Kukar
Pengamat Politik Sebut Surat Rekomendasi Bawaslu RI Terkait Diskualifikasi Edi Damansyah Sudah Tidak Berlaku
Kaltimtoday.co, Tenggarong - Surat rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terkait Pilkada di Kukar, yang ditujukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI hingga kini belum menemui kejelasan.
Untuk memastikan perkembangan surat tersebut, awak media menghubungi komisioner Bawaslu Kaltim, Galeh Akbar.
Dia mengatakan, terkait perkembangan surat itu, pihaknya belum mengetahui seperti apa, pasalnya Bawaslu Kaltim hingga kini tidak dapat surat tebusan dari Bawaslu RI.
"Jika secara kelembagaan kedudukan surat tersebut masuk ranahnya Bawaslu RI, bukan ranahnya provinsi ataupun kabupaten," kata Komisioner Bawaslu Kaltim, Galeh Akbar, Rabu (18/11/2020).
Terkait tindaklanjut surat tersebut dalam pelaksanaan Pilkada, dia menuturkan bahwa itu domainnya KPU.
Selain itu, dia menjelaskan, selama belum ada pemberhentian dari pihak KPU maka semua tahapan yang dilakukan tetap berjalan.
"Jadi saat ini kami akan menunggu apapun hasil keputusan yang diambil KPU terkait tindaklanjut kedepannya," ujar Galeh.
Dia mengingat kepada masyarakat Kukar jika beda pandangan itu boleh, tetapi harus menjaga kondusifitas di daerahnya, jika terjadi gejolak maka Kukar yang akan dirugikan.
View this post on Instagram
"Masyarakat Kukar harus menjunjung tinggi asas demokrasi yakni saling menghargai perbedaan satu sama lain," ungkapnya.
Bawaslu Kaltim dan Kukar sempat menangani beberapa kasus yang dilaporkan. Tetapi kasus provinsi maupun Kaltim itu berbeda. Ternyata, lanjut dia kasus yang dilaporkan pelapor di Bawaslu RI itu berbeda dengan kasus yang pihaknya tangani.
"Berarti ada tiga kasus yang dilaporkan ke Bawaslu di 3 jenjang yang berbeda," ungkap Galeh.
Sehingga dia menilai Bawaslu Kukar, provinsi dan RI memiliki pandangan hukum terhadap kasus yang berbeda.
Sementara itu, pengamat politik, Surya Irfani juga menyampaikan pendapatnya terkait surat yang beredar di media sosial.
Dia mengatakan, pasal yang dikenakan Bawaslu terhadap paslon yakni pasal 71 UU No 1/2015 itu sudah tidak berlaku, karena sudah dirubah di UU No 10/2016.
"Jadi Bawaslu tidak berhati-hati karena pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi," kata Irfan yang juga dosen di Universitas Kutai Kartanegara tersebut.
Selain itu, dia menilai tidak relevan jika bawaslu menggunakan pasal 71 ayat 3 UU No 1/2015, karena pasal tersebut menyebutkan, gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
"Makna pasangan calon itu, paslon lebih dari satu, nah Kukar itu paslon tunggal. Pertanyaanya, siapa yang diuntungkan dan dirugikan, jadi tidak relevan kalau paslon tunggal," ujarnya.
Kalau digunakan pasal 71 ayat (3) UU No 1/2015, sudah tidak berlaku karena telah disebutkan ketententuan pasal 71 diubah menjadi Nomor 10/2016.
"Bawaslu terkesan tidak hati-hati dan tergesa-gesa mengenakan pasal yang tidak berlaku," kata Irfan lagi.
Irfan menambahkan, bahwa dirinya paham jika kolom kosong merupakan sesuatu yang timpang. Tetapi di banyak kesempatan untuk paslon, tim sukses atau pendukung yang terganggu dengan gerakan kolom kosong. Seperti memfitnah dan lain sebagainya sehingga mereka tidak ada ruang untuk menuntut.
"Contoh di Balikpapan ketika kuasa hukum paslon menuntut tidak memenuhi unsur, karena kolom kosong bukan peserta pemilu, dia bukan subjek pilkada, tapi di sisi lain sering menganggu paslon seakan menjadi peserta," ujar Irfan.
Dia melanjutkan, publik harusnya tahu bahwa kolom kosong bukan peserta. Ada filosofi lahirnya putusan MK, pada prinsipnya kolom kosong itu ruang bagi siapapun yang tidak sepakat dengan calon tunggal.
"Bila tidak setuju, tinggal menentukan saat pemilihan di kotak suara," pungkasnya.
[SUP | RWT]