Samarinda
Jatam Kaltim Catat 38 Kasus Sepanjang 2020, Kasus Tambang Ilegal Terbanyak
Kaltimtoday.co, Samarinda - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kaltim menggelar konferensi pers perihal refleksi akhir 2020 terkait Oligarki Ekstraktif: Mendulang Untung di Balik Pandemi. Dalam kesempatan ini, Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim menyampaikan beberapa hal. Disebutkan olehnya, Jatam Kaltim mencatat 9 kategori kasus sepanjang 2020.
Terdiri atas pencemaran dan pengrusakan lingkungan, perampasan tanah, kriminalisasi terhadap warga, tambang ilegal, kasus anak meninggal di lubang tambang, ancaman keselamatan masyarakat pesisir dan nelayan, lalainya perusahaan dalam menerapkan protokol kesehatan kerja, merusak fasilitas publik, serta korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Dari 9 kategori tersebut, ada 38 kasus yang terdata dan tersebar di seluruh Kaltim. Pria yang akrab disapa Rupang itu juga menuturkan bahwa, secara ekstraktif batu bara, ada 3 daerah yang tidak menerapkan penetapan tata ruangnya sebagai industri batu bara. Di antaranya adalah Bontang, Balikpapan, dan Mahulu.
"Dari 38 kasus, terbanyak adalah tambang ilegal. Di catatan kami ada 10. Walaupun ada beberapa kasus yang sebenarnya sudah acap kali terjadi di wilayah yang sama. Namun terus timbul berdasarkan keluhan dari masyarakat ke kami maupun secara terbuka di medsos," ungkap Rupang.
Meski pandemi Covid-19 terjadi, Rupang justru menjelaskan, ada peningkatan kasus sepanjang 2020 ini dibanding 2019 terkait perampasan tanah. Terjadi di Berau, Kutim, dan Kubar dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar.
Meski sudah meminta pemangku kepentingan di daerah untuk mengambil kebijakan, Rupang menilai tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari sana. Bertahun-tahun, pemangku kepentingan daerah tak bisa membuahkan hasil terkait penyerobotan lahan akibat salah satu perusahaan batu bara besar.
Jatam Kaltim mencatat hal penting selama 2020 yang ternyata, selama pandemi pun laju kerusakan dan pelanggaran tak berhenti. Meski Presiden Joko Widodo menyebutkan pandemi ini sebagai bencana atau krisis kesehatan sejak medio Maret silam.
"Sampai saat ini pun tak berkesudahan. Tak menurunkan kasus, justru makin meningkat. Ini menjadi ironi bahwa pekerjaan besar yang dulu tepatnya setahun lalu. Dan Isran Noor menjanjikan rasa perlindungan kepada rakyat Kaltim, itu tak diberikan. 2 tahun kepemimpinannya, dia telah gagal melindungi dan menjamin hak kelola rakyat, sumber kehidupan rakyat, dan memastikan hidupnya bebas dari ancaman industri ekstraktif," tegas Rupang.
Tak hanya itu, ancaman terhadap nelayan dan masyarakat pesisir juga masih ada dan tercatat 7 kasus. Disebutkan Rupang, di wilayah perairan Kaltim terdapat 2 kasus nelayan yang hilang. Hingga hari ini tak ditemukan akibat perahunya ditabrak tongkang batu bara. Sedangkan 5 kasus lainnya terkait tongkang-tongkang yang memperlakukan masyarakat di pinggir Sungai Mahakam dan tak melihat ada keselamatan yang harus diutamakan. Padahal, banyak warga bermukim di sana.
"Dengan mudahnya, industri ini mengulangi peristiwa serupa. Pelanggaran-pelanggaran ini seperti sesuatu yang dianggap lumrah oleh pemerintahan daerah. Itu ironi. Padahal ini bukan kasus pertama yang terjadi di Kaltim," bebernya.
Tak hanya manusia, habitat lain pun ikut terganggu. Contohnya seperti pesut yang terganggu karena bisingnya tongkang. Bahkan dalam internal tambang sendiri, lemahnya protokol keselamatan bagi pekerja turut terjadi sebanyak 6 kasus. Sehingga, perusahaan dianggap tak bisa melindungi pekerjanya.
[YMD | RWT]