Opini

Syariat Islam, Solusi Atas Problematika Aksesibilitas Pendidikan

Kaltim Today
24 Juni 2021 20:14
Syariat Islam, Solusi Atas Problematika Aksesibilitas Pendidikan

Oleh: Fani Ratu Rahmani (Aktivis Dakwah dan Pendidik)

Persoalan aksesibilitas di dunia pendidikan tak kunjung berakhir. Banyak anak yang sulit melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi, faktor nilai akademik yang tidak memenuhi syarat, hingga daya tampung sekolah yang tidak mampu mencukupi jumlah peserta didik yang lulus setiap tahunnya. Bahkan, solusi zonasi telah dicoba namun untuk kesekian kalinya pula membuahkan masalah.

Seperti yang terjadi di Balikpapan, Kesiapan Pemerintah Kota Balikpapan dalam menggelar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun ajaran 2021/2022 tak perlu diragukan lagi. Namun yang menjadi persoalan adalah sekolah negeri tidak mampu menampung seluruh kebutuhan masyarakat. Di lain sisi, perbedaan kualitas antar sekolah membuat peserta didik gamang menggunakan sistem zonasi yang berbasis domisili tempat tinggal. 

Ketua Komisi IV DPRD Kota Balikpapan Muhammad Taqwa mengatakan, penerapan sistem zonasi dalam proses PPDB online di Balikpapan masih belum didukung oleh ketersediaan fasilitas pendidikan. Menurutnya, karena pelaksanaan sistem zonasi dalam proses PPDB tidak akan berjalan lebih baik apabila tidak didukung oleh ketersediaan fasilitas pendidikan yang merata. (Balikpapan Prokal, Minggu 20 Juni 2021)

Ada yang nilai secara akademik tinggi, hanya saja tersandera dengan sekolah yang berkualitas minim, atau bahkan tersingkir dari seleksi domisili melalui zonasi. Inilah yang membuat sejumlah orangtua melakukan demonstrasi ke Dinas Pendidikan Balikpapan. Aksi demonstrasi ini digelar pada Senin (21/06/2021) siang. Mereka memrotes kebijakan pemerintah, lantaran anak-anak mereka tidak diterima di sekolah negeri melalui sistem zonasi dan mengemukakan empat tuntutan. (Kaltim Suara, Senin 21 Juni 2021)

Usai didemo orang tua siswa, Pemkot Balikpapan kembali memutuskan untuk membuka penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP jalur zonasi berdasarkan nilai tertinggi. Hanya saja, ini akan memakai sisa kuota yang ada setelah jalur zonasi berdasarkan titik koordinat domisili berakhir, yakni diselenggarakan pada 29-30 Juni 2021 (Kaltim Suara, Senin 21/6/21). 

Untuk sementara, para orangtua meredam diri, walau tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Lagi-lagi ini tidak cukup jadi solusi atas kebutuhan pendidikan generasi. Mayoritas masyarakat menginginkan agar anaknya mampu bersekolah di sekolah negeri karena kemampuan para orangtua untuk mengakses pendidikan lebih murah dibandingkan sekolah swasta maupun pesantren. Oleh sebab itu, adalah keliru apabila Pemkot justru mencanangkan program kerja memperbanyak sekolah swasta di tengah masyarakat yang kesulitan untuk mengaksesnya.

Persoalan aksesibilitas yang tak kunjung usai sebenarnya sebuah kewajaran tatkala kita hidup dalam sistem kapitalisme. Negara yang mengakar di dalamnya prinsip materialistik, tidak akan memandang pendidikan sebagai kebutuhan tapi sebuah barang yang hanya bisa dicapai ketika ada uang. Negara tidak akan menyediakan fasilitas pendidikan sesuai kebutuhan, tapi akan memberi ruang bagi swasta untuk membuka sekolah sebagai 'saingan' dan alternatif solusi melihat kuantitas dan kualitas sekolah negeri yang rendah.

Padahal di dalam Islam, Menuntut ilmu adalah kewajiban. Rasulullah bersabda : ”Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan.” (HR. Muslim)

Hadits ini memberikan makna bahwa apabila di antara kaum muslimin, baik laki-laki mapun perempuan terhalang mengakses pendidikan karena faktor ekonomi maka kewajiban negara untuk membuatnya dapat menunaikan kewajibannya. Jika masyarakat terhalang mengakses pendidikan karna faktor daya tampung sekolah juga menjadi tanggung jawab negara menyelesaikannya dengan memperbanyak dan memperbaiki kualitas fasilitas pendidikan.

Pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat yang wajib disediakan negara di dalam Islam. Artinya negara wajib memastikan masyarakat dapat mengakses pendidikan dimanapun ia berada dengan latar belakang apapun tanpa memandang nilai akademik sekalipun. Akses dalam hal ini menyangkut semua aspek, jenjangnya, biayanya, jaraknya, jumlahnya, fasilitasnya, dan lain-lain. Negara melakukan ini semua semata-mata ketaatannya kepada Allah ta'ala.

Namun, persoalan aksesibilitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi yakni pembiayaan terhadap pendidikan. Di sistem kapitalisme ini lah faktornya, minim biaya untuk pendidikan. Dengan sebuah pandangan bahwa pendidikan itu tanggung jawab individu bukan negara. Negara yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan terbesar, tidak akan mampu membiayai dan memfasilitasi pendidikan dengan kualitas mumpuni. Di sinilah umat Islam harus menyadari bahwa kapitalisme gagal menjawab persoalan aksesibilitas pendidikan saat ini.

Sedangkan dalam Islam, untuk mewujudkan akses pendidikan bagi semua rakyat aturan Islam telah menyokong dengan adanya petunjuk pembiayaan pendidikan. Pendidikan dibiayai oleh harta Baitul Maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Kepemilikan umum dalam Islam meliputi kekayaan alam yang sifatnya tidak dimiliki oleh perorangan karna jumlahnya yang tidak terbatas atau diumpamakan seperti air yang mengalir. 

Adanya pos-pos khusus untuk pemasukan negara termasuk hasil pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah ruah menjadikan negara dalam Islam punya cukup dana untuk pembiayaan pendidikan. Bahkan bukan hanya itu, pos kepemilikan umum sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Menjadi wajar apabila, kebutuhan ini bisa diakses oleh masyarakat tanpa biaya.

Potret sejarah penerapan aturan-aturan Islam dalam pembiayaan pendidikan ini tercermin dari sejarah Kekhilafahan Islam. Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di Baghdad contohnya. Siswa-siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Tak hanya itu, keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitasnya pun lengkap seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Tentu tidak ada kekhawatiran tentang daya tampung karna itu jelas diperhatikan utama oleh negara.

Inilah wujud sistem pendidikan yang menggambarkan bagaimana Islam memberi tuntunan penyelenggaraan urusan publik khususnya pendidikan. Jangankan soal daya tampung, Islam justru beberapa langkah lebih maju dari sistem pendidikan sekarang. Islam bukan lagi sibuk dengan persoalan teknis tapi bagaimana mencetak generasi terbaik (khairu ummah) yang akan terwujud dengan sinergi terbaik mulai dari keluarga, masyarakat, dan negara. Wallahu'alam bish shawab.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya