Opini

Dana Kelurahan Dihapus, Serius Mau Hadapi Pandemi?

Kaltim Today
12 Maret 2021 09:56
Dana Kelurahan Dihapus, Serius Mau Hadapi Pandemi?

Oleh: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Penghapusan alokasi khusus dana kelurahan pada APBN Tahun 2021 oleh Pemerintah, dinyatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPD RI, Selasa (18/1/21). Dikutip dari Resonansi.id (24/1/2021) bahwa, dana kelurahan kembali dimasukkan dalam Dana Alokasi Umum (DAU) pada kota masing-masing yang akan masuk dalam APBD. Sebelumnya, pada tahun 2019 Pemerintah menganggarkan Dana Kelurahan dalam APBN, sebesar Rp 3 triliun yang akan diberikan kepada 8.122 kelurahan di Indonesia. Meski masuk ke anggaran APBN, tetapi Dana Kelurahan ini tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aparat pemerintah kota. (Tempo.com 2/11/2018)

Penghapusan Dana Kelurahan ini jelas menimbulkan tanda tanya di berbagai daerah, karena Menteri Keuangan tidak merincikan alasan penghapusan ini. Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang diketuai Bima Arya, sekaligus Wali Kota Bogor pada Sabtu (6/3/2021) seusai rapat dewan pengurus, mengeluarkan  sejumlah rekomendasi yang akan disampaikan kepada Presiden terkait dihapusnya Dana Kelurahan ini. Salah satu yang terpenting adalah bahwa Dana Kelurahan ini sangat diperlukan untuk pemulihan perekonomian warga yang berdampak pandemi Covid-19 (sindonews.com, 7/3/2021). Wali Kota Balikpapan, Rizal Effendi  juga merasa keberatan atas kebijakan pemerintah pusat,  karena Dana Kelurahan yang ada selama ini digunakan untuk pembiayaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Mikro hingga ke tingkat RT. (kaltim.tribunnews.com (20/2/2021).

Masa pandemi yang belum usai memang sangat berpengaruh terhadap geliat sosial, politik, ekonomi serta kebijakan yang diambil. Dampak terhadap masyarakat juga sangat terasa. Hal ini jelas membuat pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap keadaan. Kebijakan yang diambil pemerintah sejak awal pandemi memang dinilai terlambat, sehingga penyebaran Covid-19 menjadi merata di sejumlah daerah. Pemberlakuan PSBB, New Normal bahkan PPKM dinilai kurang efektif karena tidak mampu menekan angka positif Covid-19. 

Bahkan dalam penanganan Covid-19 juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Menteri Keuangan merincikan tentang kebutuhan hutang senilai Rp 1.438,8 triliun untuk mengatasi masalah pandemi ini (cnnindonesia.com 6/5/2020). Selama ini, beban pembayaran pokok dan bunga hutang ini akan masuk ke APBN tiap tahunnya akibat UU Keuangan Negara gagal melihat seberapa besar pendapatan yang habis dimakan dan yang untuk membayar hutang, jelas Drajat Wibowo. ( detikFinance, 24/2/2019)

Inilah sistem demokrasi, yang sistem ekonomi kapitalisnya yang menjadi kiblat negara kita. Dimana akan dibuat anggaran belanja secara umum setiap tahun, dan anggaran ini dinyatakan melalui peraturan yang nantinya akan dibahas dan di sahkan oleh parlemen , baik parlemen di tingkat pusat yang akan membahasa APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), dan di tingkat daerah yang akan membahas APBD (Anggaran Pembelanjaan Belanja Daerah).

Dan ada perbedaan di antara keduanya, yaitu dari sisi pemasukan keuangannya/sumber penerimaannya, pembelanjaan dan pengelolaannya. Hal ini juga pastinya akan berbeda  dalam hal kewenangannya, tergantung pada skala wilayah dan pasti berefek pada kebijakannya juga. Hanya saja dilapangan banyak program yang tumpang tindih antara apakah ini masuk anggaran  pemerintah pusat atau daerah, akibatnya tidak jarang program menjadi tersendat. Seperti halnya Dana Kelurahan ini, awalnya masuk alokasi APBN, kemudian berubah dan masuk ke APBD. Padahal semua kepala daerah menyatakan keberatan akan hal ini, karena wabah pandemic adalah masalah bersama. 

Hal yang berbeda dalam sistem Pemerintahan Islam, dimana pengumpulan, penjagaan,  pembelanjaan dan pengawasan keuangan negara terpusat di Baitul Mal dengan Khalifah sebagai penanggung jawab. Artinya hanya terpusat pada satu kebijakan atau satu garis arahan, tidak terpisah dengan daerah. Sumber pemasukan Baitul mal juga jelas di antaranya dari ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, usyur, zakat,  macam-macam harta milik umum, harta tidak sah dari para penguasa dan pegawai, harta yang di dapat secara tidak sah dan harta denda, khumus rikaz dan pajak. Hanya saja Pajak ini berbeda dengan yang dipahami saat ini. Dimana pajak dalam sistem Islam akan di ambil hanya dari harta kaum muslim saja dan dari mereka yang berkecukupan. Meskipun nantinya akan dipergunakan bagi kepentingan seluruh warga negara dan juga ini sifatnya temporal, yaitu di saat negara memang membutuhkannya. (Taqiyyudin Annabhani dalam kitab Nidzom Iqtishodi)

Dan karena semua keuangan terpusat, maka daerah tinggal mendata apa yang diperlukan dan dibutuhkan untuk diteruskan dan diputuskan oleh Khalifah, yang akan melihat skala prioritasnya jika memang banyak wilayah yang membutuhkannya. Dari sini jelas, bahwa pengaturan keuangan yang terpusat akan memudahkan bagi negara dalam mengawasi pembangunan atau program yang sedang berjalan, tentunya tetap di bantu oleh daerah. Maka hal ini tidak membuat tumpang tindih sebuah program dalam sebuah wilayah, karena semua masuk dalam urusan negara. Anggaran dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat di suatu wilayah, sebab masalah ini merupakan masalah pelayanan negara terhadap urusan umat. 

Walhasil, seharusnya ditengah wabah yang masih ada ini maka sudah selayaknya negara memberikan prioritasnya, bukan menghapus dana yang itu memang merupakan hak dari setiap warga negara. Dan inilah saatnya kaum muslim untuk belajar dan memahami lagi bahwasanya Islam bukan hanya sekedar agama yang hanya mengajarkan ibadah ritual saja tetapi juga mengatur dalam masalah ekonomi, social, politik, pendidikan, kesehatan dan lainnya.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya