Kaltim

Penetapan Tersangka 2 Mahasiswa di Samarinda, Tim Advokasi Bakal Ajukan Pra-Peradilan

Kaltim Today
07 November 2020 11:07
Penetapan Tersangka 2 Mahasiswa di Samarinda, Tim Advokasi Bakal Ajukan Pra-Peradilan
Konferensi pers Tim Advokasi untuk Demokrasi melalui zoom berlangsung pada Jumat malam (6/11/2020).

Kaltimtoday.co, Samarinda - Jumat (6/11/2020), Polresta Samarinda telah menetapkan 2 mahasiswa berinisial FR dan WJ sebagai tersangka yang ikut dalam unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di depan DPRD Kaltim, Kamis (5/11/2020). Menurut kepolisian, FR ditangkap karena membawa badik. Sedangkan WJ karena melakukan penganiayaan dengan melempar batu kepada aparat.

Setelah polisi mengumumkan penetapan tersangka, pada hari yang sama tepatnya pukul 19.30 Wita, Tim Advokasi untuk Demokrasi menggelar konferensi pers kepada awak media melalui Zoom. Dipimpin oleh Pradarma Rupang dan hadir pula Fathul Huda dan Bernard Marbun dari LBH Samarinda, Indra dari LBH Persatuan, serta Yohanes Richardo Nanga Wara selaku humas aksi Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam).

Fathul menyampaikan perkembangan atas penangkapan massa aksi yang menolak UU Cipta Kerja. Proses pemeriksaan sebagai saksi telah dilalui Kamis malam hingga ditetapkan sebagai tersangka Jumat siang. Pihak LBH telah mendampingi dan mencatat beberapa hal berdasarkan keterangan dari beberapa massa aksi yang ikut berdemonstrasi. Di mana massa aksi diinjak, dipukul, ditendang, hingga kepalanya dicukur. Menurut Fathul, hal tersebut tidak manusiawi sama sekali.

Padahal, massa aksi meminta penegakan demokrasi. Namun ditangkap dengan tidak manusiawi. Aparat kepolisian juga telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi yakni hak kebebasan berpendapat di muka umum.

"Kami mengecam keras atas tindakan-tindakan brutal yang dilakukan kepolisian. Kami juga meminta kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kebrutalan kemarin sore untuk segera ditindaklanjuti dan diproses secara hukum. Bahkan kalau bisa, dikenai kode etik hingga pemecatan secara tidak hormat," ungkap Fathul.

Baginya, apa yang telah dilakukan kepolisian merupakan cerminan buruk dari sebuah sistem penegakan hukum yang dilakukan Polresta Samarinda dalam penanganan pengamanan aksi demonstrasi. Sebenarnya, aksi demonstrasi berjalan baik. Namun hanya karena ada sedikit gesekan, tindakan yang diambil sangat luar biasa tidak humanis.

Fathul pun menuntut Kapolda Kaltim dan Kapolresta Samarinda untuk menindak tegas anggotanya yang telah melakukan kebrutalan dan pelanggaran HAM. Jika kepolisian memiliki bukti atas apa yang dilakukan massa aksi, Tim Advokasi untuk Demokrasi juga memiliki bukti tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

"Apabila dibutuhkan, mari kita buka tindakan-tindakan represif ini. Jadi agar semua adil dan tidak mendiskreditkan massa aksi yang hingga saat ini cenderung diberitakan seolah-olah mereka yang salah," tegas Fathul.

Di sisi lain, sebut dia, aparat juga banyak sekali kesalahan dan melakukan pelanggaran yang sangat tidak manusiawi.

Sementara itu Bernard selaku penasihat hukum menyatakan bahwa dia tidak bisa mendampingi dari awal ketika penangkapan terjadi. Padahal, pengacara itu dilindungi oleh UU Advokat untuk melaksanakan kerja profesinya. Namun, polisi menolak kedatangan Bernard di Polresta Samarinda, bahkan dia mengaku diusir. Alasan dari polisi karena massa aksi sedang diinterogasi. Dia juga telah menegaskan pada polisi agar tidak menghalangi tugasnya.

"Advokat berhak untuk melakukan pendampingan hukum di tingkat mana pun. Itu diatur dalam kitab hukum acara pidana. Mengenai pengamanan, tidak ada dalam kitab UU hukum pidana mengenai mekanisme pengamanan. Yang ada hanya SOP sesuai Perkap kepolisian. Itu harus digarisbawahi polisi," beber Bernard.

Bernard menjelaskan kronologis permasalahan massa aksi yang berinisial FR. Menurut keterangan dari Bernard, FR ditangkap ketika sedang membantu rekannya pada saat keadaan ricuh. Setelah membantu, FR terjatuh dan langsung ditangkap. 8 meter dari posisi FR berada ditemukan senjata tajam, yang kemudian kepemilikan senjata tajam itu dituduhkan padanya.

Ditegaskan Bernard, FR tetap bersikeras untuk menolak tuduhan tersebut. Di dalam BAP, keterangannya juga jelas bahwa FR benar-benar tidak mengetahui asal muasal senjata tajam itu. Sebab FR juga mengaku tidak membawa senjata tajam sama sekali saat mengikuti aksi.

"Ketika FR ditangkap dan dibawa masuk ke gedung DPRD Kaltim, tiba-tiba ada teriakan 'Ada sajamnya! Ada badiknya!'. Itu langsung dituduhkan ke FR. Kita terus berupaya dan tegaskan tuduhan itu tidak benar. Kita selalu perjuangkan apa yang sudah disampaikan FR," beber Bernard.

