Opini
Mulud, Maulid dan Prophetic Parenting
Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Rabi`ul Awwal merupakan bulan ketiga di kalender hijriyah yang sangat identik dengan kelahiran nabi Muhammad saw., meskipun Rasulullah juga wafat pada bulan ini dengan hari dan tanggal yang sama sesuai catatan sejarah yang kita pelajari di bangku sekolah.
Hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah yang ditemani Abu bakar ash-Shiddiq juga dilakukan pada bulan ini, yang sekaligus menjadi tonggak perkembangan dakwah dan perluasan wilayah Islam. Satu peristiwa lagi yang sangat fenomenal yang dialami nabi Muhammad dan terjadi pada bulan ini adalah Isra` Mi`raj sesuai dengan penelusuran riwayat hadits yang dilakukan oleh Dr. Akram Dliya` al-`Umary dan dinyatakan di dalam kitabnya yang berjudul as-Sirah al-Nabawiyyah as-Shohihah.
Orang Jawa lebih mengenal bulan Rabi`ul Awwal dengan nama Mulud (ulan mulud) yang diambil dari bahasa arab maulûd artinya yang terlahir (atau yang dilahirkan), merujuk kepada Nabi Muhammad yang dilahirkan pada bulan ini. Mulud juga bisa diambil dari kata maulid yang berarti waktu kelahiran nabi Muhammad.
Kata Rabi`ul Awwal sendiri dalam penggunaan keseharian biasa diartikan dengan (awal) musim semi, satu musim yang sangat identik dengan kecerahan sehingga memunculkan harapan baru bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Kontekstualisasi lahirnya Muhammad pada bulan Rabi`ul Awwal ini memberi makna bahwa kelahiran nabi Muhammad memang menjadi babak baru bagi kehidupan manusia baik pada tataran teologis dengan konsep tauhidnya; lâ ilâha illâ Allâhu yang mengusung semangat liberasi; membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan sesama manusia, maupun pada tataran sosio-antropologis dengan konsep kesetaraan derajat manusia tanpa membedakan suku, bangsa dan warna kulit.
Terlahir dalam keadaan yatim karena bapaknya meninggal semenjak Muhammad masih di dalam kandungan, tidak menjadikan Muhammad terlantar dan kehilangan kasih sayang, karena Muhammad tetap mendapatkan pendidikan karakter dan kepribadian dasar yang diupayakan oleh ibunya. Tidak pernah menyalahkan lingkungan dan keadaan merupakan salah satu pembelajaran penting dari perjalanan hidup nabi Muhammad saw ketika dalam proses pertumbuhan dan pengembangan potensi pribadinya.
Berstatus single parent sampai Muhammad berusia 6 tahun, Ibunda Aminah berperan penting dalam membentuk kepribadian dan karakter Muhammad pada masa-masa penting pertumbuhannya. Ketika Makkah menjadi kota metropolitan pada masanya dan semua bentuk kejahatan selalu terjadi di sekitar kota suci dan pusat peribadatan mereka, Aminah mengambil langkah penting dengan memondokkan Muhammad di Bani Sa`ad untuk diasuh dan disusui oleh Halimatus Sa`diyah setelah sebelumnya sempat mendapatkan susu dari Tsuwaibah. Inilah tradisi baik bangsa Quraisy dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai kebaikan universal pada diri anak keturunannya;
Muhammad tetap disusui oleh wanita berkualitas dan dengan lingkungan yang ramah anak, layak untuk penguatan karakter dan pengembangan kepribadiannya. Kita ketahui bahwa bani Sa`ad terkenal dengan wanita-wanita berkualitas yang memiliki dedikasi dan integritas tinggi dalam memberikan jasa pelayanan persusuan bagi putra-putri terbaik suku Quraisy. Bani Sa`ad juga dikenal dengan lingkungan perkampungan yang bersih dan belum terkontaminasi dengan budaya perkotaan yang hedonis.
Dari pendidikan dasar yang benar inilah muncul karakter utama dan sifat adi luhung pada diri Muhammad, yaitu ash-shidqu; kejujuran. Pangkal dari segala kebaikan dan kebajikan adalah kejujuran (ash-shidqu); dari karakter jujur ini akan berkembang sifat dan karakter positif lainnya seperti amanah, tabligh dan istiqamah. Oleh karena itu dalam sebuah kesempatan rasulullah pernah berpesan kepada para sahabatnya dan kepada kita semua agar senantiasa mengembangkan sifat jujur ini.
Ungkapan nabi tersebut kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki makna seperti ini:
“kembangkanlah sifat jujur pada dirimu, karena kejujuranmu akan membimbingmu untuk menggapai segala kebajikan (al-birru), yang pada akhirnya kebajikan yang kamu peroleh karena kejujuran itu akan membawamu masuk ke surga Allah. Apabila seseorang senantiasa mengembangkan karakter jujur dalam kehidupannya, maka Allah akan selalu menjaga kualitas kejujurannya dan menulisnya dalam catatan ilahiyyah sebagai orang-orang yang jujur”.
Pendidikan anak terutama dalam masa pertumbuhan adalah tanggung jawab semua keluarga secara kolektif dan bukan hanya tanggung jawab dan kewajiban orang tua kandung saja. Prinsip tanggung jawab pendidikan keluarga semacam inilah yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat arab sebelum datangnya Islam.
Dikenal sebagai masyarakat jahiliyah karena beberapa perilaku keberagamaan yang menyimpang, tetapi urusan generasi penerus dinasti keluarga menjadi tanggung jawab semua. Ketika bangsa Quraisy memahami bahwa tanggung jawab pendidikan anggota keluarga adalah tanggung jawab kolektif, maka setelah Aminah ibu kandungnya meninggal, anggota keluarga silih berganti mendedikasikan dirinya untuk berperan menjadi orang tua; sempat diasuh oleh keluarganya yang bernama Fathimah, kemudian selanjutnya tanggung jawab kepengasuhan dipegang oleh kakeknya Abdul Muthallib dan terakhir pamannya yang bernama Abu Thalib.
Semua berkontribusi dengan peran karakter yang unik sesuai dengan masa pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Memang semua proses kehidupan nabi tidak terlepas dari ketentuan (taqdir) Allah yang meproyeksikan kehidupan Muhammad sebagai role model bagi kehidupan semua manusia. Keteladanan nabi Muhammad tidak terbatas pada masa kenabian saja, tetapi proses kehidupan Muhammad sejak dilahirkan sampai wafat adalah uswah hasanah yang setiap detailnya harus menjadi inspirasi bagi kehidupan manusia pada secara umum, terlebih bagi kehidupan umat Islam.
Fase Pendidikan dan konsep pembelajaran dalam proses pertumbuhan nabi Muhammad sangat jelas. Umur 0 tahun sampai dengan umur 6 tahun ketika ibunda Aminah masih hidup adalah fase pembentukan karakter dan kepribadian, maka tugas penting orang tua adalah memastikan orang-orang yang membersamainya adalah orang yang berkualitas secara moral spirituasl dan memastikan lingkungannya ramah anak dan layak bagi pertumbuhan kepribadiannya. Fase inilah yang digunakan oleh Luqman dalam menanamkan kayakinan yang benar dan nilai-nilai kebenaran universal yang lain kepada anaknya; Fase ini pula digunakan oleh Ibrahim untuk memilihkan lingkungan yang baik bagi Ismail dan Hajar ketika hendak ditinggal dalam melaksanakan misi kenabiannya dengan pesan tidak syirik dan selalu mengakkan shalat.
Bersama kakeknya yang bernama Abdul Muthallib, nabi menjalani fase pendidikan dan pembelajaran kedua ketika diajak ikut serta berdagang ke negeri Syam. Di sinilah fase dimana Muhammad dikenalkan dengan dunia luar dan dalam prosesnya pasti berinteraksi dengan orang lain yang memiliki karakter yang sangat beragam. Fase bersosialisasi dengan dunia luar ini menjadi modal penting ketika mengemban tugas profetiknya karena pada saatnya harus menyampaikan dakwah kepada semua manusia yang memiliki karakter beragam. Di sinilah kesabaran seseorang sedang diuji dan ketangguhan pribadinya dipertaruhkan, tetapi ketika fase pertama berhasil membentuk karakter dan kepribadian seorang anak dengan baik, maka jahatnya lingkungan tidak akan mampu mengoyak ketangguhan pribadinya.
Berkaitan dengan ini ada sebuah ungkapan nabi yang memiliki makna bahwa seorang mukmin yang bersosialisasi dengan lingkungannya tetapi tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan tersebut, memiliki kualitas iman yang lebih baik dari seorang mukmin yang tidak pernah bersosialisasi lingkungan tetapi selalu menyalahkan lingkungan tersebut.
Dalam konteks kekinian, lingkungan anak kita ada digenggaman tangannya tetapi semakin tak terbatas dan tidak terkontrol, di sinilah diketahui betapa pentingnya peranan fase pertama ketika anak-anak membutuhkan perhatian ekstra agar tetap berkembang dengan nuansa spiritualitas lingkungan dan keteladanan dari orang-orang yang membersamainya.
Abu Thalib memiliki peran berbeda di dalam kehidupan nabi Muhammad, meskipun Abu Thalib tidak bersedia meninggalkan kepercayaan leluhurnya tetapi Abu Thalib sebagai pemuka Quraisy yang diseganai mempertaruhkan nama besarnya dalam rangka mensupport dan memback up semua kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad meskipun dakwah ini berlawanan dengan keyakinan yang dipegangnya sampai mati.
Meskipun demikian wafatnya Abu Thalib merupakan kehilangan terbesar bagi proses dakwah islam pada periode awal dakwah makkiyyah. Maka tahun wafat Abu Thalib yang juga beriringan dengan wafatnya Khadijah disebut sebagai tahun kesedihan yang mendalam (`aam al-huzni) bagi nabi Muhammad saw.
Beginilah seharusnya pendidikan di dalam keluarga diterapkan dengan mengusung prinsip tanggung jawab kolektif. Q.S. an-Nisa ayat 9 secara tersirat juga menyatakan yang demikian, dengan memilih kata dzurriyatan dli`afan (keturunan yang lemah) sebagai kata ganti untuk menyatakan anak (abna` atau awlaad) ini memiliki pesan bahwa semua anggota keluarga dan sanak kerabat terdekat harus memiliki kekhawatiran yang sama ketika anak itu menjadi lemah spiritualitasnya dan rapuh kepribadiannya karena pendidikan karakter pada fase-fase krusial terbaikan oleh kuatnya prinsip nafsi nafsi dan pertimbangan materi. Dan anak itu secara tidak langsung adalah keturunan kita sendiri (dzurriyyatunaa).
Kita mungkin sering berfikir untuk bisa menguasai harta yang ditinggalkan oleh bapaknya, tetapi enggan untuk memperhatikan masa depan anak yang ditinggalkannya. Mari kita renungkan terjemahan surat al-Fajr ayat 17 – 20 berikut ini:
“sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan yang halal dan yang batil, dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co