Nasional

Rugikan Petani Sawit, APPKSI Minta Pungutan Ekspor CPO Harus Dicabut

Kaltim Today
04 Mei 2023 08:08
Rugikan Petani Sawit,  APPKSI Minta Pungutan Ekspor CPO Harus Dicabut
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono.

Kaltimtoday.co, Jakarta - Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 940 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) untuk periode 1-15 Mei 2023 berada di US$955,53/MT.

Harga tersebut diketahui menguat sebesar US$22,84/MT atau 2,45 persen dari harga referensi CPO periode 16 – 30 April 2023 lalu yang berada di US$932,69/MT.

Diungkapkan oleh Budi Santoso selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, bahwasanya harga referensi CPO saat ini meningkat menjauhi ambang batas US$680/MT.

“Saat ini, harga referensi CPO mengalami peningkatan yang menjauhi ambang batas sebesar US$680/MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini, pemerintah mengenakan Bea Keluar CPO sebesar US$124/MT dan Pungutan Ekspor CPO sebesar US$100/MT untuk periode 1-15 Mei 2023," kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono dalam keterangan tertulis, Rabu (3/5/2023). 

Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono mengatakan, sebenarnya dengan sudah dikenakannya Bea Keluar CPO yang cukup tinggi tidak perlu dilakukan pungutan ekspor CPO, karena PE CPO ini akhirnya oleh perusahaan pemilik PKS dan para trader CPO dibebankan pada harga TBS Petani Sawit dan juga Harga TBS Perusahaan Kebun Sawit . 

Berikut dampak pungutan ekspor CPO terhadap harga TBS Petani di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) minggu pertama April 2023 lalu masih di harga rata-rata sekitar Rp 2.400-2.700/kg. Kemudian harga TBS petani sawit bermitra anjlok menjadi rata-rata Rp 2.100-2.200, dari sebelumnya rata-rata Rp 2.600-2.950/kg.

"Dan untuk harga TBS Petani Swadaya (mandiri), di beberapa Provinsi sawit seperti Sulawesi Selatan, Riau  Kaltara Kalbar , Sulbar, Sultra, Papua dan beberapa provinsi lainnya, harga TBS sawit Petani Swadaya di PKS sudah anjlok diharga Rp 1.650-Rp1.800/kg. Penurunannnya sangat jauh bila dibandingkan awal April lalu yang masih bertengger di harga Rp 2.200-2.350/kg,” kata Arief. 

Arief menyebutkan, tentu saja ini sangat merugikan petani sawit yang mandiri maupun petani Plasma dan bisa berdampak buruk bagi macetnya pembayaran kredit ke perbankan oleh para petani sawit, begitu juga angsuran kredit oleh Perusahaan Perkebunan Sawit yang mana mayoritas dana investasinya diperoleh dari perbankan.

Apalagi industri perkebunan sawit telah sangat terpengaruh oleh beberapa tahun La Nina sehingga produksi berkurang secara besar-besaran.

"Sementara  di sisi biaya produksi rata-rata telah meningkat bersamaan dengan peningkatan lainnya dalam biaya pupuk, biaya perawatan tanaman, biaya tenaga kerja, kekurangan pupuk dari curah hujan yang tinggi, kerugian akibat banjir, perbaikan batu dan jalan, penanaman kembali, dan lain-lain," ucap Arief Poyuono.

Begitu para petani dan petani plasma tidak mampu memelihara perkebunan kelapa sawit. Tentu saja dampak pungutan ekspor CPO menyebabkan Perusahaan kelapa sawit besar tidak dapat menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan, dan mungkin keluar dari industri dan ini akan menyebabkan dampak buruk yang parah seperti hilangnya pekerjaan bagi masyarakat, dan pemasukan jumlah pajak.

"Karena itu Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia meminta kepada Presiden Jokowi untuk mencabut pungutan ekspor CPO yang membuat kerugian bagi masyarakat sawit di luar pulau Jawa yang mana hidupnya banyak bergantung pada industri sawit Indonesia," ujarnya.

Ketua APPKSI ini menegaskan, karena jutaan petani sawit saat ini merugi akibat jatuhnya harga TBS petani yang disebabkan oleh Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO yang begitu tinggi.

