Opini

Ekonomi Bukan Hanya Soal Menjual Buku Bajakan

Kaltim Today
13 Juli 2025 17:36
Ekonomi Bukan Hanya Soal Menjual Buku Bajakan
Penulis, Mumtaz Alim Muttaqin.

Oleh: Mumtaz Alim Muttaqin (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Ekonomi bisa membaik jika negara melindungi hak cipta dengan serius. Penemuan paten tidak boleh berpijak dari ilmu yang dibajak.

Dunia sedang berisik akhir-akhir ini. Amerika Serikat masih saja membuat negara lain was-was dengan tarif resiprokalnya. Belum lama ini Trump mengultimatum negara dengan tarif impor 32 persen. Paruh terakhir bulan Juni yang lalu, Iran dan Israel saling berkelahi dalam urusan teknologi militer. Seminggu terakhir, Tiongkok bermesra-mesra dengan negara BRICS. Saling tidak mau kalah, saling narsis mencari perhatian dunia.

Negara-negara kuat bak anak kecil memamerkan mainan baru. Dan, hal itu wajar dilakukan. Negara seperti Amerika Serikat dan Tiongkok telah berinvestasi besar-besaran pada Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM) selama tiga dekade terakhir. Dengan kebijakan yang mendorong peningkatan kekayaan intelektual, negara hendak membuktikan siapa yang paling unggul. Akselerasi jumlah dan kualitas hak paten adalah kunci utamanya.

Sebelum membahas kedudukan paten yang agung, kita perlu melihat bagaimana sikap negara terhadap kekayaan intelektual. Fakta bahwa negara gagal melindungi hak kekayaan intelektual rakyatnya, tidak bisa dibantah. Penyamun hak cipta, seperti pada kasus pembajakan buku, beranak-pinak. Suatu patgulipat yang senantiasa eksis. Padahal, daya cipta merupakan kemampuan olah pikir seseorang yang khas dan mesti dilindungi.

Masih tentang buku. Bagi kita, bahkan, tidak sulit membeli buku yang tebalnya lima ratus halaman dengan uang lima belas ribu rupiah di lokapasar. Toko ramai-ramai memamerkan buku-buku murah dengan label original. Jika bukan original, mereka sebut ‘seperti cetakan asli’. Dulu, pedagang buku ‘murah’ beroperasi di sekitar kampus, yang ‘katanya’ adalah rumah suci pengetahuan. Gelar ‘penyamun’ mereka ubah jadi ‘juru selamat’ bagi mahasiswa yang kesulitan membeli buku teks kuliah.

Jika pedagang ditanya alasan menjual buku murah, jawabannya lagi-lagi motif ekonomi. “Banyak yang minat buku bajakan, kok!” atau “Ada pasarnya”. Bahkan, guru besar yang menggadaikan integritasnya juga melahap buku itu. Buku dengan kualitas bahan baku yang rendah dan diproduksi hanya dengan menyalin karya aslinya, bisa dijual dengan modal serendah-rendahnya guna keuntungan yang besar. Tentu saja, calon pembeli tergoda dengan harganya. Terdengar, seperti win-win solution, kan?

Negara tampaknya beritikad baik menjamin hak moral dan hak ekonomi pencipta lewat UU No. 28 Tahun 2014. Akan tetapi, paradoksnya, negara juga menetapkan delik aduan dalam pelanggaran hak cipta. Syahdan, pencipta seperti penulis buku harus membuat laporan ke pihak berwajib untuk menuntut haknya. Semua orang tahu, proses hukum negeri ini begitu berkelit. Negara seolah-olah tidak mau repot menyelidiki secara mandiri. Butuh adanya laporan, baru ditindaklanjuti.

RISET KITA DINODAI BUKU BAJAKAN

Kendati Ikatan Penerbit Indonesia pada 2021 mengumbar bahwa 75% buku yang dijual di lokapasar adalah produk bajakan, ironisnya, buku-buku itu secara tak langsung bersentuhan dengan peningkatan inovasi dan riset nasional.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melaporkan pada Januari 2025, peringkat Global Innovation Index (GII) nasional melesat ke urutan ke-54. Dibandingkan 5 tahun sebelumnya (2020) saat negara berada di peringkat 85, sekarang kita naik 31 tangga. Tentu, peningkatan riset adalah buah kebijakan pemerintah. Namun, bukankah pengetahuan yang digunakan dalam riset, berawal dari buku? Buku di masyarakat kita, dominan buku bajakan.

Buku-buku itu pun, turut, secara tidak langsung, meningkatkan jumlah paten nasional. Pada 2023, menurut statistik yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO), negara mengajukan 1.726 paten. Kalah dari pengajuan 9.255 paten Singapura dalam periode tahun yang sama. Tidak layak dibandingkan dengan Tiongkok yang mengajukan 1.652.437 paten sekaligus menjadi pemimpin jumlah paten negara-negara sedunia.

Menarik jika kita melihat, bahwa top five negara maju sekarang, juga merupakan negara yang menaruh perhatian besar pada teknologi dan paten. Setali tiga uang, motif perlombaan mereka dalam teknologi dan paten, sama dengan motif penjual buku bajakan: motif ekonomi!

PERTUMBUHAN EKONOMI BERBASIS PATEN

Laporan WIPO pada 2024 mengindikasikan adanya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan jumlah hak paten negara. Tiongkok dengan jutaan patennya, menorehkan produk domestik bruto (PDB) sebesar USD 18,74 triliun pada 2024. Ia juga menguasai 62% pasar electronic vehicle (EV) dunia. Korea Selatan, dengan 289.749 pengajuan patennya pada 2023, memiliki PDB sebesar USD 1.7 triliun di tahun yang sama.

Tepat jika dikatakan bahwa kepemilikan paten, meskipun ia bukan benda nyata seperti emas, berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan paten, negara memperoleh royalti dari setiap lisensi yang diberikannya kepada negara lain. Negara berada dalam posisi tawar (bargaining) yang kuat dalam transaksi perdagangan internasional. Paten yang melimpah juga berarti meningkatnya investasi. Investor menyukai teknologi yang dapat menambah efisiensi produksi, yang selanjutnya meningkatkan keuntungan.

Teknologi yang efisien tentunya memacu proses produksi. Jika ia digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang banyak, potensi cuan yang dihasilkan semakin besar. Selanjutnya, mengarah ke valuasi perusahaan yang meroket. Tidak heran, selama 5 tahun terakhir, perusahaan telepon pintar seperti Samsung dan Huawei, juga perusahaan chipset seperti Qualcomm dan NVIDIA, berkembang begitu pesat. Harga saham NVIDIA bahkan melonjak 1.473,66% dalam kurun 2020-2025.

Aktivitas perusahaan kemudian menggenjot ekonomi negara melalui tiga cara. Pertama, perusahaan melakukan ekspansi usaha dan membuka lapangan kerja sehingga memastikan roda ekonomi terus berputar. Kedua, perusaaan membayar pajak kepada negara. Ketiga, negara lain yang memperoleh lisensi paten, mesti membayar royalti sehingga berkontribusi dalam Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP).

PATEN KITA BELUM BERETIKA

Melihat usaha-usaha negara dalam memacu riset di bidang teknologi, pantas bagi kita mengakui negara berada di jalur yang tepat.

Ironisnya, di sisi lain, negara cenderung tutup mata dari pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual. Mestinya, itu tidak boleh terjadi. Para pencuri tidak boleh berkeliaran bebas di negara hukum. Tidak pantas negara selamanya acuh terhadap buku bajakan. Tiada juga mulia baginya berpangku tangan sampai gelombang protes pencipta menggulung seperti tsunami.

Cukuplah bagi kita laporan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan Indonesia 2024, yang dipaparkan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa angka mencontek di perguruan tinggi mencapai 98%. Lalu indeks ketidakjujuran akademis kita menduduki peringkat 2 sedunia menurut Vit Machacek dan Martin Srholec, dua peneliti asal Republik Ceko. Semua cukup untuk menjadi alarm agar negara lebih melindungi intelektualitas bangsa dari predator akademik.

Memang, konstitusi menghendaki Indonesia menjadi bangsa yang cerdas. Kesejahteraan sosial perlu digapai dengan segala usaha yang strategis, visioner, dan universal seperti melalui paten. Tetapi itu semua tidak boleh mengerdilkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak pantas bagi bangsa ini menuai paten dan teknologi dari hasil melecehkan kekayaan intelektual.

Ekonomi bangsa layak dibangun dengan cara-cara yang beretika. Negara mesti sadar bahwa pertumbuhan ekonomi bukan hanya tentang menjual buku bajakan. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Berita Lainnya