Opini

Lockdown Dua Hari? Kebijakan Setengah Hati?

Kaltim Today
06 Februari 2021 22:02
Lockdown Dua Hari? Kebijakan Setengah Hati?

Oleh: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan )

Kabar mengejutkan datang di penghujung pekan ini, adanya kebijakan dari Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor yang akan melakukan pembatasan selama 2 hari guna memutus penyebaran virus Corona (Covid-19). Dilakukan pada 6-7 Februari 2021 dan dinamakan dengan istilah “Kaltim Steril” atau “Kaltim Silent”. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa penyebaran Covid-19 tidak terjadi, dan selama dua hari meminta masyarakat Kaltim tidak keluar rumah dan menutup semua fasilitas publik, termasuk pasar. (news.detik.com 4/2/2021).

Menyambut imbauan Gubernur maka Wali Kota Balikpapan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 300/321/Pem tentang Intruksi Gubernur Kaltim Nomor 1/2021 tentang Pengendalian, Pencegahan dan Penanganan Wabah Pandemi Covid-19 di Kalimantan Timur.  Dimana setiap Sabtu dan Minggu, mulai 6 Februari ini hingga batas waktu yang akan ditentukan, masyarakat diminta tidak keluar rumah. Khusus Minggu, 7 Februari pasar diizinkan buka, setelah itu Minggu berikutnya akan ditutup. 

Kepanikan jelas terlihat di masyarakat, hingga tadi malam, Jumat (5/2/2021) toko-toko dan pasar diserbu pembeli, dan ini jelas menimbulkan kerumuman massa yang jauh lebih banyak dari biasanya yang memang juga sudah banyak. Dilansir dari Inibalikpapan.com (6/2/2021), sejak Jumat pagi sudah ramai pembeli, bahkan penjual juga membawa barang dagangan yang lebih banyak, dikarenakan sudah mendaptkan informasi sejak hari Kamis (4/2/2021). Seorang pedagang mengatakan, keberatan jika lockdown ini dilakukan, karena sebagai pedagang tentu ini sangat merugikan dikarenakan jika tidak bejualan maka tidak ada penghasilan.

Jika cermati sejak awal menyebarnya virus ini, memang terlihat pemerintah kurang atau tidak serius, di samping menjadi bahan candaan hingga tetap membuka kran bisnis pariwisata. Pemberlakuan lockdown ditolak, bahkan istilah inipun tidak dipakai, tetapi menggunakan istilah PSBB, belum menurun angka kasus positif, pemerintah menerapkan New Normal sampai diadakan Pilkada serentak. Setelah pilkada serentak, kasus angka positif semakin meningkat tajam hingga kembali diberlakukan PPKM. Dan akhirnya lockdown dua hari dalam sepekan dalam waktu yang nanti ditentukan.

Pro kontra jelas mewarnai setiap kebijakan, apalagi ini terkait wabah yang sudah berlangsung setahun lebih dan belum usai. Dan inipun menimbulkan kegundahan di hati mereka para pedagang atau pekerja harian karena penghasilannya juga harian. Masyarakat pun berhitung hari, bagi mereka yang tetap mau melakukan hajatan atau acara, tidak diadakan pada Sabtu-Minggu tetapi di hari lainnya.  

Lantas apakah kebijakan ini sudah tepat? jika alasan kerumuman massa lebih banyak pada Sabtu-Minggu karena weekend dimana bisa berekreasi/tamasya, maka berapa presentase keluarga-keluarga yang keluar rumah saat weekend. Padahal kita tahu, bioskop tetap dibuka, mall-mall dibuka, pasar-pasar tetap dibuka. Sedangkan hari efektik Senin sampai Jumat, perkantoran buka. Dengan adanya kebijakan lockdown ini, maka penumpukan massa itu hanya bergeser hari saja tidak juga mengurangi angka penumpukan masaa. Masyarakat bisa berbelanja pada Senin sampai Jumat, yang mempunyai hajatan juga demikian. Meski dengan pembatasan, tapi acara bisa dilakukan di luar rumah dengan izin dari satgas Covid-19.

Inilah kebijakan setengah hati yang tumpang tindih, di satu sisi beban ekonomi Indonesia semakin meningkat, hutang juga semakin bertambah. Tetapi di sisi lain ada hak hidup, nyawa manusia yang juga harus djaga dan diselamatkan oleh negara. Pembatasan aktivitas di rumah saja di akhir pekan untuk kemudian beraktivitas biasa di hari lain, tak ubahnya seperti hari libur nasional. Dari Okezone.com (5/2/2021) Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (FKM-UI), Tri Yunis Miko Wahyono menegaskan, pada kondisi wabah sebenarnya kebijakan social distancing sedang atau berat harus dilakukan, kemudian lockdown dan tidak ada pilihan lain. Jika lockdown akhir pekan saja selama dua hari tidak ada artinya, apalagi virus ini (Covid-19) punya masa inkubasi 7-14 hari.

Peran negara memang sangat dibutuhkan dalam permasalahan ini. Tetapi jika solusi yang ada hanya mengandalkan akal manusia saja, yang terjadi adalah kekacauan-kekacauan baru, menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru. Inilah potret buruk sistem demokrasi kapitalisme, setiap kebijakan akan diprioritaskan kepada ekonomi. Karena memang dalam sistem ini, masyarakatnya perlahan-lahan dan dengan pasti akan membiayai kehidupannya sendiri sedang negara hanyalah perantara dari penyediaan kebutuhan dasar bagi rakyat, karena semua itu akan ditopang oleh swasta atau pengusaha.

Sedikit sedikit, subsidi bagi rakyat dibatasi hingga dicabut, dengan alasan memandirikan masyarakat. Maka adanya kebijakan lockdown dua hari perpekan semua dalam rangka perekonomian berjalan dan ketidakmampuan negara dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Bagaimana Islam memandangnya? Ya, masalah yang terjadi sekarang tidak terlepas dari beban hutang luar negeri yang semakin besar, sehingga negara tak mampu untuk membiayai segala kebutuhan masyarakatnya. Jika dilihat dari geografis Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, harusnya negara kita mampu untuk membiayai kehidupannya sendiri dan tidak bergantung kepada hutang dari asing. Tetapi sayangnya, SDA kita sudah dikuasai oleh asing, yang tersisa adalah akibat yang ditimbulkannya.

Islam adalah agama yang sesuai fitrah manusia, tidak hanya mengajarkan bagaimana manusia beribadah tetapi juga bagaimana berhubungan dengan manusia lain dan alam semesta. Termasuk bagaimana pengelolaan SDA ini yang merupakan kepemilikan umum dan dikelola oleh negara, sehingga hasilnya akan masuk ke kas negara untuk membiayai seluruh warga negara. Islam mewajibkan negara bertanggung jawab penuh menjamin kehidupan sosial rakyatnya, bukan hanya pangan dan obat-obatan saja. Pengendalian lockdown harusnya dilakukan di saat awal wabah berkembang, dengan mengisolir daerah yang terkena wabah, mensuplay kebutuhan pangan, sandang dan papan bagi mereka yang terisolir sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khaththab.

Sudah saatnya umat Islam kembali kepada ajarannya yang sempurna dan menyeluruh, yang penguasa atau pemimpinnya menjalankan apa yang Allah perintahkan, tanggung jawabnya kepada Allah dan rakyatnya, kepentingannya untuk rakyatnya bukan untuk kepentingan golongan tertentu. Saatnya kita kembali kepada kehidupan yang penuh keberkahan dengan melaksanakan Islam secara kaffah dalam setiap sendi kehidupan kita. Meninggalkan sistem kufur untuk kembali kepada sistem yang paripurna yaitu sistem Islam.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya