Opini
Simpang Terjal Pendidikan Kita
Oleh: Mohammad Makmun Qomar, M.Pd (Guru SMP Negeri 12 Samarinda)
Negara-negara yang tidak mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas akan tergilas dan menjadi obyek mainan oleh negara maju. Negara maju betapa sangat mudahnya membuat negara-negara miskin menjadi boneka. Sesungguhnya negara miskin segaris dengan negara yang sedang berkembang, indentik dengan keterbelakangan dan kebodohan. Apakah Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang?
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tidak serta merta menjadi negeri yang kaya, rakyatnya sejahtera, semua berpendidikan tinggi, tidak. Negara kaya raya ini masih lemah, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan masih menjadi masalah. Paradok, sumber daya alam melimpah tetapi sumber daya manusianya kualitasnya rendah. Peribahasa: ayam mati di lumbung padi.
[irp posts="24249" name="Sekolah Kembali Dibuka, Bijakkah?"]
Kebodohan, kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kita terus ketinggalan dengan negara lain. Kita tidak mampu mengolah sumber daya alam yang melimpah. Kita tidak punya modal, tidak punya ilmu. Sehingga negara-negara kaya yang sumber daya manusianya berkulitas berduyun-duyun berinsvestasi ke negeri ini. Kebodohan dan kemiskinan membuat kita dipermain oleh mereka. Tragis. Kasus PT Freeport, Indosat adalah contoh kecil betapa lemahnya kita. Negara sebesar ini diobok-obok oleh sebuah PT bukan sebuah negara. Dari PT saja kita ‘kalah’ apalagi bertarung dengan negara lain. Apa bedanya dengan masa awal penjajahan dahulu, kita kalah dengan VOC, sebuah perusahaan perdagangan Belanda.
Abad 21 ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi informatika dan komputer. Perkembangan itu sangat mempengaruhi gaya hidup manusia. Paradigma tentang dunia menjadi berubah. Dunia tanpa jarak. Dunia tanpa sekat. Dunia berada di ujung jari. Kompetisi antar negara sangat terbuka. Siapa yang mengendalikan akan menjadi raja yang dapat mengendalikan dunia. Perhatikan betapa sekarang kita sibuk dengan google, facebook, instagram, whatsapp dan aplikasi lainnya. Akibatnya sebagaian yang berpikir positif, aplikasi itu menjadi simbol kemajuan, kemakmuran, kemanjaan, kemudahan dan kenyamanan. Manusia yang berpikir negatif, perkembangan informatika menjadi bencana apalagi kalau disalah gunakan bisa mengerus nilai kemanusiaan, agitasi merajalela, berita hoax berkembang tiada tara, provokator dan hatters menjadi kaya raya karena ada yang membookingnya. Sangat menakutkan.
Globalisasi ini, penuh tantangan menuntut adanya perubahan paradigma baru dalam menatap kehidupan ini. Paradigma lama yang tidak cocok dengan kemajuan zaman harus ditinggal apabila ingin memenangkan dalam percaturan global ini. Berdagang tidak harus punya toko, cukup punya toko online. Tukang Ojek tidak harus mangkal di pinggir jalan, bisa ditunggu di rumah dengan aplikasi ojeknya. Beli barang tidak harus datang ke toko, dengan aplikasi barang yang diinginkan bisa sampai rumah. Dalam tukar mata uang, nilai mata uang kartal kalah dengan mata uang virtual. Dunia telah berubah.
Katanya orang Indonesia berbudaya sopan, lemah lembut, saling hormat menghormati, mikul duwur medem jero, gotong royong. Kenyataannya sekarang kita sedang sakit. Budaya adigung-adiguna hampir pudar. Lihatlah wajah-wajah kita sangat garang, brutal, dan agresif. Pertarungan Pilpres 2014 berlanjut sampai 2019 makin subur adu domba, penyebaran berita hoax, pemaksaan kehendak, saling ancam. Nilai-nilai kemanusian entah ada di mana. Nilai kebudayaan yang telah mengkristal babak belur, carut marut merusak budaya Indonesia. Siapakah yang harus bertanggung jawab.
Keadaan di atas memaksa kita mempertanyakan keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). LPTK inilah yang mencetak sumber daya manusia. Lembaga inilah yang merancang, mendidik dan mengajar manusia Indonesia. Peran besar LPTK harus dikawal agar menjadi lembaga profesional. Perubahan subtansi LPTK mutlak dilakukan karena ada paradigma, pendekatan, dan metode baru yang harus dikembangkan melalui pendidikan/latihan calon dan guru dan guru dalam jabatan ( Abdulzen, 2015:8). LPTK bukan hanya menghasilkan sarjana pendidikan akan mendapat tambahan penyelengaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi dan sertifikasi.
View this post on Instagram
Dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019 dijelaskan bahwa terbatasnya kualitas layanan pendidikan oleh LPTK berdampak belum adanya perbaikan yang signifikan pada peningkatan kualitas guru. Keterbatasan ini antara lain disebabkan oleh, (i) belum adanya reformasi LPTK secara menyeluruh untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan keguruan; (ii) minimnya keterlibatan LPTK dalam proses perencanaan dan pengadaan guru berdasarkan analisis kebutuhan guru perdaerah (kabupaten dan kota); (iii) belum tersedianya mekanisme penjaminan kualitas calon mahapeserta didik yang masuk ke LPTK melalui proses seleksi berdasarkan merit system; (iv) kurang maksimalnya pelaksanaan program induksi dan pemantauan guru; (v) belum dikembangkannya kurikulum pelatihan guru yang responsif dengan kebutuhan aktual; dan (vi) belum dilaksanakannya pendidikan profesi guru bagi calon guru baru melalui pola beapeserta didik dan berasrama.
Guru yang berada pada garis depan pada aspek pengajaran, pembinaan, pembimbingan, pengajaran, pelatih, penasehat, teladan, motivator, pembaharu, dan lain sebagainya adalah manusia pilihan yang terpilih untuk mengemban tugas mulia. Fenomena berbagai kasus oknum guru yang tidak harus dicontoh, yang tidak harus diteladani. Berbagai kasus guru terlambat datang dan pulang lebih awal bahkan tidak masuk ke sekolah masih sering ditemui. Guru mengajar tanpa persiapan mengajar, datang hanya memberi tugas dan tidak pernah dievaluasi. Guru datang tetapi tidak masuk kelas. Guru memukul muridnya. Guru melakukan asusila, judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya. Kualitas SDM guru menjadi tantangan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru.
Guru kadang kala berjalan di kegelapan. Berjalan tetapi sulit untuk menentukan benar salahnya jalan yang ditempuh. Guru mengajar tetapi tidak tahu kelemahan dan kekurangannya. Dari tahun ke tahun metode mengajar tidak berubah. Metode ceramah masih mendominasi. Padahal metode tersebut sudah mulai dikurangi. Guru saat ini lebih banyak menjadi fasilitator, menjembatasi kesulitan-kesulitan yang dialami para peserta didik. Guru mengajar dibantu dengan teknologi komputer dan LCD. Komputer dan LCD membuat kerja guru menjadi lebih ringan. Materi aliran-aliran seni rupa betapa sulitnya kalau guru menjelaskan tanpa ada gambar lukisan yang bisa diamati oleh peserta didik. Dengan teknologi gambar lukisan berbagai aliran bisa dilihat secara langsung. Gambar yang dilihat peserta didik dapat mewakili seribu kata dari seorang guru. Inilah pentingnya guru harus dapat menggunakan teknologi komputer dan LCD untuk membantu proses pembelajaran. Sehingga sarana prasarana sekolah harus mendukung guru yang ingin mengembangkan kompetensinya dalam teknologi.
Di lapangan sering terjadi jalan buntu. Para guru merasa dalam proses pembelajaran tidak mengalami masalah. Hal ini karena guru tidak pernah dimonetoring dan supervisi. Peran pihak-pihak yang berkewajiban atas hal itu mandul. Beberapa kepala sekolah dan pengawas tidak ada kemauan untuk melakukan hal itu dengan berbagai alasannya masing-masing, entah segan atau memang tidak mempunyai ilmu tentang hal tersebut. Seharusnya merekalah yang berkewajiban menyembuhkan sakit para guru yang kurang maksimal dalam proses pembelajaran.
Sarana dan prasaran sekolah seharusnya ideal bagi pengembangan potensi peserta didik. Sejumlah sekolah betapa sangat ‘miskinnya’ gedung dengan wajah muram, kelas-kelas tidak memberikan gairah belajar. Kursi dan meja mengalunkan musik. Papan tulis tak mampu berbicara karena sudah penuh dengan coret-coretan. Kelas, meja, kursi, papan tulis adalah kebutuhan dasar sarana prasarana di sekolah, kalau hal itu menjadi masalah maka bagaimana bisa membantu secara maksimal menyelesaikan masalah peningkatan SDM.
Berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat, seperti banyaknya korupsi dan KKN, serta maraknya tawuran dan kekerasan di berbagai lapisan masyarakat. Pergaulan bebas, free sex, minuman keras, narkoba menyusup ke lembaga pendidikan. Tukar menukar cerita sesama peserta didik yang ditambahi dengan kebohongan, omong-omong manis sangat mudahnya merayu anak-anak suci di lembaga pendidikan. Bukan berita burung ada beberapa anak rangking satu ternyata pencandu narkoba, ada beberapa pelajar putri yang lugu terbius menjadi pereks dan cerita-cerita yang mengerikan lainnya. Di mana para guru. Mungkin, sibuk dengan aturan sertifikasi. Di mana orang tua, sibuk dengan pekerjaannya. Miris. Hal tersebut menunjukkan ketidakberhasilan pendidikan menanamkan nilai-nilai luhur dan sikap terpuji di setiap jenjang pendidikan.
Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Peserta didik berada di lingkungan sekolah sekitar 7 atau 8 jam setiap hari. Waktu yang panjang, hampir sepertiga dari waktunya setiap hari berada dilingkungan ini. Sehingga kalau waktu yang panjang itu tidak dikelola dengan baik dengan lingkungan yang kondusif akan membuat pengaruh besar pada mereka.
View this post on Instagram
Pengaruh lingkungan sekolah tersebut harapannya adalah pengaruh yang positif. Sekolah sebagai tempat penyebar kebaikan dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, dan pembentuk karakter peserta didik menghadapi tantangan yang tidak gampang. Lingkungan sekolah sebagian besar tidak menarik bagi peserta didik. Sekolah tidak asik. Sekolah tempat yang membosankan. Sekolah kumuh, cat gedungnya kusam, kamar kecilnya jorok, tidak ada penghijauan, kurangnya tempat bermain. Hal-hal ini menjadikan peserta didik mampu meraih kebahagian dan kesenangan di sekolah. Sekolah menjadi penjara yang merenggut kebebasannya. Beberapa kasus ditemui mereka bolos dari sekolah pada jam pelajaran. Mereka menjadi pemberontak, tidak taat aturan.
Sekolah-sekolah di kota lebih besar lagi tantangannya. Tempat-tempat hiburan, pasar modern, warung seberang sekolah, atau rumah kosong karena kedua orang tuanya sibuk kerja di luar menjadi tempat-tempat yang asik untuk melarikan diri dari sekolah. Mengapa mereka lari dari sekolah. Motivasi belajar yang lemah. Guru yang tidak komunikatif, guru menjelaskan tidak menarik, terlalu cepat, sulit difahami.
Idealnya lingkungan sekolah jauh dari keramian. Di kota-kota besar hampir sekolah berada di tempat tersebut. Berangkat dan pulang sekolah sudah jenuh dengan kemacetan. Kebisingan alat transportasi menjadi pemandangan tiap hari. Menakutkan kalau lingkungan sekolah berada di sekitar tempat-tempat hiburan ketangkasan, billiard, panti pijat, tempat pelacuran, warung-warung kumuh yang menawarkan obat-obat terlarang. Inilah lingkungan yang menjadi bumbu penyedap peserta didik malas datang ke sekolah.
Berangkat sekolah sudah dimulai dengan masalah, apalagi belum sarapan, belum mengerjakan tugas sekolah, lupa minta uang sangu, guru di pintu gerbang tidak memberi senyuman. Belitan-belitan masalah membuat tidak menyenangkan untuk pergi ke sekolah.
Kondisi di atas yang berakibat masalah terhadap peserta didik harus diselesaikan secara integral di sekolah. Guru mata pelajaran kesulitan menyelesaikan masalah-masalah itu. Inilah peran guru bimbingan dan konseling mengambil alih. Alangkah indahnya kalau ada sistem kerja di sekolah yang maksimal kolaboratif antara guru kelas/guru mata pelajaran, wali kelas, guru bimbingan konseling, kepala sekolah, komite sekolah dan orang tua yang dapat meminimalisir permasalah peserta didik. Sayangnya sekolah-sekolah masih banyak yang tidak mempunyai guru bimbingan dan konseling apalagi yang profesional. Sering kali komunikasi sekolah dengan orang tua wali sangat minim dan hanya terbatas masalah-masalah kenakalan atau keuangan. Sedangkan progres pengembangan peserta didik tidak secara holistik. Laporan peserta didik yang berupa raport belum dapat menterjemahkan secara nyata perkembangannya.
Pendidikan di Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 membawa keadaan yang luar biasa bagi dunia pendidikan. Guru dituntut bisa melaksanakan dan memastikan tercapainya tujuan pendidikan akademik maupun non akademik, bisa bertanggung jawab terhadap keselamatan fisik dan psikis peserta didik, bisa sebagai penguat aktif kepada peserta didik, dan bisa membangun kepercayaan antara orang tua dan peserta didik dalam mendukung pendidikan.
Covid-19 dapat membuat pembelajaran di sekolah berhenti. Guru yang biasanya bertatap muka langsung dengan peserta didik, tidak diperkenankan lagi kecuali protokol kesehatan yang sangat ketat di terapkan. Hal ini membawa beberapa implikasi bagi dunia pendidikan guru dipaksa untuk bisa berinovasi, perubahan metode pembelajaran, menyeimbangkan antara old knowlage dengan mekanisme digital, memastikan semua peserta didik mendapatkan pengajaran secara merata, memastikan semua peserta didik dapat belajar dengan menggunakan media pembelajaran jarak jauh.
Pandemi Covid-19 ini, tidak pernah terlintas dalam benak semua orang. Sehingga wajar kalau semua gelagapan dengan situasi sekarang. Harus jaga jarak, pergerakan manusia dibatasi. Padahal kita makhluk sosial yang biasa bergaul, bersilaturrahmi, mendatangi undangan, belanja ke pasar, cangkruan, ngopi, jaga poskamling, bekerja dengan banyak orang dan lain-lain. Melanggar protokol kesehatan: tidak bisa menjaga jarak, tidak bermasker, tangan tidak sering dicuci memakai sabun dengan air mengalir menjadi masalah kesehatan yang bertaruh nyawa bagi kita.
Bagi guru yang terbiasa dengan dunia internet, mengajar dengan tidak tatap muka bukan kendala utama. Whatsaap, youtube, google classroom, zoom, google meet dan lain-lain bisa menjadi senjata menjagar jarak jauh. Materi bisa disampaikan. Bahkan diantara para guru banyak yang membuat konten youtube dalam pembelajaran yang normal jarang itu terjadi. Untuk mengapresiasi kegiatan guru membuat konten youtube Kemendiknas memberikan apresiasi dengan lomba membuat video pembelajaran. Apakah efektif efesien.
Bagaimana dengan guru yang tidak melek teknologi. Bermain internet hanya untuk whataap dan facebook. Bagaimana beliau menjalankan tugas pembelajaran jarak jauh. Apakah sekedar tugas dan harus dikumpulkan tanpa sentuhan penjelasan materi. Apakah dengan layar kecil handphone guru dapat mengoreksi pekerjaan peserta didik yang jumlahnya tidak sedikit. Apakah handphone mampu menyimpan tugas-tugas peserta didik yang telah di kerjakan dikirim ke gurunya.
Peserta didik sangat beraneka ragam ekonominya. Jangankan mempunyai handphone atau komputer di rumah, kadang kala masalah makan sebagai kebutuhan dasar masih banyak yang bermasalah. Kalau memang punya handphone biasanya yang mempunyai orang tua dan biasanya dibawa bekerja. Sehingga guru tidak dapat memaksakan kehendaknya harus dikumpulkan tugasnya pada waktu jam belajar. Perlu toleransi waktu akan pemahaman keadaan peserta didik.
Di era normal pendidikan karakter sangat sulit terserap maksimal kepada peserta didik, apalah daya masa pandemi. Guru hampir-hampir kesulitan membuat formula yang tepat mengajarkan pendidikan karakter ini. Bagaimana guru memberi keteladanan, membimbing, mengarahkan, mengevaluasi. Jawaban kasarnya dan yang paling gampang adalah diserahkan kepada orang tua di rumah saja yang mendidikan karakter peserta didik. Apakah begitu. Tentu banyak kalimat sanggahan yang bisa jadi bahan diskusi. Permasalah: orang tua bekerja hampir tidak ada waktu dirumah. Orang tua bercerai. Kedua orang tua sering ribut. Bagaimana menggajarkan sopan santun, kedisiplinan, kerja sama, gotong royong. Kedua orang tua tidak taat beribadah: bagaimana memberi keteladan beribadah dan keimanan. Betapa runyamnya pendidikan karakter ini. Guru tidak bisa maksimal memberi keteladanan, orang tua dengan berbagai kendala juga menmggalami hal yang serupa. Semoga tidak terjadi. Maka harus dibangun kepercayaan guru dengan orang tua memastikan nilai-nilai karakter bisa diteladankan kepada peserta didik.
Tuntutan peran kompetensi, guru memerlukan pengetahuan baru dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya dan menurut Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai hal ini. Pertama, pembelajaran untuk mengidentifikasi masalah emosional siswa dan campur tangan mengurangi masalah. Kedua, asessment untuk mengevaluasi perkembangan kemampuan siswa dan membangun self-assesment skill siswa. Ketiga, kepemimpinan untuk pembaharuan yaitu dengan terlibat secara efektif dengan semua pihak untuk memimpin pembelajaran secara kolektif.
Disaat pandemi ini, pengajaran dengan daring. Disisi lain yang patut disyukuri adalah sudah tersedia tehnologi internet dengan berbagai macam aplikasinya sehingga pembelajaran itu dapat berjalan. Bisa dibayangkan kalau internet tidak ada. Pembelajaran langsung tiarap tidak bergerak. Satu atau dua semester tanpa pembelajaran, terjadi loss pembelajaran kepada peserta didik.
Sepahit apapun pembelajaran di masa pandemi Covid-19, pembelajaran masih bisa berjalan walaupun di sana-sini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan bantuan teknologi pembelajaran masih bisa diatasi dengan bergabai koreksi dan evaluasi. Titik terangnya adalah secanggih apapun teknologi ternyata tidak dapat meninggalkan peran guru dalam pembelaran, baik daring maupun luring. Apakah itu belajar jarak jauh apalagi pembelajaran langsung dengan tatap muka. Guru tetap diperlukan dalam situasi apapun.
Fenomena di atas tidak akan pernah berhenti, mengelundung seperti bola salju, sangat cepat, menerjang siapa saja tanpa pandang bulu. Dalam rangka itu, merancang dan melaksanakan strategi pendidikan yang sekiranya mampu memberikan kontribusi dalam mengatasi fenomena kebuntuan tersebut menjadi mendesak. Pendidikan, budaya dan humaniora dalam keseluruhannya adalah hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan harus berkembang sinergis untuk mengangkat harkat martabat menjadi insan kamil, manusia warga negara Indonesia dan lepas dari pandemi Covid-19.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co