Daerah

Kekerasan Seksual di Samarinda Belum Reda, Sungai Kunjang Jadi Kecamatan dengan Kasus Tertinggi 2025

Defrico Alfan Saputra — Kaltim Today 25 Desember 2025 17:06
Kekerasan Seksual di Samarinda Belum Reda, Sungai Kunjang Jadi Kecamatan dengan Kasus Tertinggi 2025
Koordinator Tim Psikolog UPTD PPA Kota Samarinda, Ayunda Ramadhani. (Defrico/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kota Samarinda masih menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan sepanjang 2025. Hingga pertengahan Desember, laporan kasus belum memperlihatkan penurunan berarti dan justru tersebar hampir merata di seluruh kecamatan.

Data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Samarinda mencatat, Kecamatan Sungai Kunjang menjadi wilayah dengan jumlah kasus kekerasan seksual tertinggi. Sebanyak 57 laporan diterima dari kecamatan tersebut sepanjang tahun berjalan.

Koordinator Tim Psikolog UPTD PPA Samarinda, Ayunda Ramadhani, mengungkapkan bahwa tingginya angka di Sungai Kunjang diikuti oleh beberapa kecamatan lain dengan jumlah kasus yang juga signifikan. Kecamatan Samarinda Ulu berada di posisi kedua dengan 45 kasus, disusul Sungai Pinang 37 kasus, Samarinda Utara 31 kasus, serta Samarinda Ilir dan Sambutan yang masing-masing mencatat 28 kasus.

“Paling tinggi memang Sungai Kunjang dengan 57 kasus. Setelah itu Samarinda Ulu 45 kasus, Sungai Pinang 37, Samarinda Utara 31, lalu Samarinda Ilir dan Sambutan masing-masing 28 kasus,” kata Ayunda.

Sementara itu, wilayah Loa Janan Ilir tercatat memiliki 20 kasus, Samarinda Kota dan Samarinda Seberang masing-masing 18 kasus, Palaran 14 kasus, serta 12 laporan lainnya berasal dari luar wilayah administrasi Kota Samarinda.

Ayunda menjelaskan, mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak-anak, dengan pelaku yang umumnya berasal dari lingkaran terdekat korban. Kedekatan relasi tersebut kerap menjadi hambatan utama dalam proses pelaporan dan pengungkapan kasus.

“Sebagian besar korban mengenal pelaku, baik itu anggota keluarga, kerabat, atau orang di lingkungan sekitar. Kondisi ini membuat korban sering kali takut melapor karena tekanan psikologis, rasa malu, hingga ancaman dari pelaku,” jelasnya.

Ia menambahkan, tidak sedikit kasus yang baru terungkap setelah kekerasan berlangsung dalam waktu cukup lama. Situasi ini menegaskan pentingnya peran keluarga dan lingkungan sekitar dalam mendeteksi serta mencegah kekerasan sejak dini.

Dari sisi penyebab, Ayunda menyebut kekerasan seksual umumnya dipicu oleh faktor internal pelaku. Masalah kepribadian, ketidakmampuan mengendalikan emosi, hingga penyalahgunaan zat adiktif menjadi faktor dominan yang kerap ditemukan dalam penanganan kasus.

“Faktor tertinggi berasal dari pelaku, terutama karakter dan kontrol emosi. Dalam beberapa kasus, pelaku juga berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan, bahkan terdapat indikasi gangguan kejiwaan,” paparnya.

Selain itu, tekanan ekonomi dan konflik sosial turut berkontribusi memperbesar risiko terjadinya kekerasan. Namun, Ayunda menegaskan bahwa faktor ekonomi tidak dapat dijadikan pembenaran atas tindak kekerasan seksual.

“Masalah ekonomi memang sering memicu konflik, tetapi yang paling dominan tetap kegagalan pelaku dalam mengelola emosi dan menyelesaikan persoalan dengan cara yang sehat,” ujarnya.

Melihat tingginya jumlah kasus, UPTD PPA Kota Samarinda terus mendorong masyarakat untuk berani melapor apabila mengetahui atau mencurigai adanya tindak kekerasan seksual. Menurut Ayunda, partisipasi masyarakat sangat penting untuk melindungi dan memulihkan korban.

“Kami mengimbau masyarakat agar tidak diam. Ketika melihat atau mendengar adanya kekerasan, segera laporkan. Informasi sekecil apa pun bisa menjadi langkah awal penyelamatan korban,” tegasnya.

UPTD PPA Kota Samarinda juga menyediakan layanan pendampingan psikologis, bantuan hukum, serta pendampingan sosial bagi korban, melalui kerja sama lintas sektor dengan kepolisian, tenaga medis, dan lembaga sosial.

Selain penanganan kasus, upaya pencegahan terus dilakukan melalui edukasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas. Kesadaran kolektif dinilai menjadi kunci utama untuk menekan dan memutus rantai kekerasan seksual di Samarinda.

“Kekerasan seksual bukan hanya persoalan korban, tetapi persoalan kita bersama. Lingkungan yang peduli dan berani bertindak adalah benteng utama perlindungan bagi perempuan dan anak,” pungkasnya.

[RWT]



Berita Lainnya