Samarinda

Menengok Sejarah Kukar dan PPU yang Ditetapkan Sebagai Wilayah Ibu Kota Negara

Kaltim Today
31 Agustus 2019 21:32
Menengok Sejarah Kukar dan PPU yang Ditetapkan Sebagai Wilayah Ibu Kota Negara

Kaltimtoday.co, Samarinda - Sebagian Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan lokasi yang diumumkan Presiden Joko Widodo sebagai ibu kota baru Negara RI. Gubernur Kaltim, Isran Noor mendetailkan lokasinya berada di tiga Kecamatan yakni, Muara Jawa, Sepaku dan Samboja.

Menengok ke masa silam, mulanya lokasi tersebut merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kertanegara. Begini riwayatnya. Dari seorang sejarawan lokal Kota Tepian, bernama Muhammad Sarip yang memiliki duplikat kitab Salasilah Kutai beraksara Arab-Melayu, dari duplikat naskah asli yang disimpan di Perpustakaan Berlin Jerman.

Dari naskah Salasilah Kutai diriwayatkan, awal mula keberadaan kerajaan Kutai Kertanegara ini berada di lokasi bernama Jaitan layar atau yang kita kenal sekarang sebagai Kutai Lama.

Kerajaan ini mulanya didirikan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai raja pertamanya, pada 1300 masehi. Naskah ini juga mengungkap proses pengislaman raja beserta rakyat Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Raja Makota. Pengislaman dipandu oleh juru dakwah bergelar Tuan Tunggang Parangan. Menurut kalkulasi C.A. Mees, peristiwa ini terjadi pada 1575.

Setelah pengislaman tersebut, Raja Makota merestui Tuan Tunggang Parangan untuk menyebarkan Islam ke sisi utara, barat, dan selatan dari Kutai Lama. Islamisasi itu disertai penaklukan. Di antara daerah taklukan yang tertulis dalam Salasilah Kutai adalah Balikpapan.

Dengan penaklukan Balikpapan, maka kawasan di pantai timur Pulau Kalimantan ini menjadi sebuah wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara. Sampai zaman Indonesia merdeka dan Kutai menjadi Daerah Istimewa pada 1953, Balikpapan tetap berada dalam wilayah kekuasan Kutai.

Balikpapan baru berpisah dari Kutai pada 21 Januari 1960, yang mana juga membuat Daerah Istimewa Kutai dihapuskan. Balikpapan sendiri secara administratif pada setengah abad silam terbagi atas empat kecamatan, yakni Balikpapan Utara, Balikpapan Barat, dan Balikpapan Timur, dan Balikpapan Seberang.

Dalam Kecamatan Balikpapan Seberang, terdapat sungai dan kampung yang bernama Sepaku. Di Kampung Sepaku inilah dulu hidup suku Balik yang merupakan etnis asli Balikpapan. Mulai 1945, suku Balik yang minoritas di Kota Minyak eksistensinya sangat langka. Memasuki abad ke-21, etnis ini makin sulit ditemukan karena faktor perkawinan beda suku, terutama dengan suku Paser dan Banjar.

Kemudian Sepaku sejak 1988 beralih kepemilikan dari Kotamadya Balikpapan ke Pasir. Sejak itu pula nama Kecamatan Balikpapan Seberang dihapuskan. Sepaku dimasukkan ke Kecamatan Penajam.

Selama 15 tahun Sepaku berada di bawah Pemda Pasir. Lalu, pada 2002 Sepaku bersama Kecamatan Penajam dimasukkan ke sebuah kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Pasir. Kabupaten baru itu bernama Penajam Paser Utara, yang baru saja ditetapkan Presiden Jokowi sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) bersama Kutai Kertanegara.

Sedangkan Kecamatan Samboja, Muara Jawa awalnya merupakan satu bagian dalam pemerintahan Kotamadya Samarinda. Peristiwa penting di kecamatan ini mulanya terjadi saat kecamuk Perang Pasifik antara Jepang dan Sekutu 1942–1945 meninggalkan jejak di Kalimantan Timur. Ada sumber minyak yang jadi rebutan. Tarakan, Balikpapan, dan Sanga-Sanga, tiga di antara kota sumber bahan bakar mesin tempur yang jadi sasaran bombardir.

Saat itu, Jepang sudah tiga tahun menduduki Kaltim dan semakin kewalahan. Pasukan Sekutu bersiap merebut Kota Balikpapan dari jalur laut dan darat. Caranya, sebuah regu intelijen dikirim ke lokasi antara Balikpapan dan Samarinda. Lokasi itu kini adalah Kecamatan Samboja yang bergabung ke Kabupaten Kutai pada tahun 1988 dan dimekarkan kembali menjadi Kabupaten Kutai Kertanegara pada 1999.

Sejarah yang terjadi di wilayah calon ibu kota negara ini, awalnya pada April tahun1945 ketika Sekutu berpenetrasi ke Samboja. Ada 14 orang pasukan komando intelijen militer gabungan Sekutu yang bernama SAD Force atau Z Force. Mereka masuk melalui Pantai Tanjung Pamedas, sekitar 40 kilometer di utara Balikpapan.

Tentara pengintai dari Australia ini bertemu dengan dua orang nelayan. Mujur, dua nelayan itu adalah pribumi yang tak suka Jepang. Rakyat Nusantara memang merasakan penderitaan pada masa pendudukan Jepang. Ini tak sesuai dengan janji Jepang di awal kedatangannya yang menjanjikan kebahagiaan. Rakyat berharap sekutu dapat menyingkirkan Jepang dari tanah air. Regu intel itu lalu diarahkan ke Pantai Sigagu. Pertimbangannya, Sigagu lebih menjauhi pos penjagaan Jepang di Samboja Kuala.

Singkat cerita, Kepala Penjawat Samboja pun membantu dan memfasilitasi misi rahasia sekutu ini. Pada masa itu, Kepala Penjawat merupakan istilah untuk kepala pemerintahan setingkat camat. Bangsawan Kesultanan Kutai Kertanegara bernama Aji Raden Ariomidjojo yang menjadi Kepala Penjawat Samboja.

Situasi selanjutnya tidak berjalan lancar. Seorang warga Samboja berjalan kaki ke Samboja Kuala lalu ke Sungai Seluang Samboja. Kemudian, ia menumpang mobil menuju markas Kempeitai di Balikpapan. Peristiwa yang dilihatnya dilaporkan kepada Polisi Militer Jepang. Ternyata, warga yang dikenal bernama Durahman ini merupakan mata-mata Jepang yang tak disadari warga.

Alhasil, pasukan militer Jepang segera dikirimkan ke Samboja. Seluruh daerah Samboja, Handil, sampai Muara Jawa disusuri. Pasukan Z Force dicari. Dua tentara Australia tertangkap setelah merusak sarana komunikasi di Sungai Tiram. Tapi, 12 tentara lainnya tak ditemukan persembunyiannya selama beberapa hari hingga Jepang menemukan bekas perbekalan sekutu yang tercecer.

Tembak-menembak terjadi tapi Z Force tak terbekuk karena terhalang medan jurang. Atas bantuan warga, Sekutu dapat meloloskan diri sampai kembali ke laut tanggal 20 April 1945. Tiga hari berselang, sebuah pesawat Catalina Sekutu mendarat di permukaan laut. Catalina mengangkut mereka kembali ke markas di Pulau Morotai (kini termasuk wilayah Provinsi Maluku Utara).

Jepang kesal. Pelampiasannya pada 10 April 1945. Kepala Penjawat Samboja beserta Mantri Polisi H. Amir dan Kepala Kampung H. Arif serta beberapa staf kantor Penjawat ditangkap. Mereka dieksekusi mati dan jenazah mereka tidak ditemukan hingga sekarang.

Setelah menerangkan rangkaian sejarah pada tiga kecamatan lokasi penetapan ibu kota negara, Sarip menerangkan, wilayah Kukar secara meluas pada jaman dulu, termasuk di dalamnya saat itu Samarinda, juga memiliki konflik. Hanya saja, dalam skala yang kecil.

"Tapi, jika yang ingin dibahas adalah Sepaku, Samboja dan Muara Jawa saja, maka tidak ada konflik signifikan," pungkas Sarip.

[JRO | RWT]


Related Posts


Berita Lainnya