Headline

Defisit BPJS Kesehatan Terjadi Sejak 2014, Iuran Peserta Wajib Dinaikan?

Kaltim Today
04 September 2019 21:28
Defisit BPJS Kesehatan Terjadi Sejak 2014, Iuran Peserta Wajib Dinaikan?

Kaltimtoday.co, Samarinda - Kabar dinaikannya iuran peserta BPJS hingga mencapai dua kali lipat, nyatanya harus memang dilaksanakan. Kendati banyak menuai pertentangan dan kritikan. Namun hal tersebut wajib dilakukan untuk menekan defisit yang dialami BPJS.

Diungkapkan Koordinator Divisi Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, defisit yang dialami BPJS pasalnya telah terjadi sejak 2014 saat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru diberlakukan.

Keterpurukan sektor keuangan BPJS ini menurut Timboel, hendak menjadi tanggung jawab bersama. Baik dari sektor pemerintah, rumah sakit, hingga ke BPJS Kesehatan itu sendiri. Seluruhnya turut andil dalam kesalahan tersebut.

"Kita ambil contoh pemerintah misalnya. Dengan tidak menyesuaikan anggaran yang seharusnya paling lama dilakukan setiap dua tahun. Tapi nyatanya 2018 kemarin tidak ada kenaikan iuran," ungkap Timboel.

Selanjutnya, kesalahan lain dari pemerintah ialah, anggaran awal yang berkisar dua puluh tujuh ribu, malah diputuskan menjadi lebih kurang sembilan belas ribu saja.

Hal ini tentu akan membuat selisih angka yang cukup signifikan. Dua tahun setelahnya, pada 2016 pemerintah dikabarkan hanya menaikan anggaran menjadi dua puluh tiga ribu. Angka ini tetap tidak mencapai usulan awal, yang berdampak pada defisit.

"Jadi ini kewenangan pemerintah yang tidak dilakukan pemerintah itu sendiri," tegas Timboel.

Tidak hanya itu, kata Timboel, bahkan pemerintah daerah tidak ikut pro aktif dalam penyelenggaraan JKN itu sendiri. Semisal, diambilkannya contoh adalah kota Bekasi.

Tidak hanya peran pro aktif pemerintah beserta jajarannya. Peningkatan dari sektor kesehatan pun pasalnya wajib dilakukan. Seperti, memberikan tenaga dokter berkompeten pada sejumlah puskesmas. Hal ini akan menurunkan angka rujukan, yang berbanding lurus mempersingkat pengeluaran biaya.

Fungsi pengawasan pemerintah tidak hanya dilakukan pada puskesmas. Wilayah rumah sakit pun harusnya juga diawasi dengan baik.

"Banyak pasien di rumah sakit itu hanya mendapatkan perawatan tiga hari saja. Apakah harus seperti ini. Saya bilang nggak. Itu harusnya sesuai rujukan medis ketika sudah dianggap layak pulang, barulah pasien dipulangkan," paparnya.

Sementara jika membahas tentang naiknya angka iuran BPJS Kesehatan, Timboel mengaku hal ini wajib untuk dilaksanakan. Jika tak kunjung dinaikan, bias inflasi akan terjadi dan berdampak kepada defisit yang tak kunjung usai.

"Yang jadi pertanyaan itu, berapa yang harus dinaikan iurannya. Itu menurut saya kontra produktif," imbuhnya.

Apa itu kotra produktif, jika angka kenaikan terlalu besar tentu ini akan membuat peserta golongan kecil menjadi nonaktif. Kenaikan angka iuran ini baiknya, disertai dengan empat langkah kongkrit dari pemerintah daerah. Mulanya berasal dari pengecekan rutin tiap bulan, pengendalian biaya, penegakan hukum dan peningkatan pelayanan.

"Artinya iuran naik kalau tidak ada penegakan hukum percuma aja," tegasnya.

Secara terpisah, Kepala BPJS Kesehatan Samarinda, Oktavianus Ramba, saat dikonfirmasi mengatakan, bahwa kenaikan iuran tersebut berada pada kebijakan pemerintah pusat. Tidak dipungkirinya jika saat ini sedang terjadi defisit keuangan.

Namun hal tersebut bukan menjadi patokan jika kenaikan iuran tidak akan dilaksanakan.

"Meski nantinya dinaikan, namun angka ini tetap tidak bisa menutupi defisit yang terjadi. Hanya saja bisa mengurangi angka besarannya," jelas Ramba.

Perlu diingatkan Ramba bagi masyarakat. Jika kenaikan angka yang direncanakan menyentuh kelipatan dua kalinya pada saat ini, masyarakat perlunya tidak merasa khawatir. Karena hal ini merupakan asuransi jangka panjang bagi kesehatan pribadi beserta keluarga.

"Kalau dibandingkan asuransi kesehatan swasta, tentu tidak akan mau dengan penanganan penyakit seperti operasi jantung, cuci darah dan lainnya," kata Ramba.

Kewajiban membayar iuran mestinya harus ditingkatkan, terutama bagi peserta mandiri. Agar angka defisit tidak terus membengkak. Diharapkan Ramba selain kenaikan iuran, ketertiban peserta mandiri untuk membayar juga menjadi perhatian khusus bagi pemerintah.

Dengan Peraturan Pemerintah (PP) 88/2013, tentang sanksi administratif harus dilakukan serta di sinergikan pada instansi terkait. Di sebuah kota di pulau Jawa sebut Ramba, ada yang sudah mulai menerapkannya meski baru bersifat uni coba.

Pihak BPJS di sana telah bersinergi dengan pemerintah daerah dan juga pihak kepolisian, untuk menertibkan para penunggak iuran.

"Contoh ya, jika ada yang tertilang. Data dirinya akan dicocokkan dengan pihak kami. Jika belum membayar maka penyelesaiannya wajib dengan melunasi tunggakan BPJS nya dulu," sambungnya.

Keselarasan antar instansi terkait ini diharapkan Ramba bisa diterapkan di seluruh daerah. Agar kesejahteraan segi kesehatan bisa kembali normal dan tidak terus terusan mengalami keterpurukan.

[JRO | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya