Opini
Pengaruh Faktor Ketenagakerjaan terhadap Tingkat Kemiskinan di Kalimantan Timur
Oleh: Sanjaya Abdillah Karim, S.Tr.Stat (Badan Pusat Statistik Kabupaten Penajam Paser Utara)
Kemiskinan merupakan permasalahan bersama yang dihadapi oleh berbagai bangsa di dunia. Terkhusus di Indonesia, kemiskinan masih menjadi isu prioritas sasaran kebijakan pemerintah. Saat ini terdapat pergeseran konsep kemiskinan, yang semula kemiskinan diidentikkan sebagai kemiskinan struktural, yaitu ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan yang disebabkan oleh faktor keluarga dan diwariskan secara turun temurun.
Namun dalam perkembangannya, definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan. Kemiskinan tak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi, tapi telah meluas ke dimensi lainnya, baik dari pendapatan, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, hingga faktor sosial lingkungan. Oleh sebab itu, permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan kompleks dan multidimensi.
Dari berbagai faktor penyebab kemiskinan, masalah ketenagakerjaan dianggap paling dekat dan nyata dengan lingkungan sekitar kita. Pengangguran misalnya, angka pengangguran yang tinggi menyebabkan rendahnya pendapatan yang kemudian mendongkrak tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. Bila dijabarkan, jika masyarakat menganggur berarti tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan, dan dengan tidak adanya penghasilan yang dimiliki menyebabkan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Alhasil kebutuhan hidup standar tidak dapat terpenuhi, maka maka masyarakat tersebut tergolong tidak mampu secara ekonomi atau disebut penduduk miskin.
Di Indonesia, sumber data pengangguran dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik setiap tahun dengan tingkat penyajian hingga level kabupaten/kota. Indikator tersebut berupa TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka), yang mencerminkan persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.
Selain TPT, indikator ketenagakerjaan lain adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yaitu persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang merupakan angkatan kerja dan Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) yaitu persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja terhadap angkatan kerja.
Secara teori, semakin besar tingkat pengangguran maka semakin besar pula tingkat kemiskinan. Begitupun sebaliknya, semakin besar tenaga kerja terserap maka tingkat kemiskinan akan semakin menurun. Senada dengan teori yang ada, pengangguran akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan. Seakan kontradiktif, hal tersebut tidak sejalan dengan yang terjadi di Bumi Etam. Bila kita perhatikan data TPT kabupaten kota di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dalam lima tahun terakhir, justru terlihat adanya korelasi negatif antara tingkat pengangguran dengan persentase penduduk miskin.
Seakan tak sejalan dengan teori yang ada, pada beberapa kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin (P0) yang tinggi, justru nampak memiliki TPT yang rendah. Seperti contoh pada Kabupaten Mahakam Ulu dan Kabupaten Kutai Timur sebagai dua kabupaten dengan TPT rendah di Kaltim, namun masing-masing mereka memiliki persentase penduduk miskin tertinggi pertama dan kedua. Sebaliknya, Bontang, Samarinda, dan Balikpapan, dengan persentase TPT tiga tertinggi di Kaltim, memiliki persentase penduduk miskin yang rendah.
Tak hanya itu, fenomena lain yang terjadi di Kaltim adalah penyerapan tenaga kerja yang tinggi tidak diimbangi dengan penurunan tingkat kemiskinan. Terlihat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) yang seharusnya berkorelasi negatif dengan persentase penduduk miskin pun juga terdeteksi mengalami anomali.
Masih dalam rentang tahun 2017-2021, TPAK dan TKK Mahakam Ulu dan Kutai Barat menjadi juara pertama dan kedua di Kaltim, yang seharusnya secara teori memiliki persentase penduduk miskin yang rendah, justru sebaliknya. Selain itu, Balikpapan, Samarinda dan Bontang sebagai tiga wilayah dengan TPAK dan TKK terendah, lagi lagi memiliki persentase penduduk miskin yang rendah pula.
Permasalahan di atas menyiratkan bahwa terdapat anomali penyebab kemiskinan, khususnya di Kaltim. Beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur kemiskinan justru tidak dapat dijadikan acuan. Sehingga bila data tersebut dijadikan landasan dalam pengambilan kebijakan, dimungkinkan akan tidak tepat sasaran dan bias. Hal tersebut seharusnya semakin mendorong pemerintah, para peneliti dan kita semua agar tidak terpaku menganalisis permasalahan hanya didasarkan pada objek yang dihitung secara matematis
Diperlukan analisis mendalam dan lebih untuk membedah faktor ketenagakerjaan lain yang berperan penting terhadap tingkat kemiskinan. TPT, TPAK dan TKK hanya melihat tenaga kerja sebagai objek yang dihitung secara kuantitas saja. Apabila ditelisik lebih dalam, tenaga kerja dapat dilihat dari berbagai sudut pandang kualitas, seperti persentase pekerja formal, tingkat pendidikan tenaga kerja dan sektor lapangan pekerjaan dominan di suatu wilayah. Hal tersebut didasari teori bahwa setiap pekerja memiliki karakteristik dan spesifikasi masing-masing dan tentu saja terdapat perbedaan balas jasa pada setiap spesifikasi tersebut.
Berdasarkan data BPS Kaltim, dalam lima tahun terakhir Mahakan Ulu dan Kutai Barat memiliki persentase pekerja formal terendah di Kaltim. Setidaknya pada 2021, masing-masing memiliki persentase pekerja formal hanya 32.33% dan 36.72%. Di sisi lain, Bontang, Balikpapan dan Samarinda adalah memuncaki persentase pekerja formal tertinggi di Kaltim, angka pada 2021 menunjukkan masing masing sebesar 65.78%, 63.88%, dan 60.62%. Hal ini memperlihatkan bahwa, terdapat hubungan yang sejalan antara jumlah pekerja formal dan tingkat kemiskinan di Kaltim. Lumrah memang karena tenaga kerja formal lebih stabil secara pendapatan daripada pekerja informal.
Dimensi kualitas tenaga kerja yang lain adalah pendidikan. BPS Kaltim merilis angka persentase penduduk usia 15 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan, yang menampilkan 3 kota di Kaltim memiliki persentase lulusan perguruan tinggi terbesar di antara kabupaten lainnya. Samarinda (20,5%), Bontang (19,4%) dan Balikpapan (18,2%) menyerap lebih banyak tenaga kerja lulusan perguruan tinggi, sedangkan tenaga kerja lulusan SD+SMP+SMA pada ketiga kota tersebut masing-masing sebesar 79,5%, 80,6%, dan 81,8%.
Fenomena tersebut membuktikan pada ketiga kota tersebut tersebar lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja dengan spesifikasi pendidikan tinggi. Otomatis balas jasa terhadap tenaga kerja dengan skill yang tinggi akan lebih tinggi pula bila dibandingkan pekerja dengan skill dan spesifikasi pendidikan yang lebih rendah pula.
Selanjutnya yang masih berpengaruh adalah sektor lapangan pekerjaan dominan pada masing-masing kabupaten/kota. Tercatat persentase pekerja sektor manufaktur/industri pengolahan di Balikpapan, Samarinda, dan Bontang lebih dominan daripada sektor pertanian. Sebaliknya, pada kabupaten lain seperti Mahakam Ulu dan Kutai Barat justru lebih banyak menyerap tenaga kerja pada sektor pertanian.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sektor pertanian masih menjadi momok pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan di dalamnya. Akhir-akhir ini, menguat saat harga pupuk dunia naik namun harga jual hasil panen tidak naik signifikan. Tercermin dalam Nilai Tukar Petani yang kian hari cenderung menurun, menunjukkan kesejahteraan petani semakin terancam. Di sisi lain, pekerja pada sektor manufaktur/industri memiliki peluang yang tinggi dalam pengembangan karir dan cenderung memiliki balas jasa yang kompetitif tergantung tingkat kesulitan dan risiko pekerjaannya.
Secara kasat mata, memang benar bahwa ketika mendengar angka kemiskinan hal lain yang terpikirkan oleh kita adalah tingginya pengangguran. Namun bila merujuk data empiris yang ada, utamanya pada sebaran data kabupaten/kota di Kalimantan Timur, diperlukan analisis alternatif penyebab kemiskinan dari sisi tenaga kerja. Dengan semakin kompleksnya fenomena tenaga kerja yang ada, analisis pada sisi kualitas tenaga kerja diharapkan bisa menjadi fokus para pemangku kebijakan.
Besar harapan agar pemerintah daerah tidak hanya berfokus pada pengurangan jumlah pengangguran secara kuantitatif saja. Sebab, tingginya jumlah penduduk miskin juga bersumber dari variabel ketenagakerjaan yang bersifat kualitatif, seperti persentase pekerja formal, tingkat pendidikan tenaga kerja, dan sektor lapangan pekerjaan dominan di suatu wilayah.
Ke depan, diharapkan mulai bermunculan penelitian yang membahas kualitas tenaga kerja di Benua Etam dan tentunya dapat memberikan gambaran bagi pemerintah dalam membuat kebijakan pada dimensi ketenagakerjaan yang tepat sasaran terkait upaya pengentasan kemiskinan yang sudah menjadi masalah lama di Kaltim.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Brantas Kemiskinan Ekstrem, Pemprov Kaltim Gandeng 38 Perusahaan untuk Bangun Rumah Layak Huni
- Persentase Pengangguran Terbuka di Berau Turun, Sri Juniarsih Soroti Isu Tenaga Kerja
- Fraksi PDIP Soroti Kenaikan Pengangguran di Berau, Minta Perda Perlindungan Tenaga Kerja Lokal Dioptimalkan
- Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Kaltim Menurun di Maret 2024
- Angka Kemiskinan Kaltim Capai Peringkat 7 Terendah se-Nasional, BPS Sebut Ada Penurunan 5,78 Persen di Tahun 2024