Menurut info terakhir, 12 massa aksi yang semuanya berstatus mahasiswa diamankan di Polresta Samarinda. 10 orang telah dipulangkan pada pukul 15.00 Wita pada Jumat (6/11/2020). Namun 2 di antaranya yakni FR dan WJ jadi tersangka. Ketika melihat 12 massa aksi tersebut, Bernard mengungkapkan bahwa aparat sudah melanggar Perkap Kepolisian itu sendiri. Sebab Bernard melihat ada mahasiswa yang kepalanya bocor, bibirnya pecah, luka lebam, dan rambut yang digunduli tak beraturan.

"Oke kalau kepolisian memang lakukan pengamanan. Tapi apakah pengamanan harus dengan cara memukul, melukai? SOP mana yang diterapkan polisi?," ungkap Bernard.

Menurutnya, kejadian ini mencerminkan demokrasi sedang dalam keadaan yang akan dipasung. Bakal jadi permasalahan besar yang mesti disikapi serius. Kemudian Indra yang mewakili LBH Persatuan turut menyampaikan bahwa dia menyusul ke Polresta Samarinda sekitar pukul 20.00 Wita atas permintaan beberapa mahasiswa.

Berbeda dengan LBH Samarinda, LBH Persatuan lebih mudah menemui massa aksi yang diamankan. Pihak LBH Persatuan memastikan kelengkapan berkas terlebih dahulu. Itu juga melalui proses penjagaan yang cukup ketat. Sampai akhirnya diizinkan oleh Wakasetreskrim untuk menemui mahasiswa setelah ditanya soal identitas.

Senada dengan Bernard dan Fathul, Indra juga berpendapat bahwa saat mengamankan massa aksi, polisi justru melanggar Perkap kepolisian. Sebab tidak dibenarkan adanya tindak kekerasan kepada massa aksi. Penetapan 2 mahasiswa sebagai tersangka juga dia nilai cukup berlebihan.

"Polisi menangkap dan menetapkan 2 mahasiswa sebagai tersangka, yang sejatinya dilakukan atas spontanitas massa aksi ketika dipukul mundur dengan water cannon. Kemudian mereka bereaksi. Spontanitas seperti itu, tidak seharusnya ditindak dengan kekerasan," tegas Indra.

Dalam hal ini, LBH Persatuan mendampingi WJ. Indra menjelaskan bahwa berdasarkan BAP, WJ memang diduga melakukan penganiayaan. Dari hasil wawancara pihaknya dengan yang bersangkutan, penganiayaan yang terjadi tidak secara langsung menggunakan tangan.

Namun dengan batu berukuran 3 cm ke arah mobil water cannon. Menurut Indra, perlu dipastikan lagi apakah batu tersebut tepat sasaran mengenai seseorang atau tidak. Terlebih lagi, mobil itu berukuran besar. Menurutnya, ada potensi batu meleset. Sebab situasi ricuh kala itu merupakan bentuk spontanitas massa aksi saat penyiraman gas air mata.

"Posisi mereka itu kalau kita bilang, banyak yang melakukan pelemparan itu. Bagaimana kemudian hanya 1 orang yang ditetapkan sebagai tersangka? Posisi WJ itu disangka seolah-olah dia satu-satunya pelaku yang bertanggung jawab atas timbulnya korban entah di aparat atau massa aksi. Itu dinyatakan di BAP," jelas Indra.

Richardo juga menyampaikan tanggapan. Menurutnya, tuduhan kepada 2 rekannya yang jadi tersangka itu tanpa ada dasar yang pasti. Mulai membawa senjata tajam hingga menganiaya aparat. Menurut Richardo, justru mahasiswa yang dianiaya polisi. Tindak kekerasan yang terjadi di lapangan sangat tidak manusiawi. Menurut Aliansi Mahakam, polisi justru mencari celah agar menetapkan mahasiswa sebagai pelaku anarkisme.

Ditegaskan olehnya, yang membawa senjata tajam itu bukan dari kelompok mahasiswa. Namun, polisi terkesan mencoba membuat framing baru dengan menuduh mahasiswa yang membawa itu, ditambah lagi dengan melempar bom molotov. Bahkan, ada polisi yang menyamar sebagai wartawan.

"Kita lakukan aksi punya tuntutan yang jelas terkait menolak UU Cipta Kerja. Aksi Kamis kemarin, kami ingin lakukan sidang rakyat di DPRD Kaltim. Walau saat ingin masuk, kami dihadang dan dipukul mundur. Padahal kami mau membacakan 13 klaster yang dianggap bermasalah," ungkap Richardo.

Aliansi Mahakam dengan tegas menuntut aparat negara yang seharusnya tidak membungkam ruang demokrasi dengan tindakan represif. Menjadi duka cita bagi demokrasi saat ini dan mereka berkomitmen untuk lakukan seruan solidaritas secara nasional jika rekannya masih ditahan.

Bernard kembali menambahkan bahwa dalam waktu dekat ini, Tim Advokasi untuk Demokrasi akan melakukan gelar perkara dan permohonan pra peradilan terkait penetapan tersangka FR dan WJ. Sementara Indra menyebutkan penilaian dari tim advokasi adalah FR dan WJ masih diduga telah memenuhi 2 alat bukti sampai saat ini.

"Kami akan ajukan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Samarinda. Telah kami siapkan untuk mempersoalkan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, dan penanganan terhadap FR dan WJ. Kami akan menguji proses penetapan tersangka ini," tegas Indra.

Indra mengatakan, sampai saat ini, Tim Advokasi belum bisa langsung menyatakan bahwa tindak kekerasan yang dialami mahasiswa sebagai korban, murni kesalahan mereka semua. Polisi juga melakukan tes rapid kepada massa aksi yang diamankan. Khusus WJ, dia melalui tes rapid 3 kali dan hasilnya reaktif. Menurutnya, persoalan tes rapid dinilai belum tepat untuk dilakukan pada saat situasi seperti ini.

[YMD | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya