Nasional

Kritik Revisi Kilat UU Minerba, JATAM Kaltim: DPR Jadi Panggung Sirkus Oligarki Tambang

Kaltim Today
19 Februari 2025 09:16
Kritik Revisi Kilat UU Minerba, JATAM Kaltim: DPR Jadi Panggung Sirkus Oligarki Tambang
Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari. (Jen/Kaltimtoday.co)

SAMARINDA, Kaltimtoday.co - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dalam Rapat Paripurna ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, Selasa (18/2/2025) pukul 11.51 WITA. Pengesahan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim.

Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari menilai, proses revisi UU Minerba ini dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak transparan. Menurut dia, DPR tidak lagi berfungsi sebagai representasi rakyat, melainkan hanya menjadi alat kepentingan oligarki tambang.

“Proses revisi ini jelas-jelas dilakukan tanpa partisipasi publik. Bahkan, agenda revisi UU Minerba ini tidak termasuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) maupun Prolegnas Prioritas 2024-2029. Ini semakin memperkuat indikasi bahwa revisi ini dilakukan atas pesanan pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai sumber daya alam,” ungkap Mareta Sari kepada Kaltimtoday.co.

JATAM mencatat, pembahasan revisi UU Minerba dilakukan dalam rapat-rapat tertutup dan berlangsung secara maraton. Dalam seminggu terakhir, Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) secara intensif tanpa jeda.

“Ini bukan proses legislasi yang sehat. Rapat-rapat digelar secara diam-diam, dilakukan hingga larut malam, dan hampir tidak ada keterbukaan kepada publik. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa proses pembuatan undang-undang harus transparan dan melibatkan partisipasi publik,”tegas Mareta.

Dugaan Pelanggaran Hukum dalam Revisi UU Minerba

Salah satu poin kontroversial dalam revisi UU Minerba adalah adanya ketentuan dalam Pasal 60 yang mengatur pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada ormas keagamaan, koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha kecil dan menengah (UMKM). Selain itu, revisi ini juga membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk terlibat dalam bisnis tambang melalui skema kerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha swasta.

Mareta menilai, ketentuan ini bertentangan dengan prinsip hierarki hukum yang berlaku di Indonesia.

“Revisi ini jelas mengangkangi asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. DPR dan pemerintah justru mengakomodir Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang memberikan jatah konsesi tambang kepada ormas keagamaan, padahal PP ini kedudukannya lebih rendah dari undang-undang,” paparnya.

JATAM Kaltim juga menyoroti bagaimana revisi ini membuka peluang eksploitasi sumber daya alam secara lebih luas. Pasal 51 dan Pasal 60 memungkinkan siapa saja yang memiliki badan hukum untuk menambang batu bara dan mineral logam, termasuk emas, nikel, bauksit, dan tembaga.

“Pengesahan revisi UU Minerba ini semakin memperjelas bagaimana DPR lebih memihak kepada kepentingan bisnis daripada melindungi lingkungan dan masyarakat terdampak tambang. Alih-alih memperketat regulasi untuk mencegah dampak buruk pertambangan, mereka justru mempermudah eksploitasi sumber daya alam,” imbuh Mareta.

Dampak terhadap Masyarakat dan Lingkungan

Pengesahan revisi UU Minerba ini dikhawatirkan akan memperburuk krisis lingkungan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Timur yang sudah lama menjadi daerah dengan tingkat kerusakan lingkungan akibat tambang yang tinggi.

“Dengan adanya regulasi ini, lahan-lahan yang seharusnya dijaga dan direklamasi justru akan semakin mudah dikuasai oleh para pelaku usaha tambang. Ini akan berdampak pada meningkatnya konflik agraria, pencemaran lingkungan, hingga dampak sosial yang lebih luas bagi masyarakat sekitar,” kata Mareta.

JATAM Kaltim menyerukan kepada masyarakat untuk terus mengawal kebijakan ini dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari pemerintah dan DPR dalam setiap proses legislasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Ini bukan hanya soal regulasi, tapi ini menyangkut masa depan lingkungan dan generasi mendatang. Jangan biarkan tambang semakin merusak Kalimantan Timur dan wilayah lainnya di Indonesia,” pungkasnya.

[TOS]



Berita Lainnya