Opini

Ramadan dan Keikhlasan Profetik

Kaltim Today
25 April 2020 11:59
Ramadan dan Keikhlasan Profetik

Oleh: Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag

Shiyâm Ramadan merupakan salah satu ibadah yang mengandalkan keikhlasan dan sunyi dalam beraksi. Hal ini karena pada prinsipnya selain si pelaku hanya Allah yang mengetahui aksinya; apakah dia berpuasa atau tidak. Di dalam hadits Qudsi Allah pun berfirman: “Ibadah puasa itu milikKu dan Aku Sendiri yang akan memberi balasan kepadanya”.

Pelaksanaan semua ibadah selain ibadah shiyâm mempunyai dua sisi penilaian; penilaian dari manusia dan penilaian dari Allah. Seseorang akan mendapat penilaian dari orang lain baik nilai positif dengan pujian maupun nilai negatif dengan cibiran setelah melihat tata laksana ibadahnya. Seseorang yang secara demonstratif melaksanakan shalat dengan bacaan panjang dan sujud yang lama, akan mendapatkan haknya untuk dipuji atau mungkin dicaci oleh manusia yang melihatnya. Begitu juga halnya dengan ibadah sosial dalam bingkai kegiatan kemanusiaan, tidak jarang pribadi-pribadi yang secara massive melakukan broadcast kiprah sosialnya supaya menjadi viral dan mengharap respon positif dengan mendapat penghargaan dan pujian dari banyak kalangan. Bahkan dalam kasus  menunaikan ibadah haji, telah banyak yang melakukan arogansi keberagamaan dengan menjadikan haji sebagai gelar sosial dengan surban dan kethu putih sebagai identitasnya, yang dalam komunitas tertentu menjadi penentu status sosial. Padahal sebaik apapun nilai yang diberikan manusia tidak akan menentukan kualitas amal dan kelayakan diterimanya ibadah.

Yang harus menjadi prioritas dalam beribadah bagi setiap muslim adalah meraih nilai maksimal dari Allah Yang Maha Sempurna, dengan berusaha yang sungguh-sungguh untuk memenuhi dua kriteria dalam melaksanakan ibadah; pertama, kriteria keikhlasan dalam beribadah. Kedua, kriteria kesesuaian pelaksanaan ibadah dengan S.O.P. dan tata laksana yang telah digariskan dalam ajaran islam.

Ibadah shiyam merupakan salah satu ibadah dengan semangat silence performance yang tidak mungkin pamrih dalam melaksanakannya. Sangat berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang bersifat demonstratif bahkan menjurus kepada arogansi dalam keberagamaan. Oleh karena itu, ibadah shiyam membutuhkan keikhlasan prophetic, yaitu keikhlasan tingkat nabi. Dan inilah yang menjadikan puasa itu menjadi salah satu ibadah yang berat. Puasa itu ibadah yang Allah oriented bukan human oriented. Sementara nilai yang Allah berikan tidak bisa dirasakan secara langsung.

Beratnya beban ibadah puasa ditunjukkan oleh Allah melalui ungkapan yang digunakan dalam mewajibkan puasa. Allah mewajibkan puasa dengan menggunakan ungkapan kutiba `alâ. Yang perlu diketahui adalah bahwa perintah ibadah puasa di dalam al-Quran hanya terdapat di surat al-Baqarah ayat 183, dan cara mengungkapkan wajibnya puasa tersebut, Allah menggunakan lafadz kutiba `alâ. Meskipun ungkapan semacam ini memiliki produk hukum yang sama dengan wajib dan fardhu, tetapi struktur bahasa Al-Quran selalu menggunakan ungkapan semacam ini untuk mewajibkan ibadah-ibadah dalam kategori berat dan membebani. Seperti halnya perintah shalat pada awal waktunya  di Q.S. al-Nisa [4]:103; dan juga pelaksanaan hukum qishash dalam pembunuhan  di Q.S. al-Baqarah [2]: 178 dan Q.S. al-Maidah [5]: 45. Meskipun ibadah puasa itu berat, tetapi umat islam tetap dituntut  menunaikannya dengan sempurna untuk mencapai target minimal menjadi pribadi yang selalu berhati-hati  dalam setiap langkahnya (taqwa).

Secara fisik dan psikis, manusia itu lemah dan untuk melaksanakan pekerjaan  yang berat, seseorang membutuhkan motivasi yang mempengaruhi tekadnya untuk berbuat. Dengan melakukan pembacaan terhadap ayat-ayat puasa secara kontekstual, dapat dipahami bahwa secara tidak langsung Allah telah memberikan motivasi spiritual melalui pendekatan historis dalam ungkapan firmanNya; kamâ kutiba `alal-ladzîna min qablikum (sebagaimana -ibadah puasa ini- telah diwajibkan atas umat sebelum kamu).

Motivasi spiritual melalui pendekatan historis ini merupakan strategi Allah dalam membantu umat Islam menyelesaikan suatu ibadah. Pendekatan ini yang dalam kajian fiqih dikenal dengan tema bahasan syar`u man qablanâ (syariat umat sebelum kita), menghadirkan fakta sejarah umat-umat terdahulu yang juga menjalan ibadah yang sama bahkan ibadah yang diwajibkan atas mereka terkesan lebih berat dari ibadah yang diwajibkan atas umatnya nabi Muhammad saw. Pendekatan historis ini pada hakekatnya adalah study comparative tentang kehidupan keberagamaan umat terdahulu. Pendekatan ini bertujuan menyentuh alam sadar manusia supaya berpikir secara rasional sehingga terbentuklah sebuah tesis yang dapat memacu semangat menuntaskan beban berat ibadah shiyam ini; “kalau mereka bisa, mengapa saya tidak”.

Selain itu, pendekatan sosiologis juga terbukti mampu menggairahkan pelaksanaan ibadah-ibadah dengan tingkat keberatan tertentu. Melaksanakan ibadah dengan tingkat kehebohan sosial yang tinggi akan mampu mempengaruhi orang dalam memotivasi dirinya untuk berbuat. Sebagaimana yang telah disinngung di atas, ibadah puasa adalah ibadah yang paling privasi, tetapi ibadah-ibadah pendukung kesempurnaan ibadah puasa tersebut banyak dipengaruhi oleh kehebohan-kehebohan sosial.

Kategori Ibadah dengan tingkat kehebohan sosial yang tinggi terbukti mampu menggairahkan orang banyak untuk berbuat meskipun sebenarnya pekerjaan itu berat. Banyaknya orang yang melakukan jenis pekerjaan yang sama, akan menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang untuk melakukan hal yang sama pula. Seperti halnya Shalat Tarawih yang 23 rakaat itu. Pada dasarnya berat, tetapi kehebohan berjamaah akan menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang  untuk menuntaskan 23 rakaat itu. Tadarrus Al-Quran dalam rentang waktu yang lama itu juga berat, apalagi dilakukan sampai tengah malam, tetapi akan menjadi ringan ketika tadarrus tersebut memiliki tingkat kehebohan sosial yang tinggi; kehebohan sosial itu terjadi dengan menggunakan pengeras suara luar, kehebohan sosial dalam tadarrus itu terwujud ketika persaingan antar individu dalam merebut hati yang mendengarkan, bahkan persaingan antar mushalla dan masjid juga terjadi.

Ramadan 1441 H ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ramadhan yang dihantui kekhawatiran paparan pandemi corona covid -19  ini semakin berat karena ibadah-ibadah pendukung di bulan ramadan dengan tingkat partisipasi sosial yang tinggi seperti tarawih, tadarrus, nuzul Quran, takbir keliling dan lainnya tidak lagi berfungsi menjadi syiar yang menggerakkan karena pelaksanaannya sangat dibatasi bahkan ditiadakan. Oleh karena itu, ibadah-ibadah kita di bulan Ramadan ini hanya mampu digerakkan oleh iman dan keikhlashan profetik. Inilah alasan yang rasional mengapa hanya orang-orang yang beriman yang menjadi sasaran perintah menjalankan ibadah puasa Ramadan ini. Seberat apapun suatu pekerjaan, akan terasa ringan ketika dilandasi keimanan dan tekad yang kuat. Sebaliknya, seringan apapun suatu pekerjaan, akan terasa sangat membebani ketika tidak ada keyakinan dan tekad di dalam hatinya.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya