangan maka akan dikenakan sanksi. 

Juga ketentuan baru dalam pasal 1 ayat (13a) yaitu Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru. Belum lagi dihapuskannya Pasal 165  tentang penyalahgunaan Kewenangan penerbitan izin diberi sanksi pidana. Padahal penerbitan izin pertambangan merupakan salah satu sektor yang sarat akan korupsi. Termasuk di dalamnya penyalahgunaan wewenang seperti kasus hukum yang menimpa Bupati Kukar tahun 2018 yang divonis 10 tahun penjara karena gratifikasi perizinan tambang.

Dan banyak pasal lainnya yang kontroversial. Pembahasannya di tengah pandemi serta pembuatannya banyak menabrak UU yang lain terutama tentang lingkungan hidup. Belum lagi tambang Batubara pada rezim ini memiliki tempat yang khusus tak hanya satu produk hukum. Tapi juga akan lahir regulasi lain yang semakin mempermudah pengusahaan tambang melalui omnibus law yang juga masuk dalam prolegnas. Walau menuai protes tetap saja pemerintah kekeuh melegalkannya. Oleh karena itu, disahkannya RUU Minerba menandai makin kokohnya oligarki kekuasaan dan pengaruh perusahaan swasta atas negara karena mengakomodasi kepentingan korporasi. Oligarki ini sebagian besar ada di lingkaran Istana Negara dan DPR RI di Senayan bagaimana tidak, ada 262 anggota DPR, menteri, kabinet dan kepala daerah adalah pengusaha. 

Ironi memang ketika jutaan rakyat terancam di PHK, kelaparan, dan kemiskinan dampak dari Covid-19 pemerintah mempertontonkan ‘ketidakbecusan’ dalam menentukan kebijakan apa yang diprioritaskan. Tapi bukan tanpa alasan pemerintah melakukan ini dalam sistem demokrasi yang merupakan sistem berbiaya tinggi(biaya kampanye, mahar politik dll) maka tak heran jika calon penguasa mencari sokongan dana dari penguasa namun no free lunch. Ketika kursi jabatan diraih mereka membayar jasa dengan kebijakan. Maka jangan heran jika kebijakan yang pro pengusaha lahir dalam Demokrasi. Bahkan menurut Manajer Kampanye Jatam Nasional Melky Nahar, ada korelasi antara kepentingan pengusaha, parlemen dan eksekutif di dalam pengesahan UU ini. Ia juga mensinyalir keberadaan para pengusaha tambang di balik pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019 lalu. Kedua calon sama-sama didukung oleh pengusaha tambang di belakangnya. 

Oleh karena itu, Demokrasi sudah pasti melahirkan Korporatokrasi yang merupakan bentuk perselingkuhan antara Korporasi dengan Birokrasi. Sehingga terjadi sebuah oligarki kekuasaan. Ini semua terjadi karena penerapan sistem yang ada di Indonesia yaitu sistem kapitalisme. Di mana sudah menjadi konsekuensi negara menyerahkan sumber daya kepada korporasi untuk dikeruk sedang negara hanya regulator dan fasilitator. Walau dalam amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menjamin bahwa SDA untuk kemakmuran rakyat tapi nyata berbenturan dengan regulasi lainnya. Seperti UU penanaman modal juga UU Minerba yang sangat berpihak kepada kapitalis. Sedang negara hanya mengemis pajak yang tak seberapa baik kepada para kapitalis (dengan memberikan diskon pajak) juga kepada rakyat. 

Rakyat harus menanggung sendiri kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan yang semakin mencekik padahal Allah telah mengaruniakan alam Indonesia dengan sangat kaya jika saja pengaturan ekonomi menggunakan pandangan Islam maka rakyat akan benar-benar menikmati kesejahteraan. Dalam Islam kepemilikan harta dibagi menjadi 3, salah satunya milikyyah ammah ammah yaitu kepemilikan umum yaitu semua SDA yang ada adalah harta kaum muslimin yang dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan. Sesuai dengan tutur mulia Rasulullah Saw "kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu Padang rumput, api dan air (HR. Abu Daud dan Ahmad)". Dan minerba masuk dalam kategori api. Maka dengan landasan hadis ini, haram menyerahkan SDA kepada individu atau swasta untuk dikelola. 

Namun ekonomi Islam harus ditopang dengan politik Islam yaitu seorang khalifah (pemimpin) harus memiliki pandangan bahwa ia seorang pengurus umat bukan perpanjangan tangan segelintir orang untuk menguasai harta milik umum. Khilafah akan berpegang pada hadis Rasulullah SAW: "Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Bagaimana catatan sejarah mencatat begitu banyak prestasi negeri Islam di bawah naungan Khilafah dalam membantu negara-negara lain yang sedang dilanda krisis misal irlandia atau pada abad ke 18 Khilafah Turki Utsmani pernah mengirimkan bantuan pangan kepada Amerika pasca perang melawan Inggris. Ini menandakan bahwa negeri Islam kala itu menjadi negeri yang adidaya. 

Untuk meniru kesuksesan Khilafah dalam mengurus perekonomian, Indonesia terlebih dahulu harus melepaskan diri cengkeraman sistem demokrasi-kapitalis  yang memberikan ruang bagi birokrasi dan korporasi berselingkuh untuk menguasai bumi pertiwi. Sedang rakyat makin sengsara.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Related Posts


Berita Lainnya