Opini

Dampak Instruksi Penanganan Covid-19 Gubernur Kaltim Isran Noor Khususnya di Balikpapan

Kaltim Today
07 Februari 2021 17:19
Dampak Instruksi Penanganan Covid-19 Gubernur Kaltim Isran Noor Khususnya di Balikpapan
Muhammad Rizal Fadillah, S.H., M.H.

Oleh: Muhammad Rizal Fadillah, S.H., M.H. (Advokat dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Balikpapan)

BENCANA nasional atas wabah Covid-19 hingga saat ini telah menyebar luas ke seluruh wilayah Indonesia meliputi Provinsi, kota, dan desa, khususnya di Kalimantan Timur ada 44.454 jiwa terkonfimasi kasus Covid-19, dan di Kota Balikpapan sendiri dari data terakhir terkonfirmasi kasus positif Covid-19 terdapat total 219 jiwa masyarakat yang meninggal akibat terinfeksi Covid-19.

Dalam rangka percepatan penanggulangan Covid-19 pemerintah pusat hingga saat ini telah menerbitkan banyak peraturan perundang-undangan serta peraturan kebijakan sebagaimana yang telah diikuti oleh seluruh Pemerintah Derah, dan diantaranya Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur melalui Gubernur Kaltim yang baru saja pada 4 Februari 2021 lalu menerbitkan kebijakannya dengan Instruksi Gubernur Kaltim Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Pengendalian, Pencegahan, dan Penanganan Wabah Pandemi Corona Covid-19 di Provinsi Kaltim (“INGUB”). dimana beberapa materinya menurut saya kurang tepat dimasukkan ke dalam INGUB tersebut, perihal diktum KEEMPAT yang secara tidak langsung mengatur aktivitas masyarakat agar tidak melakukan aktivitas diluar rumah setiap hari sabtu dan minggu sampai batas waktu yang akan ditentukan, hal ini dirasa menciptakan sebuah ketidakpastian hukum dan merugikan bagi masyarakat luas khususnya di Kaltim.

Kemudian atas INGUB tersebut, wali kota Balikpapan menindaklanjutinya dengan menerbitkan Surat Edaran Wali Kota Balikpapan Nomor 300/321/Pem Tentang Pelaksanaan Instruksi Gubernur Kaltim Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Pengendalian, Pencegahan, dan Penanganan Wabah Pandemi Corona Covid-19 di Provinsi Kaltim (“Surat Edaran Wali Kota Balikpapan”), bahwa dalam surat edaran wali kota Balikpapan tersebut menegaskan kembali tentang beberapa isi dari INGUB dengan beberapa penambahan ketentuan yang diberlakukan di Kota Balikpapan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang dengan adanya peraturan kebijakan yang isinya memuat norma mengatur masyarakat tidak melakukan aktivitas diluar rumah? Kemudian bagaimana kondisi masyarakat yang ekonominya dengan berjualan atau berdagang? Bahwa secara ekonomi atau finansial setiap masyarakat pasti memiliki rotasi keuangan yang tidak sama. Contoh kasus yang bisa terjadi misal:

  1. Dalam 1 keluarga baru memiliki dana di hari sabtu dan baru bisa membeli kebutuhan pokoknya di hari sabtu atau hari minggu, bagaimana dia memenuhi kebutuhannya tersebut, sedangkan dalam INGUB dan Surat Edaran Walikota Balikpapan menyebutkan hal yang membatasi kegiatan diluar rumah, serta meliputi pembatasan waktu dengan penutupan pasar, pusat belanja dan pertokoan di hari sabtu dan mingu.

Misal terjadi hal tersebut di atas apakah sudah ada alternatif atau solusi dari pemerintah daerah?

Apabila ketika masyarakat dihimbau melakukan stok bahan pokok kebutuhan rumah tangga, saya yakin tidak semua masyarakat mampu melakukan hal itu dan bisa terjadi panic buying, namun kembali lagi kemampuan finansial setiap masyarakat itu berbeda-beda pasti memiliki rotasi, ada yang mampu secara jangka panjang, menengah dan jangka pendek, terlebih lagi yang kesehariannya berdagang di pasar, dan toko-toko kecil atau warung makan.

Bahwa pada dasarnya yang perlu diperhatikan Negara kita ini adalah Negara hukum, dan bukan “Negara Instruksi” atau “Negara surat edaran”. Instruksi Gubernur dan Surat Edaran yang diterbitkan oleh Pemerintah tercipta berdasarkan prinsip diskresi, sehingga hal tersebut merupakan sebuah Peraturan Kebijakan (“Beleidsregels”) bukan merupakan produk hukum yang masuk kedalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga Instruksi maupun surat edaran tidak memiliki daya ikat mengatur ke masyarakat apalagi sampai menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas sehingga terjadinya ketidakpastian hukum. Apabila kita flashback beberapa waktu lalu wali kota Balikpapan menerbitkan surat edaran tentang PPKM pertama yang menerapkan jam malam di Kota Balikpapan hal tersebut juga menimbulkan polemik di masyarakat.

Terkait dengan INGUB, dari masing-masing instansi yang dituju oleh INGUB sebenarnya telah tepat untuk keperluan instruksi ke internal SKPD, namun ketika isinya ada yang mengatur untuk diberlakukan kepada masyarakat luas maka hal itu kurang tepat, akan tetapi lebih tepatnya dimuat saja ke dalam Pergub, begitu juga dengan surat edaran wali kota Balikpapan sekiranya ada hal-hal yang isinya bersifat mengatur dan menimbulkan norma ke masyarakat, maka dapat dituangkan saja ke dalam Perwali, jadi jelas aturannya sebagai sebuah payung hukum.

Kemudian apa akibat hukum atau sanksi ketika masyarakat tidak mematuhi INGUB dan surat edaran wali kota tersebut? Hal ini jangan sampai menimbulkan permasalahan baru sehingga menciptakan ketidakpastian hukum dan kerugian secara ekonomi berkepanjangan di masyarakat. Mengingat kondisi saat ini tidak menerapkan karantina wilayah atau PSBB melainkan hanya PPKM. Sementara PPKM hanya berdasarkan surat edaran yang diterbitkan oleh wali kota Balikpapan yang mengacu kepada instruksi Mendagri.

Menurut saya aturan hukum dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran corona virus disease (Covid-19) di Kalimantan Timur dan di Kota Balikpapan sudah ada, yaitu berdasarkan:

  1. Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Penerapan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19; dan
  2. Peraturan Walikota Balikpapan Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Penerapan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Peraturan kebijakan berdasarkan prinsip diskresi tidak akan menjadi permasalahan, sepanjang muatan atau materinya tidak menimbulkan norma yang menciptakan ketidakpastian hukum dan merugikan masyarakat, sehingga kedepan diperlukan sebuah penalaran logis dalam membuat peraturan kebijakan dan tidak boleh melanggar asas legalitas berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. (*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya