Opini

Menjaga Wajah Kota: Peran Landmark Alam dalam Identitas dan Mitigasi Konservasi Lingkungan  

Kaltim Today
03 Juni 2025 13:30
Menjaga Wajah Kota: Peran Landmark Alam dalam Identitas dan Mitigasi Konservasi Lingkungan   

Oleh: Fajar Alam (Kaprodi Teknik Geologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur)

Kevin Lynch (1960) dalam bukunya The Image of the City, mendefinisikan landmark sebagai objek fisik mencolok yang digunakan orang sebagai penanda visual atau titik referensi dalam lingkungan kota atau lanskap.  

Kalimantan Timur maupun Kalimantan Utara adalah kawasan yang berada di pesisir timur Kalimantan, menghadap Selat Makassar. Tujuh dari sepuluh kabupaten/kota Kalimantan Timur terhubung langsung ke laut. Demikian pula Kalimantan Utara: empat dari lima kabupaten/kotanya, terhubung langsung ke laut.

Pada sisi daratannya, budaya maritim berkembang dengan bentang luas gugus sungai, rawa dan danau. Di antaranya, terdapat gugusan bukit hingga gunung sebagai penanda lokasi yang didatangi. 

Pada wilayah Sungai Mahakam sisi hulu, perjalanan berkapal dari Tering (Kutai Barat) menuju Ujoh Bilang atau hingga Long Apari (Mahakam Ulu), penanda alam menjadi penting bagi navigasi perairan. Batu Dinding Long Melaham menjadi penanda bahwa tak lama lagi akan tiba di Ujoh Bilang. 

Endapan aliran di tengah sungai, membentuk fenomena gosong sungai yang disebut pulau. Dalam ilmu geologi, endapan di tengah sungai disebut "channel bar". Di Mahakam Ulu, pulau-pulau yang dilewati diberi nama, sebagai pandu jarak dan waktu terhadap kampung-kampung di sisi hulunya antara lain Liuq Butung, Liuq Kramat, Liuq Nagun, Liuq Sap, Liuq Alan, Batoq Putut, Liuq Kalang.

Beberapa wilayah administratif di Kalimantan Timur maupun Kalimantan Utara, menempatkan simbol landmark alam dalam lambang resmi wilayahnya. Ada Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara yang menggunakan simbol air sebagai perlambang wilayahnya dilewati sungai besar untuk perhubungan: Sungai Mahakam. Pada Kabupaten Tana Tidung, ada simbol gunung dan air. Gunungnya adalah Gunung Rian dengan ketinggian mencapai 700 meter (Google Map).

Samarinda dikenal dengan dengan gugusan perbukitan, sebagaimana halnya Balikpapan. Dan sama-sama menyebutnya sebagai gunung. Yang populer antara lain Gunung Selili, Gunung Batu Putih, Gunung Tangga, Gunung Jabung. Di Balikpapan, terdapat Gunung Guntur, Gunung Samarinda, Gunung Bahagia, Gunung Sari Ilir & Ulu, Gunung Dubs dan lainnya.

Hal yang memprihatinkan, banyak bukit di wilayah Kota Samarinda dipapras, baik untuk pertambangan batubara, galian batugamping/batupasir, perumahan hingga alasan bangunan untuk kepentingan umum. Padahal sekedar bangunan kantor swasta. 

Landmark Samarinda berubah cepat di sebelah barat, ketika alat berat digunakan untuk menambang batu gamping di Gunung Dubs Batu Putih. Puncak tertingginya yang jadi rujukan pemanjat tebing era 1990-an, kini tinggal kenangan. Ribuan meter kubik batuan dengan kemampuan serap air yang baik, hilang.

Begitupun sebagian bukit-bukit di utara Kota Samarinda. Kawasan resapan air susut karena ditambang oleh penambang, berbekal surat izin yang ditandatangani wali kota di masanya. Tempat yang tidak pernah banjir seumur hidup, menjadi tempat air parkir beberapa waktu ketika hujan deras melanda.  

Ketika ketinggian bukit menurun akibat penggalian, fungsi alami sebagai pelindung kawasan terhadap angin kencang ikut hilang. Dalam kondisi topografi utuh, bukit berperan sebagai bidang pembatas yang menyerap dan membelokkan aliran angin. Perendahan bukit menghilangkan hambatan ini, menyebabkan aliran angin menjadi lebih cepat dan langsung menjangkau area permukiman atau vegetasi yang sebelumnya terlindung (Stull, 1988).

Dengan meningkatnya kecepatan angin, permukaan tanah yang terbuka akibat aktivitas penggalian akan lebih rentan terhadap deflasi dan erosi angin. Ini berisiko menurunkan kualitas tanah dan mencemari udara sekitar (Pimentel, D., Harvey, C., Resosudarmo, P., et al., 1995).

Masyarakat di sekitar kawasan penggalian mengalami penurunan kenyamanan termal karena paparan angin langsung, peningkatan debu, dan perubahan suhu siang-malam. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu keluhan terkait kesehatan atau konflik lingkungan (Oke, T. R., 1987, p. 158)

Landmark alam bukan sekadar bagian dari lanskap visual kota; ia adalah penanda identitas, warisan ekologis, dan instrumen mitigasi lingkungan yang terbukti fungsional secara ilmiah. Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, bentang alam seperti bukit, sungai, dan pulau-pulau endapan telah lama menjadi pandu, pelindung, dan simbol kehidupan masyarakat lokal. Namun, ketika eksploitasi terhadap bukit dan kawasan alami dilakukan tanpa visi konservasi yang kuat, maka bukan hanya bentuk fisik kota yang berubah, melainkan juga kestabilan ekologis dan kualitas hidup penghuninya.  

Melalui pendekatan perencanaan kota yang berbasis ekologi dan kesadaran akan pentingnya landmark alam, kita tidak hanya menjaga wajah kota dari kehancuran visual, tetapi juga merawat sistem alami yang menopang kehidupan sehari-hari. Menjaga bukit berarti menjaga arah angin, keseimbangan air, kualitas tanah, hingga memori kolektif warga kota.

Kini, saatnya kota seperti Samarinda dan Balikpapan merefleksikan kembali arah pembangunannya. Apakah kita sedang membangun kota yang berkarakter dan berkelanjutan, atau justru kehilangan wajahnya sedikit demi sedikit karena abai pada lanskap yang membentuk jati dirinya?(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya