Samarinda

Korban Bom Oikumene Bangkit dari Trauma, Aktif Mengisi Kegiatan di Gereja

Kaltim Today
26 Desember 2019 21:09
Korban Bom Oikumene Bangkit dari Trauma, Aktif Mengisi Kegiatan di Gereja
Meski sempat dirundung rasa cemas dan trauma akibat aksi teror bom molotov, namun perlahan tapi pasti jemaat Gereja Oikumene bangkit dari hal tersebut dan melaksanakan perayaan Natal dengan khidmat.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Masih ingat dengan kejadian aksi teror yang terjadi di Gereja Oikumene, Sengkotek, Loa Janan Ilir? Aksi teror tersebut terjadi pada 13 November 2016 lalu.

Saat itu, telah terjadi ledakan bom molotov. Pilu rasanya, karena pada peristiwa itu yang menjadi korbannya adalah empat orang anak di bawah umur, mereka adalah Intan Olivia (2,5), Triniti Hutahayan (4), Alfaro Sinaga (5) dan Anita (4).

Dari keempatnya, korban bernama Intan yang paling belia harus menghembuskan napas terakhirnya pada 14 November 2016 di RSUD AW Syaranie, Samarinda, sekitar pukul 04.30 Wita. Sedangkan ketiga anak lainnya mengalami luka bakar yang cukup parah.

Meski demikian, waktu telah berlalu. Perlahan luka mulai terobati. Aktivitas mulai dilakoni. Seperti anak lain pada umumnya. Saat dihubungi media ini, Marsyana Tiur Novita yang tak lain merupakan ibu dari Alfaro Aurelius Tristan menuturkan, jika kondisi putranya terus membaik dari tahun ketahun.

Kata Marsyana, Alfaro kini kembali aktif mengikuti kegiatan minggu di gereja. Mulai dari menyumbangkan suaranya untuk melantunkan lagu kerohanian. Alfaro juga kerap bermain alat musik drum.

"Kalau nyanyi dia (Alfaro) memang suka. Terkadang juga suka main drum," tutur Marsyana.

Ibarat pepatah, kasih ibu sepanjang masa, sepertinya sangat melekat pada Marsyana. Tak kenal lelah baginya untuk mengobati sang buah hati. Baik secara fisik maupun psikis.

Waktu silih berganti, Alfaro yang kini telah berusia tujuh tahun dan telah duduk di bangku sekolah dasar (SD) terus menunjukkan perubahan signifikan.

Selain itu, Marsyana jua tak henti untuk selalu berdoa agar kejadian teror seperti 2016 silam tak terjadi lagi kepada umat maupun masyarakat lain.

"Dulu itu pernah, waktu masih baru-baru keluar dari rumah sakit, dia (Alfaro) pernah berteriak hingga menangis saat mendengar suara penggorengan ketika saya lagi masak di dapur, ya maklum masih trauma waktu itu," ulasnya bercerita.

Namun rasa trauma tak lama setelah kejadian teror pertama di Samarinda itu, tak hanya dialami oleh Alfaro saja. Pasalnya Marsayan juga mengalami hal serupa. Meski dia tak pernah menunjukkannya di depan sang buah hati.

Rasa cemas, ungkap Marsyana, selalu menyelimuti, terutama kendaraan bermotor dengan suara nyaring tiba-tiba melintas. Hal tersebut selalu membuatnya terkejut.

"Pasti ada (cemas) apalagi anak-anak yang menjadi korban," imbuhnya.

Walau tak memiliki jumlah jemaat yang terbilang banyak, gereja berwarna putih yang didirikan sejak Maret 1981 lampau ini sehari sebelum perayaan natal tahun ini terus mendapat pengawas dari aparat kepolisian.

Bahkan, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Arif Budiman juga sempat terpantau melakukan kunjungan langsung pada gereja ini.

"Walau ada petugas yang berjaga, tapi jujur rasa cemas masih ada," ungkap Marsyana lebih jauh.

Meski peristiwa memilukan tersebut telah berlalu dan masih membekas hingga menimbulkan rasa cemas, namun diungkapkan oleh seorang Pendeta bernama Freaddy Saputra, jika rasa trauma sudah mulai jauh berkurang.

"Puji tuhan, perlahan tapi pasti, rasa trauma mulai terkikis. Salah satunya juga berkat dukungan moril dari masyarakat dan jemaat lainnya," ungkap Freddy.

Freddy juga menitipkan pesan agar jemaat Gereja Oikumene maupun gereja lainnya tidak perlu takut lagi dan tetap optimis menghadapi situasi. Perbedaan dan keberagaman membuat semakin menyatu sebagai sesama anak bangsa.

"Berbeda suku, bangsa, ras dan keyakinan tidak boleh menghambat persahabatan," pungkasnya.

[JRO | RWT]


Related Posts


Berita Lainnya