Headline

Libur Akhir Tahun Menanti, Kecemburuan Sosial di Tengah Pandemi Bisa Terjadi

Kaltim Today
29 Desember 2020 19:33
Libur Akhir Tahun Menanti, Kecemburuan Sosial di Tengah Pandemi Bisa Terjadi
Lisda Sofia, psikolog klinis sekaligus akademisi dari Prodi Psikologi Unmul. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Tak dapat dimungkiri bahwa pandemi Covid-19 cukup memengaruhi keadaan psikologis seseorang. Sehingga menjadi pemicu terjadinya stres dan depresi. Terlebih lagi ketika pemerintah mengimbau masyarakat untuk tetap di rumah demi melakukan pembatasan. Muncul di Tanah Air pada medio Maret silam, pandemi masih berlangsung hingga penghujung 2020 yang tinggal menghitung hari.

Belum lama ini Gubernur Kaltim, Isran Noor mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa tak ada perayaan malam tahun baru dalam bentuk apapun di tempat umum. Padahal, perayaan tersebut lazim dilakukan dan menjadi tradisi.

Apakah larangan tersebut mampu memicu kembalinya stres pada seseorang, psikolog klinis Lisda Sofia memberikan tanggapannya. Menurut Lisda, masyarakat Samarinda sudah cukup kritis dan rasional untuk beradaptasi di kondisi Covid-19 ini.

"Kalau menurut saya, adanya larangan itu tidak sampai membuat stres. Saya justru khawatirnya bukan perihal stres. Tapi karena cuek dan mengabaikan protokol kesehatan," ungkap Lisda saat ditemui Kaltimtoday.co pada Selasa (29/12/2020).

Menariknya lagi, keadaan psikologis seseorang pun tak jarang mampu memberi dampak yang bervariasi akibat media sosial. Biasanya muncul pula tekanan tertentu. Contoh sederhananya seperti melihat momen-momen seseorang di media sosial dan mulai membandingkan keadaan diri sendiri dan orang lain. Hal ini bisa dikaitkan dengan libur akhir tahun nanti yang lazimnya menjadi momen seseorang untuk bersenang-senang.

Terlebih lagi Covid-19 jadi penghalang. Meski masyarakat diizinkan untuk bepergian dengan syarat melakukan tes swab atau rapid test antigen, namun kesempatan ini tak semua orang bisa mendapatkannya. Dijelaskan Lisda, pemicu timbulnya rasa kecemburuan itu berawal dari perasaan tidak berharga.

Bisa karena merasa tidak bahagia, banyak kekurangan, atau tidak nyaman dengan diri sendiri. Menurutnya, orang yang tidak bisa mencintai diri sendiri berawal karena tak mengenal dirinya dan potensi yang dimiliki.

"Kalau misalkan kecemburuan itu dikaitkan dengan pandemi, itu disebabkan intensitas kita dalam menggunakan gadget lebih tinggi. Sehingga, perbandingan sosialnya menjadi lebih intens juga. Akhirnya muncul kecemasan-kecemasan sosial," jelas Lisda ketika ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Mulawarman (Unmul).

Tak hanya itu, pemicu kecemburuan itu juga bisa disebabkan karena kurangnya variasi kegiatan yang dilakukan. Termasuk ketika lingkungan pergaulan seseorang yang juga terbatas. Akhirnya ketika melihat lingkungan orang lain yang lebih luas dan banyak, muncul pemikiran bahwa hal tersebut tak bisa didapatkan.

Ditegaskan Lisda, setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dia memberi contoh, ada orang yang tak masalah dan tetap nyaman ketika di rumah. Namun ada juga yang sebaliknya yakni orang ini justru merasa tidak bebas ketika harus di rumah. Perempuan yang juga merupakan Kaprodi Psikologi Unmul itu menyebutkan bahwa semua memang kembali pada diri sendiri.

"Tiap orang tidak bisa disamakan terkait cara atau strategi dia untuk menangani emosi dan melepaskan stres. Jadi, tiap orang harus tahu kepribadian dan tipenya yang seperti apa," tandas Lisda.

[YMD | TOS]



Berita Lainnya