Kaltim

Jual Lahan Ibu Kota Baru, Pengamat: Pemerintah Seperti Broker

Kaltim Today
07 September 2019 21:10
Jual Lahan Ibu Kota Baru, Pengamat: Pemerintah Seperti Broker
Maket ibu kota baru di Kaltim. (Kementerian PUPR)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Rencana pemerintah menjual lahan di sekitar ibu kota negara seluas 30.000 hektar untuk pihak swasta mengundang beragam tanggapan. Sebagian pihak diketahui mendukung usulan pemerintah pusat ini. Tapi sebagian lainnya, justru tidak sependapat. Menurut para pengamat hal ini melihatkan ketidaksiapan pemerintah. Terutama dari sisi pembiayaan.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Lutfi Wahyudi mengatakan, rencana penjualan tanah mengkonfirmasi seolah pemerintah tak siap dari sisi pembiayaan dan seakan jadi "broker" tanah. Apalagi lahan ibu kota adalah aset negara.

"Pemerintah seolah menjadi broker tanah," ungkap Lutfi Wahyudi saat dikonfirmasi.

Rencana penjualan tanah itu disampaikan Jokowi dalam skema pembiayaan ibu kota negara yang dipindahkan ke sebagian wilayah Kutai Kartanegara dan PPU di Kalimantan Timur. Penjualan lahan seluas 30.000 hektare itu nantinya akan di fokuskan ke individu. Bukan ke korporasi. Namun lebih kepada kaum milenial. Dengan catatan, pembelian tanah itu harus disertakan pembangunan minimal dua tahun setelah membeli. Jika lewat batas dua tahun negara mengambilalih tanah melalui badan otoritas sebagai pemegang otoritas di ibu kota baru.

Berkisar Rp 2 juta per meter, hal tersebut dapat menjadi penopang dana pembiayaan pembangunan ibu kota yang baru, dengan total mencapai Rp 600 triliun jika 30.000 hektare lahan berhasil terjual.

Daya beli masyarakat bawah justru menjadi kekhawatiran bagi Lutfi. Takutnya, pembeli malah berdatangan dari masyarakat kelas atas. Untuk pembangunan juga, dikhawatirkan jika pemerintah akan menggunakan dana investasi yang dalam jangka waktu tertentu. Jika terjadi demikian dampaknya yang dirugikan ekonomi Indonesia dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

"Apakah benar pemerintah memindahkan ibu kota itu sudah diperhitungkan dananya dan sanggup menyediakan dana yang diperlukan untuk proses pemindahan dan pembangunannya," katanya.

Dari situ, kata Lutfi, perlu kejujuran pemerintahan tentang bagaimana proses pemindahan ibu kota itu berlangsung. Baik dari sisi pendanaan. Maupun dari sisi kebijakan yang mendukung proses pemindahan ibu kota itu sendiri.

Untuk diketahui, dari hasil kajian Bappenas pembiayaan ibu kota negara dibagi dalam empat skema.

Yang pertama menggunakan dana APBN untuk pembangunan infrastruktur pelayanan dasar, pembangunan Istana negara, bangunan strategis TNI/POLRI, perumahan dinas ASN dan TNI/POLRI, pengadaan lahan, dan ruang terbuka hijau.

Kemudian untuk peningkatan bandara dan pelabuhan bersumber BUMN. Lalu, pembangunan gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Pembangunan infrastruktur utama (selain yang telah tercakup dalam APBN), sarana pendidikan, sarana kesehatan, museum, lembaga pemasyarakatan, sarana dan prasarana penunjang dengan skema KPBU.

Dan swasta untuk pembangunan perumahan umum, Pembangunan perguruan tinggi, sarana kesehatan, MICE, dan science-technopark, shopping mall.

Sementara untuk skenario dibagi dua. Skenario pertama, membutuhkan total dana Rp 466 Triliun

(USD 32,9 Billion) dan skenario kedua Rp 323 triliun (USD 22,8 Billion).

[JRO | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya