Opini

Ketika Tips Pak Menteri Tak Berpijak di Bumi

Kaltim Today
19 Mei 2020 15:25
Ketika Tips Pak Menteri Tak Berpijak di Bumi

Oleh : Djumriah Lina Johan, (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyadari bahwa belajar dari rumah rawan menimbulkan stres bagi para siswa, guru, dan orang tua. Sebab itu, pada Minggu (3/5/2020), Nadiem memberikan tujuh tips untuk mengatasi stres yang dirasakan oleh ketiga golongan itu. Tips pertama, yang sederhana tapi penting, jangan stres.

Tips kedua adalah membagi kelas menjadi kelompok belajar yang lebih kecil.

Jika kelas sudah dibagi ke dalam kelompok yang lebih kecil, tips ketiga akan lebih mudah: Pengajar bisa memberikan tugas berdasar kelompok. Adapun tips keempat adalah hasil dari pelaksanaan tips ketiga. Dari hasil tugas kelompok ini, guru bisa melihat mana murid yang relatif tertinggal dari teman-temannya. Tips kelima adalah fokus kepada hal terpenting. Tips ketujuh adalah tetap bisa bersenang-senang, dalam arti terus mencoba hal-hal baru yang selama ini belum pernah dikerjakan. (Tirto.id, Kamis, 14/5/2020)

Tujuh tips di atas nyatanya tidak mampu membendung gelombang stress yang dialami guru, orang tua, maupun siswa. Hal ini disebabkan polemik yang terjadi bukan hanya pada perkara teknis tatacara Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung. Melainkan faktor penunjang KBM tersebut, yakni smartphone, laptop, kuota, maupun kendala jaringan.

Sebagaimana dilansir dari Kaltim.prokal.co pada Kamis (14/5/2020) dunia pendidikan saat ini mendapat tantangan baru. Bidang ini dipaksa untuk melakukan pembaruan sistem. Mau tidak mau, pemanfaatan teknologi pun kian gencar dilakukan. Oleh karenanya, sejak dua bulan, tepatnya sejak wabah Corona merambah Kota Minyak, semua peserta didik dirumahkan. Proses belajar pun dilakukan via online.

Melihat situasi ini, Dekan Fakultas Sastra Universitas Balikpapan (Uniba) Jepri Nainggolan berkata, mewabahnya pandemi Covid-19 memang memberi pukulan telak pada sektor pendidikan. Terkait pembelajaran via daring, hal tersebut hanya sebagai penolong sesaat. Menurut dia, keberadaan guru atau dosen di ruang kelas merupakan sesuatu yang sangat penting. Sementara sistem belajar via daring, tidak bisa digunakan sebagai solusi dalam jangka panjang.

“Apabila hal ini terus berlanjut, dikarenakan virus yang tidak diketahui kapan akan berakhir ini, maka metode pembelajaran ini akan merugikan dunia pendidikan,” tandasnya.

Lanjut dia, di Indonesia, harga internet itu masih sangat mahal. Bahkan yang paling mahal di Asia. Karenanya, perlu ada kebijakan dari pemerintah. Misalnya saja penurunan biaya internet. Kata dia, ini diperlukan agar seluruh elemen masyarakat dapat menikmati internet untuk pembelajaran daring.

Dia menambahkan, mahasiswa didiknya bahkan harus membeli kuota tambahan untuk melakukan pembelajaran daring. Dibutuhkan satu hingga dua gigabit untuk proses belajar selama 90 menit. Apalagi pertemuan dilakukan secara video call, sehingga menyedot kuota internet semakin banyak. Artinya menguras kantong lebih dalam. Meskipun solusi jangka pendek, ia berujar pemerintah seharusnya memberikan subsidi internet. Ditambah lagi sistem daring menjadi satu-satunya solusi agar pembelajaran tetap berjalan di tengah pandemi.

Tentu fakta di atas tak berdiri sendiri, masih ada kenyataan pahit lain yang mewarnai pembelajaran daring, semisal orangtua yang tidak mempunyai smartphone apalagi laptop, atau memiliki keduanya namun tidak mampu mengoperasikan seperti yang seharusnya. Belum ditambah jika ada tugas dari walikelas yang realitasnya belum dijelaskan sehingga orang tua yang ketiban ‘berkah’ harus menjelaskan. Padahal tidak semua orang tua lulusan perguruan tinggi yang mampu mengajarkan anaknya. Masih ada di kalangan masyarakat orang tua yang bahkan tidak bersekolah.

Dengan demikian, tips yang diberikan oleh Pak Menteri nyatanya tak mampu menjadi solusi di tengah kegalauan ketiga subyek terdampak.

Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menjawab problem pendidikan sekarang? Apalagi dengan adanya wacana pengaktifan kembali sekolah pada pertengahan Juni mendatang.

Pertama, titik pusat permasalahan sejatinya pada wabah virus Corona. Sehingga seharusnya Pemerintah mengusahakan semaksimal mungkin untuk melakukan pemisahan antara penderita Covid-19 dengan anggota masyarakat yang sehat. Hal ini hanya bisa dilakukan ketika Pemerintah melakukan screening kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya Kota Balikpapan. Maka hanya yang sakit yang diisolasi dan dikarantina bukan yang sehat sebagaimana sekarang.

Kedua, jika memang Pemerintah tidak mau mengambil opsi di atas maka maksimalkan upaya Pemerintah dengan memberikan pemenuhan fasilitas menunjang yang memadai. Pemerintah harus mendata melalui sekolah-sekolah siapa saja orang tua yang tidak memiliki smartphone maupun laptop agar bisa mendapatkannya dari pemda setempat. Dan sudah barang tentu sekolah yang dimaksud tidak hanya sekolah negeri tetapi juga swasta, formal, dan informal.

Ketiga, selain itu Pemerintah juga berkewajiban memberikan fasilitas internet gratis dengan kualitas jaringan yang kuat serta stabil seperti yang ada di Korea Selatan. Sebab nyatanya bukan hanya subsidi kuota yang dibutuhkan oleh rakyat melainkan jaminan internet gratis karena melihat di era kekinian internet menjadi bagian kebutuhan pokok. Sehingga wajib disediakan oleh Pemerintah demi memudahkan perkara komunikasi dan pembelajaran.

Keempat, memberikan pelatihan kepada guru, orang tua, dan siswa tatacara pembelajaran online. Sehingga meminimalisir kemungkinan masih adanya gagap teknologi di antara ketiga subyek di atas.

Dengan demikian, polemik yang terjadi pada program belajar daring pun insya Allah akan teratasi. Namun, akan Pemerintah mengambil langkah tersebut? Jika mau jujur, tentu jawabannya tidak. Pemerintah tidak akan mengambil solusi pertama maupun kedua hingga keempat. Sebab, sejatinya negara ini adalah negara yang mengadopsi kapitalisme sebagai pedoman hidup bernegara.

Maka negara nyatanya hanya berperan sebagai mediator semata bukan penanggungjawab dan pengayom urusan rakyatnya. Kemaslahatan rakyat adalah nomor terakhir. Karena yang utama ialah kepentingan korporasi dan elit politik di lingkungan pemerintahan. Lihatlah bagaimana kebijakan-kebijakan yang lahir selama pandemi! Tak ada yang benar-benar demi kesejahteraan umat.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mencampakkan ide kapitalisme dan kembali kepada aturan Islam yang mampu memberikan solusi bukan hanya janji. Karena rakyat muak hidup dengan prank demi prank yang dimainkan oleh pemimpin negeri ini. Wallahu a’lam bish shawab.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya