Opini

PPKM Level 4: Antara Perut dan Maut

Kaltim Today
04 Agustus 2021 08:52
PPKM Level 4: Antara Perut dan Maut

Oleh: Harish Jundana, S.Hut (Ketua Umum PW KAMMI Kaltimtara)

Presiden Joko Widodo kembali mengumumkan kebijakan perpanjangan masa PPKM Level 4. Itu artinya pandemi Covid-19 masih berlangsung. Ini seperti drama yang plot ceritanya tak kunjung  menemukan akhir.

Tak kunjung menemui akhir atau memang tidak ingin diakhiri menjadi bias, karena kita menghadapi krisis ini tanpa sikap yang jelas sebagai sebuah negara.

Apalagi pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak merepresentasikan kewenangannya yang cukup besar dalam mengendalikan krisis di daerahnya.

Arga, seorang bocah berusia 13 tahun asal Kutai Kartanegara harus menghadapi pahitnya kenyataan hidup. Di depan matanya kedua orangtua yang ia sayangi meninggal akibat Covid-19.

Kisah pilu ini hanya gambaran kecil dari gambaran dari kasus Covid-19 di Kalimantan Timur.

Pada Juni 2021, Kementerian Kesehatan merilis data 10 provinsi dengan tingkat prevalensi Covid-19 tertinggi. Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara menjadi yang tertinggi setelah DKI Jakarta.

2 Agustus 2021, kasus Covid-19 di Kalimantan Timur terkonfirmasi menjadi provinsi tertinggi keempat setelah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

1 Agustus 2021, Kaltim juga menjadi provinsi tertinggi keempat dalam tingkat kematian akibat Covid-19. 

Lantas apa yang telah diperbuat Pemprov Kaltim? Secara umum Pemprov Kaltim memiliki kewenangan untuk merealokasi dan merefocusing APBD untuk penanganan Covid-19. Kemudian digunakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Menjalankan kebijakan pemerintah pusat dan ikut terlibat dalam kebijakan pemerintah pusat dalam penanganan masa krisis.

Pada titik inilah, pemegang jabatan eksekutif baik di level nasional maupun daerah mengalami dilema yang sangat besar dalam mengambil kebijakan.

Di antara yang menjadi catatan adalah peraturan undang-undang atau faktor hukum, kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia, dan bentuk geografis Indonesia yang sangat luas.

Faktor hukum yang pertama, jika kita mengacu kepada Undang-Undang 6/2018 tentang Kekarantinaan bunyi Pasal 1 Ayat 10: "Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi".

Kemudian diatur dalam Pasal 55 Ayat 1 yang berbunyi: "Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.".

Bunyi Pasal 55 Ayat 2: "Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait".

Sudah cukup jelas, kewenanangan yang digambarkan oleh undang-undang, namun kenyatannya realisasi substansi dari undang-undang ini menemukan kendala yang tak berujung.

Alih-alih menyiapkan dan menghitung anggaran untuk karantina wilayah, pemerintah pusat justru memilih kebijakan PSBB yang saat ini diperbaharui menjadi PPKM.

Masih soal hukum, spirit pemenuhan kebutuhan hidup melalui skema PKH dan BST justru menjadi celah baru bagi pejabat korup yang tak pernah puas, dan tertutup mata hatinya dari sulit dan beratnya menjalani kehidupan.

Dilema ini semakin diperkuat dengan kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia yang masih abai terhadap potensi Covid-19 yang dapat menyebabkan kematian.

Kedalaman polemik ini disinyalir karena faktor ekonomi. Masyarakat harus tetap menghidupi diri dan keluarganya.

Sebagian masyarakat sudah bertansformasi menjadi masyarakat digital, namun tak sedikit juga masyarakat yang masih mengandalkan sektor ekonomi riil dalam penghidupannya.

Bukan berarti salah, justru seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah melihat ini sebagai potensi di mana tidak 100 persen masyarakat yang biaya hidupnya harus dipenuhi.

Keberanian pemerintah pusat dalam mengambil keputusan, dan keberanian pemerintah provinsi untuk tidak populer menjadi faktor penting, ketimbang sekadar menjaga citra dan populerisme.

Ada dan tidaknya Covid-19, pemerintah pusat tetap berhutang. Bagaimana jika hutang ini kita investasikan untuk realisasi penanganan Covid-19 dalam bentuk karantina wilayah, dan pemerintah daerah membuat skema penanganan Covid-19 yang tidak normatif, namun menyentuh akar masalah dengan terus mendorong serapan anggaran yang tinggi.

2020, Pemprov Kaltim menganggarkan Rp 500 miliar. Tapi serapannya sangat rendah hanya sebesar 51,95 persen.

Tercatat serapan bidang jaringan pengaman sosial hanya sebesar 41,03 persen dan secara keseluruhan masih menyisakan anggaran lebih dari Rp 240 miliar.

Seandainya, pemerintah provinsi berani mengambil langkah tidak populer dengan mengoptimalkan seluruh potensi anggaran yang dimiliki, tentu kedaulatan Kalimantan Timur bukanlah isapan jempol.

Semoga tidak ada lagi anak yang harus melihat kematian di depan matanya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak perlu aparat bersikap represif dalam penegakkan aturan, dan agar pemimpin kita termasuk dalam pemimpin yang adil. (*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya