Opini

Rezim Empire dan Masyarakat Multitude dalam Kasus Pulau Rempang

Kaltim Today
11 Juli 2024 09:10
Rezim Empire dan Masyarakat Multitude dalam Kasus Pulau Rempang

Oleh: Hafiz Naufal Anshoor (Mahasiswa Magister Sastra Universitas Gadjah Mada) 

Kontestasi politik pasca pemilu presiden beberapa bulan lalu menghasilkan reduksivitas ketegangan pada setiap lapisan tatanan sosial. Masyarakat mulai berdamai dengan hasil pemilu yang sudah dipastikan bahwa pasangan Prabowo-Gibran menang telak sebagai presiden dan wakil presiden selanjutnya. 

Wacana kemenangan ini menjadi narasi besar atau kalau meminjam istilah dari Lyotard disebut sebagai grand narration. Hal ini mengakibatkan narasi atau wacana lainnya di saat bersamaan menjadi terpinggirkan, akibat adanya produksi dan reproduksi grand narration tersebut oleh media bahkan pada masyarakat itu sendiri yang membagi kubu-kubu mereka pada skala mikro (pro, kontra, dan netral) dengan mengkonstruksi ruang-ruang perdebatan yang tidak berujung terhadap hasil mutlak pemilu tersebut. 

Salah satu wacana atau narasi yang terpinggirkan oleh grand narration adalah kasus Pulau Rempang yang sempat kembali muncul ke permukaan pada tahun 2023 silam dikarenakan terjadi kericuhan antara masyarakat dan aparat negara tentang penolakan relokasi.

Sebelum menjelajah lebih jauh terkait kasus Pulau Rempang, akan lebih etis meninjau kembali asal muasal permasalahan sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat lokal dan perusahaan PT. Makmur Elok Graha. 

Dilansir dari Kompas yang ditulis oleh Muhammad Idris, konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha. Masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin kompleks. Di sisi lain, masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan (13/09/2023). Melalui pernyataan di atas, terlihat permasalahan yang paling signifikan adalah kontestasi kepemilikan lahan. Hingga saat ini, masyarakat lokal belum mendapatkan kejelasan tentang solusi yang harus dilakukan atas kepemilikan lahan secara sah karena mereka hanya diperintah untuk pindah dari lahan yang mereka tempati puluhan tahun tanpa mengetahui kepastian terkait relokasi yang akan dibangun untuk tempat tinggal masyarakat setempat kedepannya.

Tidak hanya kontestasi antara masyarakat dan perusahaan swasta tersebut, melainkan ada intervensi dari pemerintah pusat dan Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk membantu memastikan program ini tetap dilaksanakan. Melalui tim reporter dari website TV One News, PT. Makmur Elok Graha sendiri bekerja sama dengan pemerintah pusat, BP Batam, dan investor asing, seperti Xinyi Group dari China yang akan membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia di kawasan tersebut dengan nilai investasi yang sangat fantastis, mencapai Rp174 triliun (21/09/2023). Dengan kata lain, pemerintah memberikan legalitas sekaligus impunitas hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun pabrik kaca terbesar di daerah Rempang melalui program Rempang Eco City. 

Dari pernyataan ini juga terindikasi bahwa bukan hanya sekedar persoalan hak kepemilikan tanah yang menjadi titik utama dalam konteks permasalahan ini, namun wacana untuk meningkatkan pemasukan uang kas negara dengan jumlah fantastis dengan cara mengorbankan tempat tinggal warga negaranya yang mengakibatkan perlawanan secara radikal terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan warga setempat dan tidak sebanding dengan kerugian yang mereka dapatkan ketika mereka dipindah secara ‘paksa’ oleh regulasi pemerintah pusat.

Melalui perspektif Michel Foucault seorang filsuf dari Perancis, warga negara hanyalah kumpulan angka yang diakumulasikan tanpa subjektivitas dalam diri mereka selayaknya tidak dapat membela diri mereka sendiri atas kekuasaan kedaulatan negara yang memiliki kapasitas untuk melakukan biopolitik secara menyeluruh pada setiap warganya. Kewarganegaraan pada era kontemporer ini, berada pada posisi sebagai objek komoditas. Subjektivitas ditukar dengan uang, kekayaan, dan kekuasaan oleh rezim atau subjek yang memiliki posisi secara simbolik lebih tinggi dari masyarakat lainnya. 

Dilihat dari kacamata filsuf Amerika dan Italia yaitu Michael Hardt dan Antonio Negri dalam bukunya berjudul Empire, bahwasannya kekuasaan tertinggi (sovereignty) dalam negara merupakan suatu sistem atau rezim Empire (kekaisaran) yang digerakkan oleh subjek politik yang mengatur tatanan sosial secara menyeluruh hingga pada tahap pengelolaan kehidupan alamiah setiap warga negara. Pengelolaan ini juga bersifat pada totalisasi atas penguasaan global market dalam kenegaraan untuk menjadikan seluruh aspek politik berada pada tahap komoditas dengan menyisipkan produksi kapitalisme dan mengkonstruksi masyarakat multitude untuk menggerakan roda ekonomi dalam absolutisme Empire.

Masyarakat multitude menurut Hardt dan Negri adalah sekelompok individu yang memiliki nasib secara homogen yang memiliki tujuan tertentu yaitu melakukan aksi atau tindakan memperjuangkan hak dan kedaulatan bagi diri mereka sendiri seperti aksi demonstrasi di jalan raya dan di depan gedung instansi-instansi pemerintah agar hasrat dan keinginan mereka tercapai. 

Lebih lanjut, masyarakat multitude sendiri bukan hanya hadir untuk melawan negara, tetapi mereka bersama negara juga turut berpartisipasi dalam keterlibatan kebijakan kekuasaan berdaulat. Hardt dan Negri menyebutnya sebagai two-headed eagle atau elang berkepala dua. Maka dengan demikian, masyarakat multitude dijaga dan distabilkan oleh negara melalui aparatus dan birokrasi lainnya dengan tujuan tetap berada pada lapisan penggerak ekonomi karena sejatinya tanpa masyarakat, negara tidak dapat melakukan kontrolisasi secara penuh terhadap peningkatan keuangan negara.

Ketika totalisasi biopolitik dan pendisiplinan warga multitude itu gagal, maka negara pun juga ikut runtuh secara perlahan-lahan dalam pengelolaan tatanan sosial atau polis karena kekuatan masyarakat multitude dapat berada pada posisi destructive, yang dimana di saat bersamaan, mampu menggulingkan kekuasaan dan meruntuhkan kekayaan negara dalam waktu singkat. Dengan begitu, perlu adanya aksi memainkan wacana-wacana yang ada dengan tujuan mencegah chaotic condition pada tatanan sosial.

Jika dikontekstualisasikan dengan kasus Pulau Rempang, maka dapat dikatakan masyarakat lokal berada pada tahap objektifikasi komoditas untuk menggerakan perekonomian negara melalui program Rempang Eco City. Warga lokal juga dapat dikategorisasikan sebagai multitude dengan melakukan aksi demonstrasi pada aparatus secara radikal atas penolakan relokasi dan pembangunan pabrik dengan skala besar di daerah tempat tinggal mereka.

Dengan adanya investor asing, maka otomatis keuangan negara akan bertambah ketika pabrik kaca itu sudah hadir di Rempang. Namun, tidak hanya dapat dilihat dari negativitas yang ada, melainkan mampu ditelaah nilai-nilai positivitas yang memungkinkan terbukanya lapangan pekerjaan, variasi pekerjaan sesuai dengan permintaan zaman, serta peningkatan infrastruktur.

Hal yang harus disoroti lebih jauh adalah apakah target-target tersebut untuk masyarakat setempat atau malah mendatangkan pekerja asing dari negara lainnya yang ikut mengeksploitasi ranah pekerjaan masyarakat lokal? Lalu tindakan apa yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah terdekat untuk menanggulangi masalah kepemilikan lahan, relokasi, dan penolakan modernisasi pembangunan berkelanjutan? Tentu ini menjadi sebuah tugas suci (sacred duty) negara memastikan kesejahteraan warga negara khususnya masyarakat di Pulau Rempang supaya terhindar dari konflik internal yang berkepanjangan.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp



Berita Lainnya