Kaltim

Gugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi, WALHI dan AMAN Kaltim: Di Lokasi Sudah Terjadi Krisis Sumber Air Bersih

Kaltim Today
01 April 2022 17:06
Gugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi, WALHI dan AMAN Kaltim: Di Lokasi Sudah Terjadi Krisis Sumber Air Bersih
WALHI Kaltim dan AMAN Kaltim yang jadi bagian dari ARGUMEN gelar konferensi pers terkait gugatan judicial review terkait UU IKN. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN) melakukan gugatan judicial review terkait Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (1/4/2022).

Diketahui, RUU IKN dibahas sejak 7 Desember 2021 dan disahkan pada 18 Januari 2022. Dipotong dengan masa reses para anggota dewan, RUU IKN hanya dibahas selama 17 hari saja. Anggaran sebanyak Rp 466 triliun pun digelontorkan untuk membangun IKN.

[irp posts="54481" name="Polling: Sudah 2,5 Tahun Anggota DPR RI Dapil Kaltim Bekerja, Seberapa Puas Anda dengan Kinerja Mereka?"]

Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, Yohana Tiko menjelaskan, ada beberapa dasar mengapa ARGUMEN melakukan gugatan judicial review terkait UU IKN. Pertama, hal itu berangkat dari keputusan Presiden RI, Joko Widodo yang secara tiba-tiba mengumumkan rencana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kaltim.

Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, Yohana Tiko. (Yasmin/Kaltimtoday.co)
Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, Yohana Tiko. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

Kemudian, keputusan kepindahan itu dinilai hanya diambil sepihak tanpa adanya partisipasi publik secara utuh. Begitu juga ketika RUU tersebut telah disahkan sebagai UU. Sama sekali tak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung maupun Indonesia secara keseluruhan. Pun penunjukan lokasi di Kaltim itu tanpa ada dasar yang jelas. Tidak melihat tanda-tanda krisis lingkungan hidup di Kaltim.

"Akhir 2021 dan awal 2022 itu terjadi (krisis lingkungan) besar di Kubar, Kutim, Paser, Kukar, dan Penajam Paser Utara (PPU). Lalu di Balikpapan dan Samarinda. Itu menyatakan bahwa terjadi krisis di Kaltim," ungkap perempuan yang akrab disapa Tiko itu.

Apalagi melihat Kaltim ini penuh dengan izin-izin investasi ekstraktif. Tak hanya soal bencana ekologis, tapi juga soal perampasan wilayah rakyat. Sehingga banyak terjadi konflik agraria dan teritorial yang terjadi di Kaltim.

Tiko menjelaskan, di lokasi IKN sendiri sudah terjadi krisis sumber air bersih. Masyarakat di sana menggunakan air sungai yang keruh. Dulunya, sungai tersebut bisa dilewati tongkang. Namun sekarang tak bisa karena sudah terjadi pendangkalan. Walhasil, ketika sungai mengalami surut dimanfaatkan warga. Saat pasang, air tak bisa diambil. Sebab air bercampur air asin. Sehingga air baru bisa diambil saat surut. Bahkan harus membeli atau memakai air hujan.

"Wilayah terjadi degradasi lingkungan. Mereka itu juga sudah pernah tersingkirkan karena hadirnya investasi ekstraktif. Misal karena perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara," bebernya.

Keputusan pemindahan ini dinilai tak berdasarkan hukum. Tak ada satupun peraturan perundang-undangan tentang tata cara dan mekanisme pemindahan IKN. Ditambah lagi soal ancaman atau perubahan lingkungan ke depan yang tidak menguntungkan lingkungan masyarakat serta flora dan fauna sekitar.

"Sebab megaproyek IKN ini dibangun di atas lahan 256 ribu hektar dan akan menghancurkan hutan-hutan yang tersisa di Kaltim. Untuk memperbesar eksploitasi material yang di mana wilayah itu buat menyokong pembangunan IKN," tambah Tiko.

Ditambah lagi akan mengambil alih lebih dari 68 ribu hektar wilayah perairan pesisir dan belasan aliran sungai. Sehingga, ancaman ke depan akan sangat besar.

Masyarakat Adat di Lokasi IKN Tidak Dilibatkan Secara Masif

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Margaretha Seting juga menyampaikan bahwa, pemerintah memang sengaja meniadakan masyarakat adat. Sebab pemerintah yang lebih fokus pada pemilik izin yakni pengusaha, karena bisa diajak langsung berkoalisi dalam bekerja sama membangun IKN.

Ketua BPH AMAN Kaltim, Margaretha Seting. (Yasmin/Kaltimtoday.co)
Ketua BPH AMAN Kaltim, Margaretha Seting. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

"Dalam peletakan UU-nya pun, semua proses yang harusnya mempertimbangkan masyarakat adat, itu mereka ditiadakan. Koordinasi atau negosiasi dilakukan langsung ke pemilik usaha," ujar Margaretha.

Atas dasar itu, kondisi demikian seakan-akan semacam strategi khusus yang dilakukan para pelaksana IKN. Yakni demi memudahkan negosiasi dan mempercepat proses pemindahan IKN.

Padahal, menurut Margaretha, proses suatu program pemerintah harus dilaksanakan dengan komunikasi yang mendalam dan informasi yang jelas bagi masyarakat adat. Termasuk diajak berbicara menggunakan bahasa yang dipahami masyarakat adat soal rencana IKN.

Misalnya mengenai dampak apa yang akan dihadapi hingga apa yang harus mereka lakukan. Nyatanya, itu tidak dilakukan. Dirinya menilai, ini melanggar hak masyarakat adat dan secara umum. Mestinya, masyarakat berhak tahu rencana pembangunan IKN.

"Masyarakat adat jadi penonton. Pemerintah hanya mengambil orang-orang yang dianggap sebagai representatif masyarakat adat. Tidak ada pembicaraan sampai ke tingkat kampung, tidak ada penjelasan mendetail terkait proyek ini," tegasnya.

Selama ini yang dianggap sebagai representatif dari masyarakat adat untuk bahas IKN, memang sebagian berasal dari ormas-ormas tertentu. Hal itu pun tentu menjadi pertanyaan besar bagi AMAN Kaltim. Terkait apakah orang-orang di dalam ormas itu memang masyarakat adat setempat, hidup di sana, dan diutus oleh masyarakat adat lainnya.

"Jadi jelas sekali, ini semacam supaya terlihat indah saja. Agar terkesan ada masyarakat adat kok yang diundang. Tapi ini siapa dan dari mana? Kalau mereka memang diundang, mereka kembali nggak ke kampung untuk menjelaskan kembali ke masyarakat?" lanjutnya.

Namun, setelah pihaknya melayangkan beberapa kali protes, akhirnya memang ada 1-2 perwakilan masyarakat adat asli yang diundang. Namun, hal itu dinilai terlambat. Sebab UU IKN sudah disahkan. Mestinya, masyarakat adat asli dilibatkan sejak awal. Kemudian, pemahaman soal UU IKN harusnya dijelaskan dengan cara yang mudah kepada masyarakat adat. Sebab tak semuanya memahami maksud UU IKN-nya secara utuh. Penyampaian dinilai belum maksimal.

"Akhir-akhir ini, kami lakukan diskusi dengan masyarakat adat. Mereka masih belum tahu UU IKN. Bahkan ketakutan terbesar mereka jika direlokasi. Mereka tak menginginkan itu. Terutama masyarakat di Sepaku yang merupakan ring 1 IKN," tutupnya.

[YMD | RWT]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya