Opini

Perceraian di Balikpapan Meningkat, Bagaimana Pandangan Islam?

Kaltim Today
19 Maret 2021 20:10
Perceraian di Balikpapan Meningkat, Bagaimana Pandangan Islam?

Oleh: Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Setiap tahun ada ribuan janda dan duda baru di Kota Beriman. Sebanyak 1.646 perkara perceraian telah ditangani Pengadilan Agama Kelas I Balikpapan sepanjang 2020 lalu. Pertengkaran rumah tangga yang tak kunjung henti menjadi penyebab terbanyak pecahnya biduk rumah tangga warga Balikpapan.

Ketua Pengadilan Agama Balikpapan Darmuji menerangkan, angka tersebut termasuk menurun ketimbang 2019 lalu. Penurunan angka penanganan kasus cerai ini bukan karena berkurangnya jumlah orang yang ingin bercerai. Melainkan lantaran pengadilan membatasi penerimaan kasus akibat pandemi. “Kami sempat menutup pendaftaran sekitar sepekan. Bahkan banyak di media sosial yang bertanya kapan dibuka lagi pendaftaran gugatan cerai,” kata Darmuji, Senin, 15 Maret 2021.

Berdasarkan catatan Pengadilan Agama Balikpapan, pada 2020 terdapat 1.646 perkara perceraian. Sedangkan akumulasi sepanjang 4 Januari 2021 hingga 12 Maret 2021 ada 535 perkara perceraian. “Tahun lalu jumlah perkara terbanyak ada di Agustus, yakni 178 perkara. Tapi khusus Maret 2021 ini saja sudah ada 103 perkara yang masuk,” lanjutnya.

Penyebab perceraian bermacam-macam. Pada 2020, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab terbanyak dengan 645 perkara. Disusul permasalahan ekonomi sebanyak 329 perkara, dan meninggalkan salah satu pihak menjadi perkara terbanyak ketiga dengan jumlah 288 perkara.

Begitu pula pada tahun ini. Hingga 12 Maret 2021, alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab terbanyak yaitu 130 perkara. Kemudian permasalahan ekonomi sebanyak 81 perkara, dan meninggalkan salah satu pihak sebanyak 59 perkara.  (Presisi.co, 15/3/2021)

Jika kita telusuri dengan cermat, maka faktor penyebab utama tingginya angka perceraian dan sebagian besarnya karena gugat cerai adalah karena tidak diterapkannya Islam kafah di seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan berumah tangga dan berkeluarga.

Siapa pun orang yang akan berumah tangga ketika ditanya apa tujuan mereka menikah, maka jawabannya adalah terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Sayangnya, konsep berumah tangga dan berkeluarga yang Islami ini, tidak sepenuhnya dipahami dan diinternalisasikan oleh pasutri.

Lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kafah, menjadikan ajaran Islam hanya dipahami sebatas ritual saja, hingga tak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.

Dengan minimnya pemahaman Islam kafah, ketika diuji kesulitan termasuk pada situasi pandemi ini, tak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, hingga mereka mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.

Dalam konteks keluarga, tak sedikit yang mengalami disharmoni bahkan disfungsi akut akibat himpitan ekonomi dan krisis, termasuk pandemi saat ini, hingga keluarga tak bisa lagi diharapkan menjadi benteng perlindungan dan tempat kembali yang paling diidamkan.

Lantas bagaimana Islam memandang perceraian?

Tidak dapat dipungkiri jika akhirnya badai pernikahan menerpa sedemikian hebatnya sehingga masing-masing pihak tidak bisa mempertahankan rumah tangga mereka lebih lama lagi dan perpisahan menjadi kehendak Allah yang harus di jalan.

Maka sesungguhnya Islam pun telah mengaturnya dengan rinci. Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani, dalam kitabnya An-Nizhamul Ijtima’iy menegaskan bahwa Islam telah menjadikan cerai di tangan suami.

Banyak nas-nas yang menjelaskan masalah perceraian (talak) ini, termasuk tata caranya, antara lain QS Al-Baqarah: 229 -230, At-Thalaq: 2 yang artinya: “Maka rujukilah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik juga.”

Dan Islam pun memerintahkan agar para suami menempuh segala langkah untuk menyelesaikan berbagai problem sehingga terhindar dari perceraian.

Bahkan jika keduanya tidak mampu menyelesaikan, maka Islam memerintahkan agar persoalan rumah tangga mereka dibantu diselesaikan oleh keluarga mereka, dengan mengutus masing-masing wakil dari keluarga mereka dengan tujuan untuk perbaikan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nisaa: 35.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Covid-19 ini membawa dampak pada ketidakharmonisan rumah tangga yang berujung pada perceraian. Akan tetapi, sesungguhnya masalah ini sudah marak terjadi sebelum pandemi mengungkung negeri.

Semuanya bermuara pada sistem kapitalisme sekuler. Sekularisme dengan paham-paham turunannya yang batil seperti liberalisme dan materialisme memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit dan jauh dari berkah.

Terbukti, hingga kini dunia terus dilanda krisis, terlebih adanya pandemi ini, semakin membebani mayoritas keluarga muslim dengan kehidupan yang serba sulit, sedangkan penguasa seolah masa bodoh dengan kondisi rakyatnya.

Kondisi ekonomi sulit inilah yang kerap memunculkan masalah dalam keluarga. Para bapak kesulitan mendapatkan nafkah bagi keluarganya, yang akhirnya mendorong para ibu turut bertanggung jawab menanggung beban ekonomi keluarga yang menyita energi dan waktu mendidik anak-anak mereka.

Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. Kondisi ini menjadikan umat Islam kehilangan peluang untuk kembali tampil menjadi entitas terbaik dan terdepan (khairu ummah) sebagaimana fitrahnya.

Keluarga muslim, termasuk para ibu, harus kembali berfungsi sebagai benteng umat yang kukuh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi.

Jika saja seluruh hukum-hukum Islam diterapkan muka bumi ini, tentu saja kasus perceraian yang terus meningkat di negeri-negeri kapitalis tidak akan pernah terjadi. Seorang istri pun tidak akan teracuni oleh bisikan-bisikan atau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dengan mengatasnamakan memandirikan perempuan.

Seorang suami akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik demikian pula seorang istri akan menjalankan kewajiban dan menuntut hak dengan baik. Sehingga pernikahan sebagai sesuatu yang bernilai ibadah merupakan hal yang niscaya.

Karenanya setiap keluarga muslim yang hidup di dalam sistem Islam akan berupaya maksimal untuk mempertahankan pernikahannya. Karena pernikahan bukan hanya berkaitan dengan dua orang yang menikah saja, akan tetapi berkaitan dengan kualitas generasi mendatang.

Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dari pelaksana syariat islam. Dari keluargalah akan lahir generasi yang kuat akidah dan akhlaknya untuk mewujudkan kembali Islam sebagai sebuah negara.

Maka, di saat negara Islam belum terwujud, maka menjadi kewajiban setiap pasangan untuk menjaga kekukuhan keluarga tersebut. Agar Islam dalam institusi terkecil tersebut tidak mampu dihancurkan kaum kafir yang tidak pernah rida dengan kekuatan Islam sampai Islam tegak kembali menjadi negara.

Untuk itu, menjadi kewajiban untuk melanggengkan sebuah ikatan pernikahan dan kehidupan keluarga yang selalu terikat dengan hukum Allah SWT.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya