Nasional
Aphelion Bukan Penyebab Suhu Dingin di Indonesia, Ini Penjelasan BMKG

Kaltimtoday.co - Beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan suhu udara yang cukup signifikan selama musim kemarau, khususnya pada Juli hingga Agustus. Fenomena ini kerap dikaitkan dengan aphelion, yaitu saat Bumi berada di titik terjauh dari matahari dalam orbitnya. Namun, benarkah aphelion menyebabkan suhu lebih dingin dan menimbulkan penyakit seperti flu, batuk, atau sesak napas?
Aphelion merupakan peristiwa astronomis tahunan ketika jarak Bumi ke Matahari mencapai titik terjauh dalam orbitnya yang elips. Meskipun banyak orang mengira orbit Bumi berbentuk lingkaran sempurna, nyatanya orbit tersebut agak lonjong, dengan tingkat kelonjongan sekitar 1/60.
Menurut informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada tahun 2025, aphelion terjadi pada Jumat, 4 Juli pukul 02.54 WIB. Saat itu, jarak Bumi ke Matahari mencapai sekitar 152,087,738 kilometer, lebih jauh dari rata-rata jarak normal yaitu 149,6 juta kilometer.
Fenomena ini terjadi akibat kombinasi bentuk orbit elips dan pengaruh gravitasi dari planet-planet besar seperti Jupiter dan Saturnus. Ketika aphelion terjadi, kecepatan revolusi Bumi melambat karena tarikan Matahari yang lebih lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Hukum Kepler.
BMKG menegaskan bahwa aphelion tidak memiliki dampak signifikan terhadap perubahan suhu atau cuaca ekstrem. Penurunan suhu yang terjadi di Indonesia pada puncak musim kemarau lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologis, bukan astronomis. Berikut penjelasannya:
1. Penurunan suhu disebabkan monsoon dingin Australia
Aliran udara dingin dan kering dari Australia yang sedang mengalami musim dingin bergerak ke arah Indonesia. Ini yang menyebabkan suhu di beberapa daerah, khususnya di wilayah selatan khatulistiwa dan dataran tinggi, terasa lebih sejuk.
2. Minimnya tutupan awan
Pada musim kemarau, langit cenderung cerah dan minim awan. Akibatnya, radiasi panas dari permukaan Bumi lebih cepat dilepaskan ke atmosfer pada malam hari, sehingga suhu udara turun drastis.
3. Aphelion tidak memicu cuaca ekstrem
Satu-satunya dampak astronomis dari aphelion adalah sedikit mengecilnya tampilan matahari, sekitar 1,68 persen lebih kecil dibandingkan saat perihelion (titik terdekat Bumi dengan Matahari). Namun, perubahan ini sangat kecil dan tidak berpengaruh langsung terhadap cuaca.
4. Tidak ada kaitan dengan penyakit
Pesan berantai yang mengaitkan aphelion dengan penyakit seperti flu atau sesak napas adalah hoaks. BMKG menegaskan bahwa aphelion tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Penurunan suhu mungkin meningkatkan risiko penyakit musiman seperti flu, tetapi itu lebih berkaitan dengan cuaca dingin secara umum, bukan karena aphelion.
5. Berpengaruh pada durasi musim, bukan iklim ekstrem
Aphelion sedikit memengaruhi panjang musim, di mana musim panas di belahan bumi utara bisa berlangsung lebih lama 2–3 hari dibandingkan musim panas di belahan bumi selatan. Namun, dampak ini tidak signifikan terhadap perubahan iklim global.
Penurunan suhu di Indonesia selama musim kemarau adalah hal yang wajar dan terjadi setiap tahun. Faktor utama penyebabnya adalah monsoon dingin dari Australia serta minimnya awan, bukan karena jarak Bumi yang semakin jauh dari Matahari akibat aphelion. Masyarakat diimbau untuk tidak mudah percaya pada informasi tidak benar yang menghubungkan aphelion dengan gangguan kesehatan.
[RWT]
Related Posts
- BMKG Sebut Musim Kemarau 2025 Dimulai April, Ini Wilayah yang Berisiko Kekeringan
- BMKG Imbau Waspada Cuaca Ekstrem, Potensi Hujan Lebat di Sejumlah Wilayah
- Peringatan Dini Pasang Laut di Kaltim 21-28 Februari 2025, Warga Pesisir Diminta Waspada
- Pemangkasan Anggaran BMKG Bakal Menghambat Upaya Swasembada Pangan Indonesia
- BMKG Sebut Gempa Magnitudo 7,1 di Tibet Tidak Berdampak ke Indonesia