Samarinda
FABA Dicabut dari Daftar Limbah B3, Aktivis Sebut Negara Berniat Lakukan Kejahatan Lingkungan dan Untungkan Korporasi
Kaltimtoday.co, Samarinda - Belum lama ini, pemerintah memutuskan untuk menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Diketahui, FABA merupakan limbah padat yang biasanya ditemukan dari hasil pembakaran batu bara di boiler, PLTU, hingga tungku industri untuk bahan baku konstruksi.
Publik cukup dihebohkan dengan keputusan ini, terutama dari kalangan aktivis lingkungan. Penghapusan FABA dari daftar limbah B3 dapat dilihat di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan ini ada kaitannya dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang banyak menimbulkan kontra selama 1 tahun ke belakang. Koalisi Bersihkan Indonesia menggelar konferensi pers secara daring pada Jumat (12/3/2021). Salah satu narasumber, yakni Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional menyampaikan, FABA hanya 1 dari banyaknya debu dan abu batu bara.
Mulai pembongkaran batu bara saja sudah menghasilkan polusi udara. Kemudian, pengangkutan dan transportasi hingga pembakaran di PLTU pun demikian.
"Abu yang sisanya bisa ditangkap disebut FABA. Sisanya sudah menyebar kemana-mana. Bahkan sudah terhirup oleh warga sekitar, dan membunuh banyak orang," beber Merah kepada awak media.
Merah turut memberikan contoh kejadian di Desa Santan Tengah dan Hilir, Kutai Kartanegara (Kukar). Pada 2017, sekelompok mahasiswa dan warga melaporkan adanya tumpukan FABA yang ditumbuhi rumput akibat diletakkan begitu saja oleh sebuah perusahaan di dekat fasilitas PLTU. Ditambah lagi tidak ada pengolahan atau tempat penampungan.
View this post on Instagram
"FABA itu tidak hanya berdampak ke manusia, tapi biota juga terganggu. Banyak ikan yang mati. FABA turut masuk ke rumah-rumah warga. Kalau musim panas, debu batu bara dari FABA ini semakin hebat," lanjut Merah.
Akibat kejadian tersebut, banyak warga yang mengeluhkan penyakit pernapasan. Aturan yang dikeluarkan pemerintah dianggap mengkhawatirkan. Saat FABA masih ditetapkan sebagai limbah B3 saja pengelolaannya tidak tepat, apalagi jika FABA tak lagi masuk sebagai daftar limbah B3.
"Di Panau, Palu sempat ada sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena FABA. Tapi kita tidak bisa percaya sama sekali pada KLHK. Sanksi plangnya saja roboh. Negara dianggap tak punya kekuatan untuk mengatur pengelolaan limbah dengan baik," tegas Merah sembari memperlihatkan slide disertai foto plang sanksi yang roboh.
Sedangkan Koordinator Bidang Politik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Khalisah Khalid menyebut perlindungan terhadap lingkungan hidup mestinya menjadi hal utama. Namun, Omnibus Law UU Cipta Kerja hadir sebagai bencana. Terbukti dengan fakta bahwa FABA dihilangkan dari daftar limbah B3.
"Ketika FABA dikategorikan sebagai limbah B3, itu bukan karena sifat atau konsentrasinya saja, tapi juga dari jumlah timbunan yang dihasilkan," ungkap Khalisah.
Berdasarkan data dari KLHK, FABA merupakan limbah B3 yang paling banyak dihasilkan. Jika terakumulasi terus-menerus, maka berpotensi menimbulkan dampak negatif. Atas alasan itulah, WALHI dan aktivis lingkungan lain terus mendesak dan mendorong agar FABA tetap masuk sebagai limbah B3.
"Dalam konteks pengaturan yang sangat longgar terhadap limbah B3, terutama FABA itu menunjukkan bahwa negara telah secara sistematis berniat untuk melakukan kejahatan lingkungan dan menguntungkan korporasi," beber Khalisah.
Selain itu, negara juga terlibat untuk pemusnahan ekosistem. Bahkan Khalisah menyebut, negara tengah melakukan pembunuhan terencana terhadap generasi saat ini dan masa depan.
Ditegaskan oleh perempuan berkacamata itu bahwa dengan mencabut FABA dari limbah B3, presiden telah melakukan tindakan yang inkonstitusional. Sebab secara jelas, konstitusi Indonesia menjelaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah hak seluruh warga negara.
[YMD | RWT]