Kaltim

Kaltim Terancam Tekanan Ekonomi Jika Pemangkasan Transfer Pusat ke Daerah 2026 Direalisasikan

Kaltim Today
11 September 2025 12:45
Kaltim Terancam Tekanan Ekonomi Jika Pemangkasan Transfer Pusat ke Daerah 2026 Direalisasikan
Kantor Gubernur Kaltim. (Ilustrasi/Pemprov Kaltim)

SAMARINDA, Kaltimtoday.co - Kalimantan Timur (Kaltim) diperkirakan menghadapi tekanan fiskal berat tahun depan jika kebijakan pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) benar-benar dijalankan.

Berdasarkan data yang diterima Kaltimtoday.co, pemangkasan signifikan bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Untuk Pemprov Kaltim pada estimasi DBH 2026  diproyeksikan hanya Rp1,42 triliun, turun drastis Rp4,64 triliun dari alokasi 2025 sebesar Rp6,06 triliun.

Di tingkat kabupaten/kota, pemangkasan DBH juga signifikan. Mencapai 76,54 persen. Samarinda misalnya hanya akan menerima Rp262,43 miliar atau turun 76,54 persen dari sebelumnya Rp 1,11 triliun. Balikpapan Rp233,81 miliar; Bontang Rp290,78 miliar; Sementara Kukar diproyeksikan Rp1,34 triliun, berkurang Rp4,40 triliun atau 76,54 persen dari 2025.

Proyeksi DAU 2026 juga menunjukkan penurunan rata-rata yang cukup signifikan. DAU provinsi diperkirakan Rp 894,50 miliar pada 2026, turun 16,31 persen dari Rp 1,06 triliun pada 2025. 

Semua kabupaten/kota turun di kisaran 16,31 persen. Secara nominal, DAU Samarinda turun dari Rp 925,36 miliar jadi Rp 776,14 miliar; Balikpapan Rp 651,80 miliar jadi Rp 545,51 miliar; Berau Rp 603,90 miliar jadi Rp 505,42 miliar (–16,31%); Kutai Kartanegara Rp 633,02 miliar jadi Rp 529,80 miliar (–16,31%).

Rencana Pemangkasan TKD Tidak Adil

Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud menyebut sudah mengimbau seluruh kepala daerah untuk bersiap menghadapi tekanan fiskal ini. Ia juga mengaku tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar kebijakan tersebut dibatalkan.

Kritik tajam datang dari Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni. Menurutnya, pemangkasan DBH secara sepihak melanggar Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) Nomor 1/2022. Regulasi tersebut mengatur pembagian DBH secara adil, transparan, dan akuntabel.

“DBH pada prinsipnya adalah hak daerah karena dihitung dari persentase penerimaan negara tertentu. Pemotongan sepihak jelas dilarang,” kata Neni.

Ia menegaskan, penyesuaian hanya bisa dilakukan bila realisasi penerimaan negara lebih rendah dari target APBN atau dalam bentuk penundaan penyaluran, bukan pemangkasan hak daerah.

Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, juga meminta pemerintah pusat membatalkan rencana pengurangan dana transfer. Ia menilai skema pengalihan dana ke kementerian sebelum disalurkan ke daerah berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

“Yang mengetahui kondisi daerah itu adalah kepala daerah. Kalau dialihkan ke kementerian, tidak semua daerah mendapat porsi yang sama,” tegasnya.

Akademisi Minta Kepala Daerah Proaktif Perjuangkan Hak

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi, menyebut pemangkasan TKD akan menimbulkan turbulensi fiskal di daerah dan berimbas pada komplikasi ekonomi. Ia mendorong Pemda mencari sumber pendapatan lain agar lebih mandiri.

“Jangan hanya mengurangi janji politik, tapi bagaimana anggaran yang terbatas bisa dihemat,” katanya, menyinggung program pendidikan dan kesehatan gratis yang dijanjikan pasangan Gubernur Rudy–Seno.

Sementara itu, dosen FISIP Unmul, Syaiful Bachtiar, menilai kepala daerah kurang proaktif memperjuangkan hak Kaltim. Ia menilai pemangkasan DBH berisiko mengganggu program prioritas daerah, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

“Asas desentralisasi seharusnya memperkuat otonomi fiskal. Jangan sampai kepala daerah hanya tunduk pada pusat tanpa strategi menghadapi pemotongan ini,” ujarnya.

[TIM KALTIM TODAY]



Berita Lainnya