Samarinda

Orang Utan Kalimantan dan Bekantan Ditetapkan sebagai Spesies Prioritas

Kaltim Today
28 Agustus 2020 23:07
Orang Utan Kalimantan dan Bekantan Ditetapkan sebagai Spesies Prioritas
Konservasi kehati dianggap penting dan mesti dijalankan seluruh pihak agar potensi dan keanekaragaman hayati bisa terjaga. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda – Pada Kamis (27/8/2020), agenda konsultasi publik terkait penyusunan dokumen Rencana Induk Pengelolaan (RIP) Keanekaragamaan Hayati (Kehati) Kaltim 2020 terlaksana. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim mengundang Kukuh Bayu Santoso, perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Melalui video conference di Zoom, Kukuh memaparkan penjelasannya mengenai peran dan upaya pemerintah dalam konservasi keanekaragaman hayati (kehati).

Awalnya, Kukuh memberi pemahaman mengenai kehati yang didefinisikan sebagai keanekaragaman semua bentuk kehidupan dan dapat dikelompokkan menurut ekosistem, spesies, dan genetik di dalam jejaring kehidupan. Sedangkan konservasi kehati merupakan upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kehati yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan keberadaan, manfaat, dan nilainya demi memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi mendatang.

Tujuan konservasi kehati adalah bisa mewujudkan kelestarian kehati sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Dasar kebijakan terkait kehati mengacu pada beberapa undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri. Disebutkan Kukuh, ada tiga upaya tata kelola. Terdiri dari perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Konservasi pun ada pemanfaatan lestari untuk sentra masyarakat.

Maka dari itu, strategi dari konservasi kehati berfokus pada perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan ke ekosistem, spesies, dan genetik. Sehingga ada dua konservasi, in-situ ada di dalam kawasan yang menjadi habitat dari suatu spesies maupun genetik yang ada di dalam spesies tersebut. Sedangkan ex-situ merupakan konservasi yang dilakukan di luar habitat alamiah.

“Ada contoh habitat di Pulau Jawa. Dampak dari pembangunan tertentu di Pulau Jawa itu mengakibatkan punahnya dua satwa yakni harimau jawa pada 1985 dan harimau bali pada 1937. Harapannya, kejadian serupa tak akan terjadi di Kaltim,” jelas Kukuh sembari memperlihatkan slide presentasinya.

Disampaikan Kukuh, upaya perlindungan berarti berhasil menjaga terkait pengamanan dari habitatnya. Sedangkan upaya pengawetan merupakan suatu upaya untuk menjaga keanekaragaman hayati di suatu ekosistem agar tidak punah. Sebenarnya, di genetik pun ada. Namun, untuk saat ini lebih diprioritaskan kepada spesies tumbuhan dan satwa liar. Khusus in-situ, berdasarkan SK Dirjen 180 tahun 2015, terdapat 25 spesies prioritas terancam punah.

Di Kaltim, ada dua jenis yang ditetapkan sebagai spesies prioritas yakni orangutan Kalimantan dan Bekantan. Menghindari kepunahan tersebut, pemerintah mulai menetapkan kawasan-kawasan konservasi. Ada pula penetapan kawasan perlindungan melalui penetapan taman nasional, taman wisata alam, cagar alam, taman hutan raya, suaka margasatwa, hingga taman buru.

Dijelaskan pula mengenai sanctuary yakni unit manajemen spesies yang bersifat tidak komersial untuk kepentingan konservasi yang mempunyai fungsi untuk tempat penyelamatan, rehabilitasi, perkembangbiakan dalam rangka proses peningkatan populasi atau pengawetan jenis liar. Perencanaan sanctuary dan pusat konservasi sebagai bentuk dukungan pengelolaan dalam peningkatan populasi. Sampai dengan 2019, sudah ada 50 unit pembangunan sanctuary dan memiliki tiga fungsi sebagai pusat konservasi satwa terancam punah, pusat studi spesies endemik, dan sebagai objek wisata atau atraksi.

“Pemerintah juga akan menetapkan status perlindungan satwa melalui Permen LHK Nomor 106/2018. Jenis Asing Invasif (JAI) juga dikelola dengan lebih dari 2.000 jenis tumbuhan asing yang diintroduksi atau sudah berada di Indonesia. 300 jenis merupakan JAI. Serta penyelamatan satwa liar melalui pelepasliaran satwa ke alam. Dalam hal upaya melepaskan kembali satwa hasil evakuasi atau hasil rehabilitasi ke habitat alaminya sesuai dengan daerah sebaran jenis,” bebernya.

Sedangkan untuk ex-situ, dibuat lembaga konservasi umum seperti kebun binatang, taman safari, dan taman satwa. Sedangkan yang khusus seperti Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) dan Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS). Peran PPS dan PRS penting demi rehabilitasi terhadap satawa yang tidak bisa dilepasliarkan secara langsung karena beberapa kondisi atau hasil pemeliharaan masyarakat sebelum satwa dilepas kembali ke habitat. Penetapan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) juga memiliki nilai penting.

Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) juga tak ketinggalan. Yakni suatu kegiatan mengumpulkan, membawa, mengangkut, atau memelihara spesimen TSL yang ditangkap atau diambil dari habitat alam atau yang berasal dari hasil penangkaran untuk kepentingan pemanfaatan. Pemanfaatan TSL meliputi pengkajian, penelitian, dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan.

“Prinsip pemanfaatan TSL mesti mengacu pada sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara terkontrol, pemanenan harus lestari dan tidak menyebabkann kelangkaan, cara pemanenan tidak merusak lingkungan, perdagangan dilakukan secara benar dan legal, serta komoditas TSL yang diperdagangkan dapat ditelusuri asal usulnya,” imbuh Kukuh.

Di akhir penjelasannya, Kukuh berharap bahwa tujuan akhir RIP nanti bisa diintegrasikan dalam rencana pembangunan daerah. Agar ada sinkronisasi atau arus utama kehati di pembangunan berkelanjutan di Kaltim.

[YMD | RWT | ADV DISKOMINFO]


Related Posts


Berita Lainnya