Gaya Hidup

Mencegah Kekerasan Seksual Lewat Pemeriksaan Mental di Dunia Kerja

Kaltim Today
20 April 2025 09:52
Mencegah Kekerasan Seksual Lewat Pemeriksaan Mental di Dunia Kerja
Semua profesi diwajibkan cek mental dan fisik secara rutin. Hal itu untuk mencegah kejahatan seksual sejak dini lewat SOP kerja yang ketat dan evaluasi berkala. (Beritasatu/Muhammad Reza)

Kaltimtoday.co - Meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi peringatan serius bagi semua pihak, terutama dalam lingkungan dunia kerja. Tindakan preventif menjadi lebih krusial ketimbang sekadar penanganan pascakejadian. Salah satu upaya penting yang kini mulai disuarakan adalah penerapan pemeriksaan kesehatan mental dan fisik secara rutin di tempat kerja.

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menekankan bahwa setiap profesi perlu memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang tidak hanya mencakup pemeriksaan kesehatan fisik, tetapi juga pemeriksaan mental secara berkala. Dalam dialog di program “Beritasatu Sore”, Sabtu (19/4/2025), ia menyebut gangguan mental sering kali diabaikan, padahal dapat menjadi pemicu tindakan menyimpang, termasuk kekerasan seksual.

“Gangguan mental bukan kutukan, ini kondisi medis yang bisa disembuhkan seperti penyakit fisik lainnya,” ujar Devie dengan tegas, menyoroti pentingnya perubahan cara pandang masyarakat dan institusi terhadap kesehatan mental.

Devie mengungkapkan, sistem kerja yang ideal harus berfokus pada pencegahan, bukan hanya penanganan saat kasus telah terjadi. Menurutnya, pemeriksaan kesehatan menyeluruh—termasuk aspek psikologis—harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan, terutama di lingkungan kerja yang memiliki intensitas tinggi dan berinteraksi langsung dengan publik, seperti institusi pendidikan, layanan kesehatan, pemerintahan, serta media.

Ia juga menambahkan bahwa pengembangan sumber daya manusia seharusnya tidak hanya sebatas peningkatan keterampilan teknis, melainkan juga perhatian serius terhadap aspek emosional dan psikologis individu. Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan seksual merupakan individu yang terlihat “ramah, mengayomi, dan dipercaya”, namun ternyata menyimpan gangguan mental yang tidak tertangani.

“Pemeriksaan mental dan fisik harus menjadi bagian dari sistem, bukan tindakan tambahan. Ini bukan hanya soal perlindungan bagi korban, tetapi juga perlindungan terhadap integritas dunia kerja itu sendiri,” kata Devie.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya kolaborasi antara institusi kerja, tenaga profesional, dan pemerintah dalam membangun sistem pendukung kesehatan mental. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah menyediakan akses terhadap konselor psikologis di setiap instansi, serta membentuk unit penanganan dini terhadap perilaku menyimpang di tempat kerja.

Dengan kasus kekerasan seksual yang semakin kompleks dan tidak lagi terbatas pada satu lingkungan atau profesi tertentu, kesadaran kolektif untuk menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas mutlak menjadi semakin mendesak. Pencegahan hanya akan berhasil jika seluruh ekosistem mendukung—dari kebijakan manajemen hingga kesadaran individu.

Untuk informasi seputar edukasi kesehatan mental dan perlindungan di dunia kerja, kunjungi pafikepmaluku.org.



Berita Lainnya