Selain itu terkait Domestic Market Obligation yang harus dipenuhi Ratio DMO diturunkan dari 1:6 ke 1:4, ini akan membuat harga futures di luar negeri naik dan harga dalam negeri turun, selain itu pungutan ekspor juga akan naik karena dasar perhitungannya menggunakan  harga internasional. Jadi sepertinya nasib petani sawit danpelaku usaha perkebunan sawit sudah didorong jatuh dan ditimpa tangganya sekalian.

Selain itu, Pengamat Ekonomi dan Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, karena Bea Keluar CPO yang cukup tinggi tidak perlu dilakukan pungutan ekspor CPO. Seharusnya yang jadi pertanyaan adalah kenapa pengusana membebankan pungutan ekspor tersebut ke petani. 

"Tambahan bea keluar dan pungutan ekspor dikenakan karena harga cpo sudah jauh diatas harga referensi. Artinya sudah sangat menguntungkan bagi eksportir dan pengusaha cpo. Sewajarnya kalau ada tambahan bea keluar dan pungutan ekspor yang disetorkan ke negara. Itu menjadi tambahan penerimaan negara yang nantinya dikembalikan ke masyarakat melalui apbn," kata Piter kepada awak media, Rabu (3/5/2023).

Piter menyebutkan, yang menjadi masalah kenapa dibebankan ke petani. Kenaikan CPO seharusnya dinikmati juga oleh petani. Pengusaha dan eksportir CPO jangan hanya mau enaknya. Margin mereka terlalu besar. 

"Saya kira mekanisme ini yang seharusnya diperbaiki. Jangan sampai beban bea keluar dan pungutan ekspor tersebut seluruh nya dibebankan ke petani. Pengusaha dan eksportir cpo harus ikut menanggungnya dengan mengurangi 'sedikit' keuntungan mereka," ucapnya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Pengamat Ekonomi yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda (Kaltim) Aji Sofyan Effendi mengaku prihatin kepada nasib petanisawit, karena jatuhnya harga TBS petani yang disebabkan oleh Bea Keluar dan pungutan ekspor CPO sangat berdampak kepada para petani.

"Kami prihatin kepada nasib petani sawit yang mendapatkan dampak besar akibat Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO," kata Aji Sofyan Effendi kepada wartawan, Rabu (3/5/2023).

Aji Sofyan Effendi menyebutkan, perusahaan kelapa sawit besar tidak dapat menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan, dan mungkin keluar dari industri dan ini akan menyebabkan dampak buruk bagi para petani atau masyarakat karena akan kehilangan pekerjaan atau di PHK oleh perusahaan sawit tempatnya bekerja.

"Perusahaan kelapa sawit tidak dapat hasilkan keuntungan, maka dampaknya buruk bagi masyarakat yang bergantung pada perusahaan sawit akan terkena PHK," jelasnya.

Tak hanya itu, bea keluar atau pajak juga harus menjadi perhatian pemerintah demi kesejahteraan petani sawit dan petani plasma karena berdampak sangat besar.

Aji Sofyan menjelaskan, adanya bea keluar tentunya sudah memberatkan perusahaan kelapa sawit, sehingga akan merugikan para petani sawit atau petani plasma untuk mendapatkan harga yang cukup baik bagi mereka.

Menurut dia, jangan jadikan pungutan CPO sebagai kepentingan pemerintah maupun pihak pengusahan sawit, karena hal ini menyangkut orang banyak, seperti petani sawit karena akan berdampak bagi kehidupan mereka.

"Pungutan CPO jangan dijadikan kepentingan pihak pemerintah maupun pengusaha sawit, karena ini menyangkut kehidupan orang banyak seperti petani sawit, maka ini harus menjadi perhatian pemerintah seutuhnya," ucapnya.

Dia menambahkan, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada petani sawit atau petani plasma agar kesehjateraan mereka terpenuhi, karena selama ini para petani sawit selalu menjadi korban atas kebijakan pemerintah.

"Pemerintah harus berikan kompensasi kepada para petani sawit agar sejahtera terpenuhi, sebab mereka selalu menjadi korban atas kebijakan pemerintah," ungkapnya.

Dia berharap  pemerintah bisa mengatasi persoalan tambahan bea keluar dan pungutan ekspor CPO tanpa menekan para perusahan sawit maupun petani sawit.

[RWT]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram “Kaltimtoday.co”, caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya