Opini

Norma Kesopanan Peradilan Pidana Indonesia dalam Pertimbangan Putusan Hakim

Kaltim Today
24 Desember 2021 11:55
Norma Kesopanan Peradilan Pidana Indonesia dalam Pertimbangan Putusan Hakim

Oleh: : Lisa Aprilia Gusreyna (APBH Lembaga Bantuan Hukum Samarinda)

Sistem peradilan di Indonesia yang saat ini masih berjalan telah berdiri sejak tahun 1970 yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dalam UU No.35/1999; dicabut oleh UU No.4 Tahun 2004 dicabut dengan UU yang saat ini sedang berlaku, yaitu UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur kewajiban seorang hakim dalam menjalankan profesinya di ruang pengadilan.

Norma kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan, dan kepatuhan yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, norma kesopanan dinamakan sebagai norma sopan santun, norma tata krama, dan norma istiadat. Contoh perbuatan yang melanggar norma kesopanan, seperti meludah di sembarang tempat, tidak sopan kepada yang lebih tua, dan sebagainya. Konsekuensi bagi pelanggar norma inipun berupa sanksi sosial. Norma kesopanan tempat berlakunya terbatas, artinya hanya berlaku terbatas pada masyarakat yang memberlakukan norma tersebut dan sifatnya relatif. 

Di Indonesia sendiri, mengutip dari bps. go.id, Kamis, 16 Desember 2021 pada tahun 2018-2020 telah terjadi sebanyak 810.823 kasus tindak pidana, yaitu pada 2018 sebanyak 294.281, pada 2019 sebanyak 269.324, dan pada 2020 sebanyak 247.218 dari banyaknya kasus tindak pidana.

Namun dari banyaknya kasus di atas, ada beberapa kasus yang mana putusan dari kasus tersebut dirasa bertentangan dari nilai keadilan di masyarakat, yaitu Putusan PN Probolinggi No.179/Pid.B/2014/ PN.PBL. Pada 22 Oktober 2014 yang dalam putusannya menetapkan Busrin (48 tahun) dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) hanya karena mencuri dua meter kubik kayu mangrove.

Dalam putusan tersebut yang memberatkan adalah Busrin dianggap merusak ekosistem mangrove karena membahayakan orang lain dan yang meringkankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Di sisi lain, kasus yang masih hangat adalah kasus Rachel Vennya berusia 26 tahun, yang dalam putusan No. 21/Pid.S/2021/ PN. Tng. mengakui adanya tindak pidana suap dan melanggar UU Karantina. Tetapi dalam putusannya, hakim hanya memberikan hukuman 4 (empat) bulan penjara dan denda Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang mana penjara tersebut tidak perlu dijalankan kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 8 (delapan) bulan berakhir. 

Mengutip dari news.detik.com pada Kamis (16/12/2021), salah satu pertimbangan hakim meringankan hukuman Rachel karena sebagai terdakwa, Rachel dinilai terus terang mengakui perbuatannya dan tidak berbelit-belit saat diperiksa. Dua hal tersebut dinilai adalah tindakan yang sopan selama proses persidangan. Hakim dalam memberikan pertimbangan dari segi hukum diatur dalam Pasal 197 huruf (1) KUHAP. Pertimbangan hakim disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan pada sidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan.

Di sisi lain, hakim dari segi keadilan dalam memberikan putusan berdasarkan hati nuraninya. Pada Pasal 54 RUU KUHP, hakim dalam memberikan putusan wajib mempertimbangkan bentuk kesalahan pelaku, motif, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku, nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, nilai kesopanan dapat menjadi pertimbangan dalam putusan pengadilan. Namun, penempatan nilai kesopanan terkadang tidak sesuai tempatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh kasus pada paragraf sebelumnya, di mana unsur tindak pidana Rachel Vennya lebih berat dari pada Basri. 

Dari segi hukum, Rachel terbukti melakukan penyuapan dan melakukan pelanggaran UU Karantina, serta secara langsung dan nyata-nyata bertentangan dengan nilai kesopanan yang hidup di dalam masyarakat, terlebih masyarakat dengan tegas mengecam hal tersebut. Pada kasus Basri, lelaki berusia 48 tahun ini terbukti melanggar UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terkecil karena mencuri dua meter kubik kayu mangrove. Namun dari segi keadilan, masyarakat justru menentang putusan tersebut. Padahal dari dua kasus tersebut, pertimbangan hal yang meringankan adalah sama, yaitu mengakui perbuatan dan tidak akan mengulangi perbuatan, tetapi justru Basri yang mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat. 

Berdasarkan hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa norma kesopanan telah diterapkan pada pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap tersangka. Hal ini juga akan diperkuat dengan adanya RUU KUHP yang menjabarkan norma kesopanan terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Namun, terkadang norma kesopanan dalam peradilan pidana di Indonesia masih belum sesuai tempatnya, seperti 2 contoh kasus paragraf sebelumnya.

Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan murni dari hati nurani sebagai pemberi keadilan. Norma kesopanan dalam pertimbangan putusan hakim dalam proses peradilan memanglah penting, tetapi hal tersebut juga harus dibarengi dengan aturan hukum yang berlaku dan nilai keadilan yang lahir dari masyarakat.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya