Samarinda

Sengketa Informasi Masih Terjadi, KI Kaltim Sebut 80 Persen Badan Publik Tak Tahu Mekanisme Prosedur

Kaltim Today
26 Desember 2020 14:55
Sengketa Informasi Masih Terjadi, KI Kaltim Sebut 80 Persen Badan Publik Tak Tahu Mekanisme Prosedur
Komisioner Komisi Informasi Kaltim, M Khaidir.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Sengketa informasi bukanlah hal baru. Secara umum, persengketaan itu bisa terjadi antara pemohon informasi dengan badan publik. Sebagai pemohon informasi, maka ada kesempatan untuk mengajukan sengketa jika terjadi beberapa hal. Contohnya seperti tidak ditanggapi dan tidak dipenuhinya permintaan informasi, atau permintaan informasi ditolak berdasarkan alasan pengecualian.

Komisioner Komisi Informasi (KI) Kaltim, M Khaidir menyampaikan bahwa secara umum, terjadinya sengketa karena ada hambatan seseorang yang memohon informasi. Dijelaskan Khaidir, ada beberapa syarat jika ingin melaporkan sengketa informasi.

[irp posts="25420" name="Puluhan Staf KPU Samarinda Positif Covid-19, Jadi Klaster Pilkada?"]

Pertama, harus merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Jika berbadan hukum, maka harus memiliki ADRT yang mendapat persetujuan dan pengesahan dari Kemenkumham. Jika mewakili warga, maka harus mempunyai surat kuasa dari warga yang diwakili.

Terkait mekanisme, dimulai dengan menyampaikan surat permohonan informasi kepada badan publik dan ditunggu selama 10 hari kerja. Ketika tak ditanggapi, maka pemohon informasi bisa melayangkan surat kedua pada hari ke 11 yang disebut sebagai surat keberatan. Kemudian selama 30 hari kerja, pemohon informasi harus kembali menunggu.

"Jika tak dilayani, maka memohon ke KI karena dirinya terhambat untuk mengakses informasi ke badan publik. Padahal sudah mengikuti mekanisme yang ada. KI yang nanti akan memanggil badan publik dan pemohon informasinya. Jadilah sengketa," ungkap Khaidir saat ditemui awak media pada Rabu (23/12/202) lalu.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kaltim Today (@kaltimtoday.co)

Disebutkan Khaidir, hampir 80 persen persoalan prosedural seperti itu yang tak diketahui badan publik. Jika ada permohonan informasi yang masuk, biasanya tak begitu ditanggapi. Sementara itu, waktu terus berjalan dan pemohon informasi kerap menunggu.

Sampai akhirnya ketika KI sudah memberikan surat panggilan untuk persidangan, badan publik pun kebingungan. Khadir pun menyebutkan bahwa badan publik hanya tak memahami di ranah prosedur. Padahal, di substansinya tidak.

Sejauh ini, salah satu contoh badan publik yang paling sering dilaporkan masyarakat adalah sekolah di Samarinda. Jumlahnya mencapai 36 sekolah dan biasanya terkait masalah laporan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Menurut Khaidir, ada potensi bahwa sekolah tak memahami prosedur semacam ini atau bisa pula sekolah merasa bahwa mereka sudah melaporkannya ke Dinas Pendidikan. Namun akhirnya dibiarkan dan menjadi sengketa dengan pemohon. Padahal, laporan dana BOS bersifat terbuka dan siapapun bisa mengaksesnya.

Sedangkan untuk di daerah desa juga dilaporkan oleh pemohon karena permasalahan laporan dana desa. Salah satunya seperti yang terjadi di Kutai Kartanegara dan kini sedang melalui proses sidang.

"Sengketa informasi di KI itu sifatnya lebih kepada, kita bisa menyatakan bahwa ini informasi terbuka atau tertutup. Badan publik wajib memberikan informasi keseluruhan atau sebagian bahkan tidak sama sekali. Itu saja putusannya. Kami tidak memvonis," pungkas Khaidir.

[YMD | RWT]


Related Posts


Berita Lainnya