Kaltim

Soal Pemindahan Ibu Kota Negara, Aktivis Sebut Alam Kaltim akan Semakin Rusak

Kaltim Today
27 Agustus 2019 18:08
Soal Pemindahan Ibu Kota Negara, Aktivis Sebut Alam Kaltim akan Semakin Rusak
Dinamisator Jatam Nasional Merah Johansyah. (Ist)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Senin (26/8/2019), Presiden Joko Widodo mengumumkan secara gamblang, bahwa ibu kota negara telah secara resmi akan di pindahkan ke Kaltim dengan posisi sebagian di Penajam Paser Utara (PPU) dan sisanya lagi di Kutai Kartanegara (Kukar).

Pemindahan pusat pemerintahan Indonesia ini, tidak semuanya disambut dengan gembira. Pro dan kontra terus terjadi. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menuding jika keputusan presiden ini terkesan buru-buru.

Jatam menilai, jika Kaltim seharusnya masuk dalam perhatian utama pemulihan lingkungan. Bukan malah dijadikan tempat pemindahan ibu kota. Begitu pun dengan Jakarta. Yang sejatinya harus mendapatkan perhatian khusus terkait polusi udaranya.

Pengumuman ibu kota negara yang baru ini, seyogianya harus dibarengi dengan publikasi kajian ilmiah terkait lingkungan di Kaltim. Misalnya bagaimana beban lingkungan saat ini dan budaya masyarakat setempat jika terjadi eksodus yang dikabarkan akan mencapai 1,5 juta jiwa.

“Kalau Presiden (Jokowi) minta izin untuk memindahkan ibu kota, maka jawabannya kami tidak izinkan. Ide itu tidak dilandasi oleh kajian ilmiah makanya rencana pemindahan ibu kota jelas serampangan dan bisa jadi hanya ambisi satu orang," sebut Merah Johansyah Dinamisator Jatam Nasional.

Selain itu, Jatam juga mempertanyakan dasar keputusan pemerintah untuk melakukan pemindahan yang tak dibarengi jajak pendapat kepada warga. Pasalnya, suara masyarakat adat seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah.

Bahkan dalam pernyataan ini, Jatam menuding jika pemindahan berkedok mega proyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kaltim. Dipaparkannya, Kaltim terdapat 1.190 Izin Usaha Penambangan (IUP) dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 izin pertambangan. Di Bukit Soeharto pun terdapat 44 izin tambang.

“Sementara di Kabupaten PPU, terutama di Kecamatan Sepaku rencana ini akan menguntungkan sejumlah perusahaan di sana yang dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama (HPH). Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-bagi proyek pasca Pilpres,” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim.

Pemindahan ibu kota akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan di sepanjang teluk Balikpapan. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 2019 mencatat, setidaknya lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kukar. 2.984 nelayan Kabupaten PPU. Dan 1.253 nelayan dari Balikpapan.

"Ancaman sekarang ini selain jadi lalu lintas kapal-kapal tongkang batu bara, Teluk Balikpapan akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk kebutuhan pembangunan ibu kota baru," tegas Susan Herawati, sekjen KIARA.

Susan menambahkan, Kalimantan Timur belum memiliki perda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengesahan Perda selanjutnya, akan menyesuaikan dengan kepentingan pembangunan ibu kota baru.

"Perda zonasi Kaltim nantinya tidak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya di sekitar Teluk Balikpapan," imbuhnya.

Sementara dari sisi ibu kota sebelumnya, Jakarta diketahui memasuki level polusi udara yang cukup mengkhawatirkan. Presiden Jokowi yang kini sedang digugat oleh publik, seharusnya menempatkan masalah polusi udara sebagai pekerjaan rumah utama yang segera diselesaikan.

“Jakarta saat ini mengalami krisis lingkungan seperti air, tanah yang berkurang, kemacetan dan polusi udara. Justru di sini letak kepemimpinan Jokowi diuji, apakah ikut bertanggung jawab mencari solusinya atau malah lari memindahkan ibu kota, meninggalkan rakyat dengan persoalan dan beban, ini menjadi cermin juga untuk persoalan lingkungan lainnya,“ kata Zenzi Suhadi, juru bicara #BersihkanIndonesia dan Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).

Sedangkan di Kaltim sendiri kondisinya justru disebut lebih memprihatinkan. Seluruh wilayah provinsi sudah tersandera konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan. Sisanya adalah hutan lindung. Ini juga yang akan ditargetkan untuk ibu kota.

Menurut catatan JATAM terdapat 13,83 juta hektar izin dan 5,2 juta diantaranya adalah izin pertambangan, jika ditambahkan dengan luasan izin lainnya maka izinnya lebih besar dari daratan Kalimantan Timur itu sendiri.

“Beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta. Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu," ucapnya.

"Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya,” tutupnya.

[JRO | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya