Kaltim

Program KB Masih Seksis: Pria Enggan Terlibat, Terkendala Mitos dan Agama

Yasmin Medina Anggia Putri — Kaltim Today 12 September 2022 20:27
Program KB Masih Seksis: Pria Enggan Terlibat, Terkendala Mitos dan Agama

Kaltimtoday.co, Samarinda - Di rumah sederhana bernuansa cokelat, "Irene" (51) menerima kehadiran awak Kaltimtoday.co. Tanpa berlama-lama di depan pintu, Irene mempersilakan kami duduk. Tampak di beberapa bagian sofa sudah ada yang mulai sobek. Namun Irene tetap tersenyum kecil.

"Maaf ya, rumahnya berantakan. Sofanya juga sobek sedikit. Jadi enggak enak saya," ungkap Irene sambil memperbaiki posisi hijab bergonya yang sedikit miring.

Di ruang tamu itu, terlihat sejumlah bingkai foto terpasang di dinding. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah foto berukuran 12R. Ada perempuan dan pria mengenakan pakaian adat Banjar di dalamnya. Foto pernikahan Irene dan suaminya.

"Saya menikah pada 1995. Waktu itu saya berusia 24 tahun dan sudah lulus kuliah," ungkap Irene sambil menengok ke arah foto pernikahannya.

Meski usianya dengan suami terpaut 12 tahun, Irene tak gentar berkomitmen untuk berumah tangga. Setelah menikah, mereka sama sekali tak melakukan program hamil. Kehadiran calon buah hati baru tercapai saat pernikahannya memasuki tahun ketiga.

"Saya ingat, waktu itu sempat hamil selama kurang lebih 10 minggu tapi keguguran," ucap Irene sembari tersenyum kecut, teringat memori memilukan.

Setelah dinyatakan keguguran, Irene langsung melakukan kuretase, prosedur mengeluarkan jaringan dari dalam rahim. Rahimnya dibersihkan karena ari-ari masih tertinggal di dalam.

Tanpa pikir panjang, Irene memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Kala itu, Irene bertanya apakah akibat keguguran pertamanya itu dia harus mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Sebab Irene diberitahu beberapa bidan untuk menunda kehamilan, karena baru saja mengalami keguguran. Khawatir jika mengandung lagi, kondisi si ibu justru tak kuat.

"Tapi, waktu itu saya merasa kurang puas dengan informasinya. Akhirnya saya tanya ke dokter, gimana? Apa setelah keguguran saya harus KB? Dokter bilang, enggak perlu, langsung saja," lanjut Irene.

Rupanya setelah kuretase pada Februari 1999, Irene mengaku tak dapat haid lagi. Hampir 3 bulan kemudian, Irene mengaku masih tak dapat haid dan dia dilanda kebingungan. Akhirnya Irene menggunakan test pack untuk memastikan dirinya hamil atau tidak. Walhasil, garis dua tampak di test pack tersebut. Dia pun langsung pergi ke dokter. Ternyata Irene dinyatakan hamil untuk yang kedua kali dengan usia kehamilan kurang lebih 10 minggu. Dari situ, dia mulai rajin kontrol tiap bulan ke dokter. Obat penguat dan vitamin pun diberikan demi mencegah terjadi keguguran seperti sebelumnya. Kehamilannya berjalan lancar, tak ada keluhan signifikan yang dirasakan Irene.

Anak pertama Irene pun lahir pada 1999 secara sectio caesarea (SC) alias caesar. Saat itu masalah kelahiran yang dialami anak Irene adalah ketuban pecah dini. Beruntung, Irene dan bayinya selamat.

"Setelah melahirkan anak pertama, saya langsung KB jenis intrauterine device (IUD). Orang mungkin familiernya yang spiral itu, Mbak. Saya pasang ke bidan," lanjutnya.

Tak muluk-muluk, alasan Irene menggunakan KB spiral karena mendengar pengalaman dari beberapa sanak-saudara dan teman. Apalagi ketika mendengar testimoni salah seorang teman yang menyebut haid akan tetap lancar dan aman. Irene pun membuktikannya, dia tak merasakan keluhan yang berarti. Haidnya lancar. Rasa sakit saat pemasangan KB spiral pun masih bisa dia toleransi.

Irene menggunakan KB spiral dengan jangka pemakaian 5 tahun. Di luar dugaan, pada tahun keempat pemakaian, Irene hamil untuk ketiga kalinya. Padahal selama menggunakan KB spiral, dia tak merasa ada masalah apa-apa.

"Saat tahun keempat itu kok enggak dapat haid. Sebelumnya kan lancar-lancar saja. Saya agak bingung itu. Kok saya enggak haid hampir 2 bulan, sementara saya masih pasang spiral," sambungnya.

Setelah berkonsultasi dengan dokter dan melakukan USG, rupanya Irene memang benar tengah mengandung. Saat itu usia kehamilannya hampir 10 minggu. Irene sempat bingung, karena KB spiral itu masih ada dan utuh di dalam rahimnya. Berhubung usia kehamilan sudah 10 minggu, akhirnya KB spiral dicabut oleh dokter.

"KB spiral itu harus dicabut karena khawatir akan menusuk janinnya. Proses pencabutannya ya sakit. Biasanya kalau cabut itu ketika haid di hari ke 4 atau 5. Itu enggak terlalu sakit. Tapi saya kan enggak pas haid. Soalnya kalau enggak langsung dicabut, bisa keguguran," jelas Irene.

Irene sempat hening sejenak, matanya mengarah ke langit-langit rumah. Berupaya menggali ingatannya ketika menanti buah hati kedua di kehamilan ketiga. Irene melanjutkan, pasca-KB spiral itu dicabut, terdapat sedikit flek darah yang keluar kurang-lebih seminggu. Kemudian berhenti dengan sendirinya.

"Saat kehamilan ketiga (anak kedua) saya enggak ada keluhan juga. Saat melahirkan, lagi-lagi saya operasi caesar karena bayinya terlilit tali pusar," ujarnya.

Setelah 40 hari pasca-melahirkan, Irene memutuskan menggunakan KB suntik. Alasannya Irene trauma dengan KB spiral. Seingat Irene, penyuntikan bisa dilakukan sebulan sekali atau tiap tiga bulan sekali. Irene lebih memilih KB suntik sebulan sekali karena khawatir lupa, jika memilih yang tiga bulan sekali. KB suntik dijalani Irene selama empat tahun.

Selama menjalani program KB, Irene selalu berusaha mencari informasi sendiri. Kadang bertanya dengan teman atau keluarga. Suaminya sama sekali tak pernah terlibat. Sekadar menyerahkan, terkesan tak terlalu peduli.

"Mungkin dia (suami) enggak ngerti. Mungkin dia kira ini urusan perempuan. Jadi saya yang menentukan pilihan," ucap Irene.

Efek samping yang cukup signifikan mulai dirasakan Irene saat menggunakan KB suntik. Haidnya kurang lancar dan berat badan meningkat tajam. Selama hamil anak kedua, berat badan Irene mencapai 72 kilogram. Sebelum hamil, beratnya hanya 60 kilogram. Pun pasca-bersalin dan KB suntik, beratnya ada di sekitar 65 kilogram. Irene paham KB suntik memengaruhi hormon.

Dari KB suntik, Irene akhirnya beralih ke pil KB. Namun, sebelum melanjutkan pengalamannya dengan pil KB, Irene kembali berkisah tentang satu momen yang masih diingatnya sampai sekarang.

"Pas melahirkan anak kedua, saya sempat mau tubektomi atau sterilisasi itu. Tapi, dokter enggak izinkan karena umur saya waktu itu masih 30. Itu saya ngomong minta disterilisasi masih di meja operasi lho. Tapi, beliau bilang, udahlah masih aman. Usia kehamilan kan masih sampai 35 tahun," tuturnya.

Akhirnya, selama 5 tahun pasca-kelahiran anak kedua, Irene rutin meminum pil KB. Setiap hari satu pil. Alasan memilih pil karena saat KB suntik, Irene merasa haidnya kurang lancar. Dia cukup terbantu dengan jenis kontrasepsi yang satu ini. Sebab di tiap pil sudah tertera tanggal. Antisipasi agar tidak lupa meminumnya.

"Pil sih haidnya lancar aja tiap bulan, tapi kadang enggak terlalu banyak. Kalau biasanya tujuh hari, ini haidnya paling cuma lima hari," tambahnya.

Sesuatu terjadi pada tahun kelima penggunaan pil KB. Irene tak begitu yakin saat menceritakan bagian ini. Kemungkinan besar dia sempat lupa meminum satu pil, tapi keraguan terus menghantuinya kala itu. Ia sendiri merasa tak pernah ketinggalan satu pun.

"Akhirnya saya hamil lagi. Jarak kehamilan saat itu dengan kakaknya (anak kedua) ya sembilan tahun. Seingat saya, sudah enggak dapat haid itu dari Oktober. Tahu hamilnya pas Desember karena saya periksa (pakai) test pack. Eh, garis 2 lagi," ungkap Irene sambil senyum.

Irene pun kembali datang ke dokter dan rupanya kehamilannya sudah berjalan tiga bulan. Respons dokter kala itu tak begitu menjawab kebingungan Irene. "Kayaknya ibu ada lupa minum pilnya," ujar Irene menirukan respons sang dokter saat itu.

Irene hamil lagi di usia 39. Atas pertimbangan usia, operasi caesar kembali dipilih. Pasca-bersalin, Irene dengan mantap memutuskan untuk tubektomi alias sterilisasi. Sederhananya, tubektomi adalah metode kontrasepsi untuk perempuan dengan cara memotong atau mengikat saluran tuba falopi. Alhasil, sel telur tak akan bisa menuju rahim.

"Saya minta ke dokter untuk sekalian steril. Setelah anaknya lahir, akhirnya langsung steril. Saya yang dipotong saluran tubanya. Kalau sudah dipotong, ya enggak bisa hamil lagi," jelasnya.

Di usianya yang sudah menginjak setengah abad, kini Irene lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai ibu rumah tangga. Kendati anak pertama dan keduanya sudah besar, Irene masih punya anak bungsu yang duduk di bangku SD. Pun Irene menyibukkan diri dengan mengantar-jemput anak bungsunya sekolah, membantunya mengerjakan PR, dan mau tak mau bergaul dengan ibu-ibu di sekolah anaknya yang kebanyakan berusia jauh lebih muda dari Irene.

"Saya setuju kok dengan program KB. Sampai punya anak 3 juga saya enggak menyesal. Tapi kadang kalau dipikir, capek juga ya gonta-ganti jenis kontrasepsi. Untungnya dulu kan masih muda," jelas Irene sedikit berseloroh.

Berdasarkan pengalaman pribadinya yang dua kali 'kebobolan' meski sudah menggunakan alat kontrasepsi, akhirnya Irene menyadari bahwa program KB memang ada yang berhasil dan gagal. Di sisi lain, ada harapan dalam diri Irene agar program KB tak melulu ditekankan ke pihak perempuan. Apalagi ada beberapa perempuan yang tidak bisa mengikuti program KB karena punya penyakit lain.

"Suami harusnya juga berpartisipasi. Saya setuju pria ber-KB. Entah menggunakan kondom atau vasektomi. Untuk kesehatan reproduksi kedua belah pihak," katanya.

Data hingga Juni 2022, BKKBN mengklaim pelayanan KB nasional melebih target sampai 120 persen. Tercatat 1.325.813 orang yang telah menggunakan layanan KB atau alat kontrasepsi, lebih tinggi dari target BKKBN yang hanya 1.146.000 saja.

Masalahnya, pengguna alat kontrasepsi ini masih dibebankan pada perempuan. Buktinya, angka perbedaan tingkat partisipasi perempuan dan laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi masih sangat timpang. Hasil survei BKKBN tahun 2018 menunjukkan bahwa angka partisipasi perempuan dalam penggunaan kontrasepsi sebesar 96,7 persen. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan partisipasi laki-laki yang hanya sebesar 3,3 persen.

Program KB yang dikerjakan pemerintah masih lebih banyak ditujukan pada perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan, menyusui, hingga menggunakan alat kontrasepsi demi mengontrol kesuburan. Tak sedikit perempuan yang akhirnya seperti Irene, memilih dan menjalani program KB-nya sendiri, tanpa diskusi dan keterlibatan suami.

Terbukti dari opsi alat kontrasepsi yang lebih banyak dibikin untuk perempuan, seperti intrauterine device (IUD) atau spiral, suntik, pil, susuk atau implan, dan tubektomi (sterilisasi perempuan). Sementara untuk laki-laki, opsi yang tersedia hanya vasektomi (sterilisasi laki-laki) dan penggunaan kondom saat berhubungan seksual.

Kampanye-kampanye KB di manapun hampir tidak pernah menekankan dan memprioritaskan pemakaian kondom untuk laki-laki. Justru, kondom seringkali dikaitkan dengan pelacuran.

Alhasil, risiko dari penggunaan alat kontrasepsi juga dihadapi perempuan sendiri. Termasuk masalah-masalah kesehatan yang jadi efek produk kontrasepsi tersebut. Ika Hutaminingsih dalam Persepsi Perempuan Terhadap Alat Kontrasepsi menyebut bahwa efek samping ringan antara lain pendarahan, tidak menstruasi, flek, dan luka pada jalan lahir di pemakaian KB spiral. Sementara di tindakan tubektomi, bisa menyebabkan luka setelah operasi dan tidak mendapat menstruasi. Kemudian efek samping pada KB implan, pil, dan suntik bisa terjadi pusing, mual, berat badan naik, dan menstruasi tidak lancar.

Termasuk komplikasi pada pemakaian alat kontrasepsi yang mampu memicu pendarahan, infeksi, keputihan agak berbau hingga alat kontrasepsi yang menembus kandungan. Kendati begitu, banyak orang menganggap efek samping tersebut lazim terjadi ketika perempuan menggunakan kontrasepsi. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa kehamilan bergantung pada tingkat kesuburan perempuan. Seakan-akan tanggung jawab perihal anak dan keluarga seluruhnya dibebankan pada perempuan.

Hutaminingsih menyebut, melekatnya fakta fungsi biologis pada perempuan tak lepas dari budaya patriarki yang masih tercermin dalam produk dan kebijakan kontrasepsi kita. Ada tipu muslihat dan pembelokan makna kebertubuhan untuk mengontrol perempuan di dalamnya.

Vasektomi, Bias Kontrasepsi pada Pria, dan Semangat Yono Memotivasi Pria untuk Ber-KB

“Dulu itu, istri saya ada keluhan karena pakai KB spiral. Tapi, rahim istri saya itu pendek, jadi enggak bisa dipasang. Lalu pakai KB implan atau susuk, muncul keluhan juga berat badannya bertambah,” cerita Suyono, peserta KB yang memutuskan vasektomi, 14 tahun silam, saat dia berumur 39.

Saat ini, Yono berusia 58 tahun. Dia memiliki tiga anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Ketiganya sudah bekerja dan dua anak perempuannya juga sudah berkeluarga. Meski Yono sudah resmi menjadi pensiunan, dia masih sibuk menggerakkan kelompok KB pria di Palaran, Samarinda, dan aktif memberi motivasi dan edukasi kepada calon peserta KB pria.

Berangkat dari keluhan sang istri yang sempat ber-KB, Yono dan istri pun duduk berdua untuk mencari jalan keluar. Pasca vasektomi pada 2004, Yono mengaku tak merasakan keluhan apa pun. Hubungan rumah tangganya pun tetap harmonis. Kala itu, mitos dan hoaks soal vasektomi masih sangat amat mengakar kuat dan itu didengar langsung olehnya.

Berbekal pengalamannya yang sudah vasektomi sejak lama, Yono pun terlibat di kelompok KB pria di sekitar tempat tinggalnya. Tak melulu dikemas dengan agenda formal, Yono dengan senang hati menerima berbagai pertanyaan dari para pria soal vasektomi. Entah saat waktu santai, bertandang ke rumah, atau via telepon.

“Biasanya saat istirahat, kami cerita-cerita dan dari situ akhirnya mereka (masyarakat) mulai penasaran. Saya selalu bilang, pokoknya pikirkan secara mantap dan matang, diskusikan dengan keluarga kalau mau vasektomi,” ujarnya.

Sekalipun jika sudah mantap untuk vasektomi, Yono menyebut masih ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Salah satunya screening kesehatan. Di antaranya, mengecek tekanan darah, gula darah, bahkan ada atau tidaknya indikasi prostat turut dicek. Jika semua pemeriksaan aman, barulah tindakan bisa terlaksana.

Memberikan penjelasan kepada mereka yang masih awam perihal kontrasepsi, khususnya vasektomi tentu jadi tantangan tersendiri. Sebagai pegiat di kelompok KB pria, Yono mengemban tanggung jawab untuk memberikan pemahaman dan edukasi ke calon akseptor. Tak kenal maka tak sayang, semua pun diawali dengan proses perkenalan. Sampai kemudian Yono menjelaskan untung dan rugi dari seluruh alat kontrasepsi yang ada. Termasuk KB untuk perempuan.

“Kami juga menjelaskan bagaimana tubektomi di mana istri yang sterilisasi dengan kami pria yang sterilisasi. Kami jelaskan perbedaannya, dampaknya, risikonya. Nanti biarkan mereka yang penasaran dulu, tidak kami kejar. Kalau nanti mereka bertanya, kami ajak ngobrol lagi dan ditanya apakah sudah mantap?” beber Yono.

Yono mengakui, penjelasan itu tak cukup diberikan 1-2 kali. Bahkan pernah ada istri calon akseptor KB pria yang menolak suaminya dilakukan tindakan vasektomi. Penyebabnya karena si istri takut dan salah paham mengira vasektomi sama dengan dikebiri. Padahal kebiri dan vasektomi sangat jauh berbeda. Ujungnya, sang istri yang malah memutuskan melakukan tubektomi.

Tantangan saat Mengedukasi: Agama dan Mitos

Menurut Yono, berdasarkan pengalaman ada dua hal yang jadi tantangan ketika mengedukasi pria soal KB, yakni agama dan mitos.

Tak sedikit yang berpendapat bahwa vasektomi menentang aturan agama. Namun, Yono bersyukur di lingkungan Palaran, justru ada ustaz yang juga merupakan peserta KB pria vasektomi. Ustaz tersebut turut membantunya memberi penjelasan terkait vasektomi dari sudut pandang agama. Sedangkan soal mitos seperti pria tidak akan bisa bekerja berat, hasrat seksual menurun dan sebagainya, akan Yono tepis dengan penjelasan bertahap yang juga didukung dengan pengalaman pribadinya.

“Kalau ada seseorang yang belum yakin untuk vasektomi, ya biarkan saja dulu. Di kelompok KB pria, kami pertemuan rutin itu enggak menentu ya. Jujur kami sulit mengumpulkan karena mereka bekerja. Akhirnya kami lebih banyak ngobrol-ngobrol kecil saja. Telepon pun bisa,” jelas pria berkacamata itu.

Capaian akseptor atau peserta KB untuk menggunakan berbagai alat kontrasepsi di Kaltim sendiri tampak variatif. Berdasarkan data dari Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kaltim, mulai Januari sampai Agustus 2022 ini untuk peserta KB aktif yang memilih KB suntik ada 119.288. Disusul oleh pil KB dengan pengguna sebesar 74.529. Lalu di posisi ketiga ada KB spiral atau IUD dengan jumlah pengguna sebanyak 27.735. Selanjutnya ada KB implan dengan 16.760 pengguna.

Sementara itu di posisi selanjutnya ada kontrasepsi tubektomi atau sterilisasi bagi perempuan dengan peserta aktif sebanyak 12.105. Disusul dengan penggunaan kondom untuk pria sebanyak 8.206. Peserta paling sedikit ada di jenis kontrasepsi vasektomi atau sterilisasi bagi pria yakni hanya 544 pengguna.

Selama ini, hampir jarang terdengar imbauan program KB untuk pria.

Kondom mungkin jauh lebih familier dan barangnya mudah ditemui di apotek hingga swalayan. Namun vasektomi masih jadi momok bagi sebagian besar pria. Padahal, mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga di pasal 21 ayat 2 huruf D telah disebutkan bahwa meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktik keluarga berencana. Artinya keterlibatan pria untuk ber-KB sangat ditekankan.

Mitos dan informasi tak mengenakkan itu sampai ke telinga para lelaki. Mulai rasa sakit di bagian alat kelamin hingga hilangnya hasrat seksual. Walhasil, sebagian besar masyarakat awam hanya memahami alat kontrasepsi untuk perempuan dan lagi-lagi, perempuan justru mendominasi keputusan untuk program KB.

Kepala Perwakilan BKKBN Kaltim, Sunarto dengan tegas menyampaikan, pihaknya justru tengah menggenjot kenaikan partisipan pria untuk memilih vasektomi. Namun, vasektomi dikhususkan bagi pasangan yang tak ingin memiliki anak lagi karena sifatnya permanen. Diakui Sunarto, penggarapan dari program KB pria memang tak maksimal. Sebab ada banyak anggapan yang menilai bahwa KB pria itu tidak lazim dan tabu. Sebenarnya, ujar Sunarto, pengarahan program KB pria dan perempuan itu sama. Bukan berarti perempuan yang diprioritaskan untuk ber-KB. Namun mengumpulkan para pria memang jauh lebih sulit.

"Untuk KB pria khususnya vasektomi, kami ada banyak kendala. Kendala yang paling dasar itu dari sisi agama dan mitos," jelas Sunarto saat ditemui Senin (15/8/2022).

Sunarto memberi contoh salah satu mitos. Misalnya, pria yang memutuskan vasektomi maka akan berkurang keperkasaannya dan tak bisa bekerja berat. Kendala dari sisi agama, biasanya ada yang menyebut bahwa vasektomi bertentangan dengan aturan agama.

"Kendala seperti itu akhirnya kami coba selesaikan. Misalnya di Samarinda, kami sudah mulai menggandeng pihak lain untuk membantu mensosialisasikan soal vasektomi," lanjutnya.

Perwakilan BKKBN Kaltim turut bekerja sama dengan Forum Antar Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Fapsedu) Kaltim dalam rangka menyiarkan informasi yang kredibel soal vasektomi. Fapsedu Kaltim, ujar Sunarto, berupaya untuk menjelaskan bahwa kontrasepsi tidak dilarang oleh agama dan hal tersebut jadi pilihan bagi tiap individu.

“Tahun ini, target (vasektomi) ditambah. Bahkan kalau untuk Samarinda saja, sudah hampir 100 persen pria yang memutuskan vasektomi. Ini lumayan bagus. Kalau kabupaten dan kota lain belum,” tambah Sunarto.

Dijelaskan Sunarto, vasektomi memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, sangat efektif mencapai 97-98 persen atau kehamilan hanya terjadi pada 2-3 per 100 wanita pada tahun pertama penggunaan. Kemudian, tidak memengaruhi kemampuan seksual pria, tindakan medis dilakukan secara singkat, mudah, aman, dan sederhana. Bahkan, tindakan vasektomi bisa dilakukan dengan metode tanpa pisau bedah.

Kendati demikian, keterbatasan dari vasektomi juga perlu dipahami masyarakat luas. Misal, setelah tindakan vasektomi, pria diharuskan beristirahat selama 2-3 hari dan menghindari kerja berat selama beberapa hari dan setelah operasi, masih harus menggunakan kondom atau alat kontrasepsi lainnya selama 3 bulan untuk memastikan cairan mani tidak mengandung sperma.

“Seseorang tidak bisa vasektomi kalau ada kelainan pada buah dan kantung zakar, ada penyakit penyerta, belum yakin mengenai keinginannya untuk tidak memiliki anak lagi, dan jumlah anak kurang dari 2 dan umur anak terakhir di bawah 2 tahun,” tegasnya.

Sunarto melanjutkan bahwa di tiap kabupaten dan kota di Kaltim ada mengadakan sosialisasi terkait vasektomi. Bahkan tiap daerah memiliki kelompok-kelompok KB pria khusus kontrasepsi vasektomi. Kelompok tersebut lah yang membantu pihaknya untuk menyosialisasikan sekaligus menjadi motivator untuk menarik peserta KB pria lainnya.

“Banyak upaya yang kami lakukan tapi memang sampai hari ini hasilnya belum memuaskan. Tapi kami tetap mendorong itu dan berharap target-target bisa tercapai,” tuturnya lagi.

Meski kelompok KB pria sudah cukup lama terbentuk, namun Perwakilan BKKBN Kaltim masih berusaha untuk meremajakan kepengurusannya agar bisa lebih masif lagi. Sebab seluruh pembiayaan yang berkaitan dengan kegiatan kelompok KB sudah ditempatkan di kantor perwakilan masing-masing kabupaten dan kota.

Kesalahan Besar Pria Anggap Vasektomi Turunkan Hasrat Seksual

Tindakan vasektomi juga didukung dengan keterangan dari dokter spesialis urologi. Dia adalah dr Boyke Soebhali, SpU (K). Selama ini, tindakan vasektomi memang lebih familiar dilakukan oleh dokter spesialis. Kendati demikian, Boyke menjelaskan bahwa dokter umum pun bisa melakukannya. Namun memang harus dibarengi dengan sertifikasi kompetensi. Harus diakui, pasien vasektomi sangat minim sekali. Minimnya pasien turut mempersulit pergerakan para dokter umum untuk melakukan penindakan. Alhasil, tak terlalu banyak dokter umum yang mengantongi sertifikat kompetensi tersebut.

“Vasektomi itu berarti memotong dua jalur yang berbentuk pipa bernama vas deferens. Vas deferens adalah saluran dari sperma yang tadinya diproduksi di testis, itu akan dialihkan ke tempat penyimpanannya yang bernama vesikula seminalis dan letaknya di bawah prostat. Saluran itu dipotong sehingga sperma yang awalnya diproduksi di testis tidak bisa dikeluarkan,” jelas Boyke saat ditemui di RSUD AW Syahranie Samarinda, belum lama ini.

Boyke juga menyadari ketakutan-ketakutan para pria ketika harus divasektomi. Misalnya, khawatir hasrat seksual akan turun atau justru menjadi impoten. Namun justru sebaliknya. Sebab, ketika sperma diproduksi dan tidak bisa keluar maka otomatis tubuh akan berusaha mengeluarkannya.

“Bagaimana cara tubuh bisa mengeluarkan sperma? Libidonya meningkat. Ini secara ilmiah ada, sebab jika spermanya tidak dikeluarkan maka akan terkumpul di epididimis yakni saluran panjang yang letaknya di belakang testis,” lanjutnya.

Proses vasektomi juga tak sembarangan. Ada beberapa syarat dan kriteria yang harus dipenuhi pria. Di antaranya, harus dilakukan secara sukarela, mendapat persetujuan istri, memiliki jumlah anak yang cukup minimal 2 orang dan anak paling kecil harus sudah berumur di atas 2 tahun, mengetahui akibat tindakan vasektomi, berumur tidak kurang dari 30 tahun, serta memiliki istri dengan umur yang tidak kurang dari 20 tahun dan tidak lebih dari 45 tahun.

“Setelah tindakan, pada beberapa orang ada yang merasa nyeri, tapi tidak banyak. Kalau komplikasi tindakan seperti berdarah itu juga sangat kecil, tapi ya ada. Nyeri itu subjektif sekali. Setelah vasektomi, keesokan harinya yang bersangkutan juga sudah bisa beraktivitas,” tambah Boyke.

Bahkan, selama proses tindakan vasektomi pun tak memakan waktu lama, hanya berkisar antara 10-15 menit. Dari beberapa pasien yang diketahui Boyke, alasan pria memutuskan vasektomi biasanya karena tak tega melihat istrinya harus berkorban menggunakan berbagai jenis kontrasepsi. Sederhananya, para suami mengalah untuk istrinya. Mengingat vasektomi sangat minim efek samping. Tak seperti kontrasepsi yang digunakan perempuan.

“Sebenarnya bagi yang sudah divasektomi dan tiba-tiba berubah pikiran, misalnya ingin punya anak lagi, itu masih bisa disambung. Tapi idealnya kurang dari tujuh tahun setelah tindakan. Itu pun kemungkinannya sekitar 20 persen. Kalau lebih dari tujuh tahun, praktis nol. Kecil kemungkinan bisa subur lagi,” tandasnya.

[YMD | TOS]

Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya di Media” yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Related Posts


Berita Lainnya