Samarinda

Golput Masih Jadi Ancaman Pilkada 2020, KPU Samarinda Gencarkan Sosialisasi untuk Kalangan Muda

Kaltim Today
27 November 2019 21:32
Golput Masih Jadi Ancaman Pilkada 2020, KPU Samarinda Gencarkan Sosialisasi untuk Kalangan Muda
Ketua KPU Samarinda Firman Hidayat.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Semakin mendekati perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 mendatang, momok para golongan putih (golput) terus menjadi ancaman bagi pesta demokrasi ini. Oleh sebab Itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Samarinda gencar melakukan sosialisasi terkait pemilihan kepala daerah (pikada), agar mendulang sukses pada saat perhelatan nanti. Salah satu caranya ialah menggelar hajatan peluncuran Pilkada Samarinda 2020 di Taman Samarendah pada Sabtu (23/11/2019) malam.

"Kami memilih taman karena berada di tengah kota dan mudah dijangkau masyarakat. Serupa gelaran bersama rakyat," ucap Ketua KPU Samarinda, Firman Hidayat saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

[irp posts="8721" name="Diculik atau Terseret Banjir? 4 Hari Bocah Hilang Misterius"]

Firman tak menampik, jika angka partisipasi politik merupakan ancaman kesuksesan. Meski demikian dirinya juga tak bisa menggaransi 622.100 pemilih tetap (versi Pileg/Pilpres 2019) bakal datang ke tempat pemungutan suara. Sebab memilih atau tidak itu adalah hak konstituen masyarakat.

Itu sebabnya, pihaknya akan selalu berusaha meningkatkan partisipasi pemilih lewat sosialisasi. Maklum saja, jika pada pesta demokrasi sebelumnya, dari total DPT itu hanya 449.177 yang menggunakan hak piihnya. Namun angka ini dianggap baik bila dibandingkan Piwali 2015.

"Saat itu partisipasi di Samarinda bisa dikatakan rendah," jelasnya.

Wajar demikian, sebab partisipasi pemilih Samarinda saat itu hanya 49,76 persen dari 379.893 pemilih sementara. Kutai Timur juga menghadapi persoalan sama, angka partisipasi pemilih hanya 50,13 persen dari 152.372 jiwa. Sementara paling tinggi partisipasi pemilih ada di Mahakam Ulu mencapai 76,51 persen dari 18.091 pemilih.

Sementara yang lainnya, mampu melewati ambang batas 50 persen, seperti Balikpapan 60,11 persen, Bontang 65,18 persen, Kubar 67,75 persen, Kutai Kartanegara (Kukar) 58,89 persen, Berau 63,57 persen, dan Paser 67,60 persen. Pilwali saat itu melibatkan sembilan kabupaten/kota di Kaltim. Hanya Penajam Paser Utara (PPU) yang tak turut serta dalam Pilkada serentak.

"Sekali lagi memilih itu hak, kami tidak punya kewenangan untuk memaksa apalagi menyeret ke TPS. Kami hanya bisa mengingatkan lewat sosialisasi. Harapan bisa seperti Pileg kemarin," bebernya.

Tren golput sendiri menurut catatan KPU Samarinda, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Misal, tingkat golput awalnya hanya sebesar 8,60 persen pada 1955, lalu turun 5,2 persen menjadi 3,4 persen pada 1971. Kemudian, pada Pemilu 1977 hingga 1997, tingkat golput perlahan mengalami kenaikan. Secara umum, tingkat golput di era Orde Baru (1955-1997) cenderung lebih rendah dibandingkan era setelahnya, yaitu berada pada rentang 3 hingga 6 persen. Hal ini terjadi karena pemilihan pada era ini berupa pengalaman mobilisasi, bukan partisipasi, kata Soebagio dalam jurnal politik berjudul Implikasi Golongan Putih dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi di Indonesia (2008).

Terpisah, dari segi historis Sri Yuniarti, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam jurnalnya Golput dan Pemilu Indonesia (2009) menyebut, golput mulai populer pada tahun 70-an.

Gerakan itu dipelopori oleh Arif Budiman yang kala itu merupakan dosen sekaligus aktivis reformasi (sekarang guru besar Universitas Melbourne, Australia). Golongan ini hadir akibat ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu 1971, sebab menurut kalangan aktivis kampus, pemilihan pemimpin negara saat itu merupakan ajang penipuan sistematis terhadap rakyat.

Gerakan tersebut didominasi oleh cendekiawan muda kampus. Protes pertama mereka adalah mengumandangkan ide tidak ikut pemilu. Perlahan-lahan, ide golput pun menyebar dan akhirnya bisa diterima khususnya masyarakat melek politik.

[JRO | RWT]


Related Posts


Berita Lainnya