Advertorial

Film Maluhu Menggapai Cita, Kisah Nyata Sepasang Suami Istri Ikuti Transmigrasi Tahun 1970

Supri Yadha — Kaltim Today 22 Mei 2024 19:02
Film Maluhu Menggapai Cita, Kisah Nyata Sepasang Suami Istri Ikuti Transmigrasi Tahun 1970
Lurah Maluhu, Joko Tri Kuncoro. (Supri/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Tenggarong - Ratusan masyarakat berbondong-bondong memadati halaman Sasana Krida Bhakti Kelurahan Maluhu. Wajah para pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak seketika tampak fokus ke layar kecil yang tengah memutarkan sebuah film pendek berjudul “Maluhu Menggapai Cita”.

Film yang diprakarsai Kelurahan Maluhu itu menceritakan perjuangan dan pengorbanan para sesepuh terdahulu ketika masa transmigrasi dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan, tepatnya di kampung yang diberi nama Maluhu. Pemutaran film pendek ini dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Maluhu ke-54, Selasa (21/5/2024).

Kegiatan tersebut juga dirangkai dengan festival ingkung, tumpeng, dan pembagian sertifikat tanah oleh Pemkab Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar). Ratusan masyarakat yang hadir pun bersama-sama memakan tumpeng dan ingkung persembahan dari seluruh RT dan lembaga di Kelurahan Maluhu.

Lurah Maluhu, Tri Joko Kuncoro mengatakan, pembuatan film Maluhu Menggapai Cita hasil kolaborasi antara Kelurahan dan Komunitas Pelem Indie Tenggarong. Proses produksi terbilang singkat, hanya sekitar dua pekan. Mulai dari penulisan skenario selama satu minggu, kemudian dilanjutkan pemilihan tempat dan proses syuting film hanya berlangsung selama 4 hari.

“Inisiasi sebenarnya anak transmigrasi juga di RT 12, jadi mereka mengkomunikasikan dengan komunitas pilem indie dan sampai terwujud film pendek ini. Lokasi syutingnya di Maluhu semua,” ucap Joko.

Maluhu Menggapai Cita secara garis besar mengambil kisah nyata sepasang suami istri yang mengikuti program transmigrasi dari pemerintah pusat pada tahun 1970. Alur ceritanya, mulai dari kehidupan di Pulau Jawa, kemudian mengikuti transmigrasi dengan dijanjikan tanah dan sebagainya.

Namun setibanya di kampung bernama Maluhu, janji yang disampaikan saat itu tidak sesuai ekspektasi. Keadaan masih dalam bentuk hutan belantara dan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari pelepah aren.

Terjadilah pergolakan sepasang suami istri tersebut. Ada dua pilihan yang harus mereka pilih, tetap melanjutkan hidup di Maluhu atau kembali ke Pulau Jawa. Karena tidak ada ongkos untuk kembali ke Jawa, akhirnya mereka terpaksa bertahan hidup di Maluhu.

Sikap gotong royong sesama warga transmigrasi pun ditampilkan dalam film tersebut. Budaya saling tolong menolong itu telah mengakar sejak dulu hingga ditularkan pada generasi berikutnya.

“Zaman dulu, warga trans hampir semua bergotong royong untuk membikin akses jalan dan itu turun temurun sampai dengan sekarang. Budaya gotong royong itu terjaga dengan baik,” tutupnya.

[RWT | ADV DISKOMINFO KUKAR]

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya