Nusantara
Leluhurnya Memberi Tanah, Tapi Sistem Menolak Keturunannya

Kaltimtoday.co, Penajam - Suasana pagi di SDN 014 Penajam pada Rabu, (2/7/2025), mendadak berubah. Beberapa warga RT 003 Kelurahan Nipah-Nipah datang ke sekolah untuk menyampaikan keberatan atas hasil Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Mereka tidak datang sendiri. Ketua RT 003, Sultaning, turut mendampingi orang tua seorang anak yang ditolak masuk, meski rumahnya berada satu lingkungan dengan sekolah tersebut. Anak itu bukan hanya warga asli sekitar, tetapi juga cucu dari almarhum Datuk Tunggi—yang dikenal pula dengan nama Datuk Bolong—pewakaf lahan tempat sekolah ini berdiri.
Mereka mempertanyakan kejelasan sistem seleksi, khususnya pada jalur domisili. Anak tersebut mendaftar melalui jalur domisili sesuai alamat di Kartu Keluarga, tetapi tersingkir akibat sistem perankingan usia. Padahal usianya telah masuk kategori wajib belajar, yaitu 6 tahun 2 bulan.
“Seharusnya calon siswa itu mendapat kebijakan khusus. Warga Nipah-nipah itu meminta Disdikpora harus menambah RKB karena setiap tahun pertumbuhan penduduk meningkat. Pembangunan rombel ya, bukan penambahan kursi. Untuk tahun depan,” kata Sultaning.
Bagi warga, sistem seleksi ini terasa melukai nalar keadilan. Mereka menilai bahwa keluarga pewakaf seharusnya mendapat perlakuan berbeda. Bahkan, Ia juga menyoroti keterbatasan infrastruktur sebagai biang masalah.
“Lalu, ada perlakuan khusus. Cucu pemberi wakaf itu diberikan jalur khusus setiap tahun, berapa persen. Maksudnya, ada jatah kepada anak maupun cucu penghibah tanah sekolah ini,” ujarnya.
“Disdikpora jangan tutup mata dengan menggunakan alasan anggaran tidak ada untuk menampung calon siswa yang mendaftar, karena jangan sampai anak-anak kita tidak sekolah hanya gara-gara ketidaktersediaan RKB,” tambahnya.
Penolakan terhadap anak cucu pewakaf tanah ini dirasa bertolak belakang dengan nilai-nilai gotong royong dan penghargaan terhadap sejarah komunitas. Terlebih, lokasi alternatif yang ditawarkan bukanlah solusi.
“Malahan yang tidak lulus di SD 014 itu malah dialihkan ke SDN 038 yang jaraknya jauh dari tempat tinggalnya. Terlebih alternatif sekolahan justru lebih jauh, menambah beban orang tua,” kata Sultaning.
Ia menyebut latar belakang keluarga anak tersebut: ayah seorang nelayan dan ibu seorang petani.
“Kalau orang tuanya mampu tidak masalah jauh jaraknya, tapi kalau anaknya sekolah di SDN 038 otomatis harus diantar setiap hari. Sedangkan orang tua nelayan dan ibunya petani, bagaimana? Itu harus dipikirkan.”
Di tengah protes warga, Kepala SDN 014 Penajam, Anik Winarni, menyambut baik kehadiran mereka dan menyatakan siap berdialog. Ia menegaskan bahwa sekolah tidak menolak komunikasi dari masyarakat.

“Sebenarnya kami merespons dengan baik kalau ada masukan, atau ada permasalahan seperti ini. Bagus untuk datang ke sekolah terlebih dahulu untuk menyelesaikan,” ujarnya.
Namun ia juga menekankan bahwa kewenangan penuh ada di tangan Dinas Pendidikan.
“Kalau sekolah tidak bisa memberikan solusi, kita akan diskusikan dengan Disdikpora karena mereka yang mengeluarkan Juknis-nya. Kita kan di bawah, hanya pelaksana untuk melaksanakan sesuai Juknis,” sahutnya.
Menurut Anik, sistem penerimaan diatur secara daring oleh dinas, termasuk proses pemeringkatan berdasarkan usia. Dalam kasus ini, anak dari RT 003 itu memang masuk zonasi, namun usia 6 tahun 2 bulan membuatnya berada di peringkat ke-60 dari total 60 pendaftar. Sementara kuota keseluruhan hanya 56 siswa.
“Kalau case yang ini, secara domisili dia masuk RT 003 Kelurahan Nipah-Nipah, masuk dalam domisili sekolah ini. Tetapi kan yang mendaftar ke sini banyak, lebih dari kuota yang kita punya. Nah, setelah diperingkat, umurnya berada di urutan 60,” bebernya.
Kebijakan seleksi berdasarkan usia merujuk pada Petunjuk Teknis (Juknis) dari Disdikpora, dan kuota yang tersedia sudah dibagi melalui jalur mutasi, afirmasi, dan domisili.
“Dari semua jalur itu, keseluruhan kuotanya 56. Kalau jalur mutasi itu tiga, afirmasi itu delapan, sisanya itu jalur domisili sebanyak 45,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sekolah tidak memiliki wewenang untuk mengubah data pendaftaran karena sistem dikendalikan langsung oleh dinas.
“Pada intinya, panitianya adalah dinas. Sekolah hanya membantu untuk memverifikasi apakah benar calon pendaftar ini benar KK-nya,” sahutnya.
Pihak sekolah juga mengakui telah melaporkan kebutuhan tambahan RKB kepada dinas. Menurut Anik, pengajuan sudah dilakukan, termasuk data ruang rusak dan jumlah rombel yang ideal.
“Sebenarnya di data dinas itu ada kebutuhan RKB. Cuma memang enggak selalu dimasukkan. Tetapi kemarin kami melaporkan jumlah RKB berapa, kemudian yang rusak berapa,” terangnya.
Namun, permintaan penambahan ruang kelas tidak serta-merta dikabulkan karena harus melalui proses pengajuan dan pertimbangan dari dinas terhadap skala urgensi sekolah-sekolah lain.
Sekolah telah menjadwalkan pertemuan dengan Disdikpora pada siang hari yang sama untuk mencari jalan tengah. Pihak sekolah berharap ada ruang untuk kebijakan khusus, terutama dalam kasus yang memiliki dimensi sosial dan historis seperti ini. Tapi di sisi lain, warga RT 003 juga mulai mempersiapkan langkah lanjutan jika tak ada solusi.
“Kalau enggak ada solusi dari Disdikpora, kita akan mengumpulkan massa lebih besar untuk memprotes terkait hasil SPMB jalur zonasi ini,” ujar Sultaning.
Juknis dan Data Pusat Mengunci Ruang Tawar
Tak lama setelah warga RT 003 Kelurahan Nipah-nipah memprotes penolakan seorang anak yang merupakan cucu pewakaf lahan SDN 014 Penajam, perbincangan soal keadilan sistem zonasi pendidikan kembali menguak.
Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) PPU, Ismail, memberikan klarifikasi panjang soal teknis, regulasi, dan konsekuensi administratif yang melatari sistem penerimaan tahun ini.

“Jadi yang tahun lalu sebenarnya sama, sistemnya pun masih sama yang kita pakai. Tetapi kita setiap tahun selalu melakukan sedikit perbaikan,” ujar Ismail.
Dalam narasi yang tenang, ia menjelaskan bahwa kebijakan sistem zonasi domisili telah melalui banyak penyesuaian. Namun, kebijakan itu bukan tanpa risiko. Tahun sebelumnya, ada lebih dari 90 siswa yang awalnya diterima dengan skema “dijejal” atau ditambahkan di luar kuota resmi. Akibatnya, data siswa tersebut tak terdaftar di sistem pusat Dapodik.
“Setelah kami masukkan data di pusat, semua anak ini enggak bisa masuk sistem dapodik, semua yang kami jejal atau selipkan. Penyebabnya karena kuota awal itu sudah terlaporkan ke pusat,” kata Ismail.
Untuk menyelesaikan kekacauan tersebut, bahkan diperlukan intervensi dari Bupati dalam bentuk surat pernyataan resmi sebagai bentuk jaminan administratif agar siswa bisa terdata dan memperoleh NISN. Ismail menegaskan bahwa tahun ini pihaknya enggan mengulangi risiko serupa.
“Tahun ini kami tidak membuka lagi yang namanya kebijakan. Enggak ada kebijakan. Kalau tahun kemarin kan risikonya,” terang dia.
Ia menyampaikan bahwa jika tetap dipaksakan, siswa yang melampaui kuota akan mengalami banyak kerugian administratif: tidak memiliki NISN, tidak mendapatkan dana BOS, bahkan tidak bisa ikut ujian nasional.
“Jujur saja, saya enggak berani kalau untuk memaksakan masuk. Bukan takut dimarahin pimpinan, saya takut anak ini enggak bisa ikut ujian,” tekannya.
Kasus anak cucu pewakaf yang ditolak di SDN 014 Penajam disorot banyak pihak, bukan hanya karena soal domisili dan sistem, tapi juga soal moral dan nilai sosial. Namun Ismail bersikukuh bahwa secara regulasi tidak ada jalur khusus untuk keturunan penghibah tanah.
“Secara regulasi, tidak ada fasilitas itu. Walaupun tadi ada surat pernyataan dari kelurahan, nah itu yang jadi pertimbangan kita juga. Tetapi saat ini tidak bisa karena kan sudah pengumuman. Masa mau dipaksakan,” lirihnya.
Meski memahami konteks historis, ia menegaskan bahwa posisi instansi tetap harus patuh terhadap petunjuk teknis yang berlaku.
“Enggak mungkin kan kita juga membuka lowongan khusus. Sebenarnya kan kita tidak ada jalur yang seperti itu. Kami sudah mewanti-wanti sejak tahun-tahun sebelumnya, kita enggak pakai itu,” sahutnya.
Solusi yang ditawarkan pun bersifat administratif dan jangka menengah. Ismail menyarankan agar anak tersebut diterima di pilihan kedua, yakni SDN 038 Penajam, lalu dievaluasi kembali setelah naik ke kelas dua.
“Kalau kami mengambil kebijakan itu, diambil saja. Kalau nanti dia naik kelas 2, baru kita pikirkan kalau mau ditarik balik, kan bisa. Itu kan risikonya lebih kecil dibanding kita paksakan dia masuk,” tuturnya.
Namun tak semua pihak puas dengan pendekatan administratif yang ketat itu. Anggota DPRD PPU, Muhammad Bijak Ilhamdani, menilai bahwa sistem zonasi masih menyisakan ruang persoalan sosial yang cukup luas.

Anggota DPRD PPU, Muhammad Bijak Ilhamdani. (Fauzan/Kaltimtoday)
“Memasuki tahun ajaran baru, lagi-lagi persoalan klasik ya semenjak ada kebijakan zonasi itu. Jadi memang di satu sisi tujuan adanya zonasi itu baik sebenarnya, tetapi kebijakan itu kan tentu ada dampak tertentu yang dihasilkan,” ungkapnya.
Bijak menyampaikan bahwa sejumlah laporan telah masuk ke DPRD PPU terkait ketidaksesuaian antara tempat tinggal dan hasil seleksi.
“Ada beberapa yang misal jarak yang dekat, tetapi karena persoalan umur, kemudian juga kebijakan afirmasi yang harus dikritik karena tidak ada regulasi yang jelas. Nah, itu yang dikeluhkan masyarakat kita,” tuturnya.
Ia menyarankan agar Disdikpora lebih aktif turun ke lapangan untuk memahami konteks tiap sekolah secara spesifik.
“Ada baiknya juga Disdikpora ini setiap memasuki tahun ajaran baru untuk sistem penerimaan itu disosialisasikan dulu. Nah, ini kan tidak ada, sehingga masyarakat itu menerka-nerka,” jelasnya.
Menurutnya, banyak warga merasa heran mengapa anak dari rumah dekat tidak diterima, sedangkan yang jauh justru masuk.
“Ini kan banyak ternyata persoalan seperti itu,” tegasnya singkat.
Bijak juga menyayangkan pendekatan yang baru dilakukan setelah pendaftaran dan pengumuman diumumkan. Dalam kasus di SDN 014, Bijak juga melihat perlunya evaluasi khusus.
“Kalau seperti yang sekarang, sudah pendaftaran dan pengumuman, tiba-tiba ada masalah, yah repot semua akhirnya,” ucapnya.
“Saya pikir kan kasihan kalau kasusnya seperti itu. Rumahnya dekat, apalagi ada jasa keluarganya di sekolah itu. Kemudian karena ada aturan yang ketat dan tidak ada kebijakan khusus, akhirnya jadi persoalan,” sambungnya.
Ia membuka opsi agar Komisi II DPRD PPU bisa memanggil Disdikpora guna mencari jalan keluar yang tetap berada dalam koridor hukum.
“Kalau teknisnya, mungkin bisa nanti Komisi II DPRD PPU memanggil Disdikpora PPU, apakah ada kebijakan yang bisa diterapkan tetapi tidak melewati koridor regulasi yang sudah ada. Itu saya pikir bisa didiskusikan,” tekannya.
Polemik SPMB tahun ini menunjukkan adanya benturan antara sistem yang rigid dan dinamika sosial masyarakat yang terus bergerak. Di atas kertas, semua berjalan sesuai juknis.
Namun di lapangan, tak semua terjawab oleh rumus dan algoritma usia. Ada sejarah yang tidak terdata dalam Dapodik, ada jasa yang tak terekam dalam sistem, dan ada keadilan yang diminta tidak dari luar aturan, tetapi dari dalam nurani kebijakan publik.
[RWT]
Related Posts
- Disdikpora PPU Tegas Terapkan Aturan Baru Penugasan Guru sebagai Kepsek, Maksimal 16 Tahun
- Disdikpora PPU Serius Tindak Lanjuti Arahan Pj Bupati untuk Entaskan Perundungan di Sekolah
- Kerja Sama Lintas Sektor, Upaya Disdikpora PPU Cegah Perundungan di Lingkungan Sekolah
- Disdikpora PPU Siapkan Solusi Konkret untuk Mengatasi Perundungan di Sekolah
- Semarak HUT PPU ke-22, Disdikpora Gelar Turnamen Olahraga Meriahkan Event Warga