Opini

Dana Desa di IKN Ikut Terpangkas Akibat Covid-19

Kaltim Today
01 Juni 2020 09:09
Dana Desa di IKN Ikut Terpangkas Akibat Covid-19

Oleh: Syarifa Ashillah (Member Revowriter Kaltim, pemerhati politik dan sosial)

Sejak pandemi Corona berlangsung di Indonesia, perekonomian Indonesia babak belur, tersungkur di hadapan Covid-19. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh jajaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan realokasi dan refocusing APBN dan APBD. Sri Mulyani merespons dengan cepat arahan ini. Menkeu mengatakan, ada total Rp 62,3 triliun dari realokasi anggaran APBN, baik di pemerintah pusat maupun daerah. (CNBC, 20/03/20)

Menurut catatan Kemenkeu, penghematan belanja negara diperkirakan bisa mencapai Rp 190 triliun yang bisa digunakan untuk pembiayaan memerangi wabah ini. Terdiri dari belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 95,7 triliun dan TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) Rp 94,2 triliun.

Adapun beberapa anggaran yang direalokasi dan dihemat oleh pemerintah adalah belanja barang perjalanan dinas, biaya rapat, honorarium, belanja non-operasional, serta belanja barang. Pemerintah memang merombak anggaran belanja, termasuk realokasi dana desa dalam APBN 2020 digulirkan pemerintah. Sebelumnya pemerintah telah mengabarkan akan menganggarkan dana penanganan dampak Corona mencapai Rp 405 triliun. Di mana Rp 110 triliun untuk jejaring pengaman sosial. 

Dan khusus bantuan sosial (bansos), anggarannya diambil dari realokasi dana desa tahun anggaran 2020. Dilansir dari CNBC (20/03/20) pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, telah mengidentifikasi ada Rp 56-59 triliun dana desa bisa dialihkan untuk menangani virus Corona. Pemerintah memang menganggarkan Rp 21 triliun untuk bansos.

Tak ketinggalan dana desa yang ada di calon ibu kota negara, Penajam Paser Utara (PPU) pun ikut dipangkas. Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBD dan Dana Desa (DD) dari APBN untuk 30 desa di Penajam Paser Utara juga ikut dipangkas. Tujuannya tidak lain untuk memperkuat anggaran penanggulangan Covid-19 setiap desa melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 600 ribu.

Menurut Kabid Pemerintahan Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten PPU, Nurbayah total ADD yang dianggarkan sebanyak Rp 102 miliar lebih dan sekarang menjadi Rp 73 miliar lebih saja setelah dipangkas, sedangkan DD dari total Rp 36,8 miliar terpangkas menjadi Rp 300 juta lebih (IDN Times, 01/05/20).

Melihat jumlah dana yang dipangkas pemerintah pusat (Rp 56-59 triliun) tentu jumlah ini cukup besar, karena total Dana Desa tahun 2020 ini sebesar Rp 72 triliun. Artinya mayoritas akan direalokasi untuk percepatan penanganan wabah ini. Padahal sejatinya dana desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan.  

Kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi di banding kemiskinan di perkotaan. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan pedesaan pada Maret 2019 sebesar 12,85 persen (15,15 juta orang), sedang kemiskinan perkotaan yang hanya 6,69 persen (9,99 juta orang).

Seyogyanya pemerintah kembali mengkaji ulang regulasi ini, dana desa tak perlu dijamah sebagai sumber pendanaan bantuan Covid-19. Kita masih bisa mencari sumber pendanaan yang lain. Seperti negara dapat mengambil dana anggaran pembangunan infrastruktur, utamanya terhadap rencana pemindahan IKN, saat ini pemindahan ibu kota belum menjadi kebutuhan mendesak rakyat. Jangan sampai karena kajian yang kurang mendalam tentang pemangkasan Dana Desa membuat masalah yang baru di kemudian hari.

Memang berbagai strategi ditetapkan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan untuk menanggulangi dampak Covid-19. Termasuk menggali sumber pembiayaan eksternal seperti pemerintah pusat merencanakan pembiayaan dari market (pasar) dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) baik Surat Utang Negara (SUN) maupun Sukuk termasuk Surat Berharga Ritel (SBR) baik di pasar domestik maupun pasar global (valas).

Sedang Pemkab PPU melalui Bupati PPU Abdul Gafur Masud (AGM) meminta perusahaan yang beroperasi di PPU wajib berpartisipasi dalam membantu pemerintah menangani Covid-19 di PPU, target yang ingin didapat sekitar Rp 2-3 miliar, namun baru Rp 922 juta yang diterima di Pemkab seperti yang dilansir dari tribunkaltim.co, 23/04/20. Angka ini dapat dari delapan perusahaan ditambah sumbangan dari masyarakat. Sedang sepuluh perusahaan yang belum berkontribusi maka akan dievaluasi, begitu kata Kapala Bagian Ekonomi, Sekretariat Kabupaten PPU, Durajat.

Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme. Negara tidak memiliki dana yang cukup untuk menanggulangi wabah. Indonesia yang dianugerahkan oleh Allah SWT sumber daya alam yang melimpah seharusnya dapat menjadi negeri yang kuat dari segi perekonomian. Namun karena negeri ini melimpahkan pengurusan sistem ekonominya kepada swasta akibatnya terjadi liberalisasi SDA. SDA dikuasai oleh swasta sedang negara hanya mengandalkan pendapatan dari pajak yang tak seberapa, apalagi di tengah pandemi pemasukan pajak juga ikut menurun. Akibat dari wabah ini penerimaan pajak tekor Rp 388 triliun seperti yang dikutip oleh detik.com

Jika kita mencontoh kepemimpinan Umar bin Khathab saat menghadapi wabah, Umar memang meminta bantuan kepada gubernur-gubernurnya namun hanya daerah yang kaya saja di dalam daulah yang dimintai bantuan, seperti Abu Musa di Basrah, ’Amru bin Ash di Mesir, Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Sa’ad bin Waqs di Irak, untuk mengirimkan bantuan kebutuhan pokok ke Madinah. 

Hingga dikirimlah dari daerah bagian kekhalifahan yang makmur seribu unta yang membawa tepung melalui jalur darat dan 20 perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut, serta mengirim lima ribu pakaian untuk wilayah krisis. Dan Abu Ubaidah pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi dengan makanan. Ini semua tercatat dalam buku The Great Leader of Umar bin Khathab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi.

Dan dalam sistem Islam, lembaga keuangan negara disebut Baitul mal. Yang di dalamnya terdapat 3 pos pemasukan yaitu pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos shadaqah. Maka keperluan masyarakat akan diambil dari pos fai dan kharaj serta pos kepemilikan umum dan biaya untuk pelayanan kesehatan dan penelitian akan dibiayai oleh pos kepemilikan umum. Dan pos shadaqah juga dapat digunakan. 

Pos kepemilikan umum didapat dari mengelola harta milik umum (SDA) yang sejatinya milik umum namun diserahkan kepada negara untuk mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik, dalam bentuk uang, barang maupun kesejahteraan seperti pendidikan dan kesehatan gratis. 

Jikalau negeri ini mencontoh kepemimpinan Umar bin Khathab dalam menyelesaikan wabah, maka bukan tidak mungkin, solusi yang tepat akan kita jumpai.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Related Posts


Berita Lainnya