Opini

Keadilan di Persimpangan Jalan 

Kaltim Today
14 Juli 2020 09:55
Keadilan di Persimpangan Jalan 

Oleh: Desy Alvionita (Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB Unmul 2020)

Tidak satupun insan di muka bumi yang ingin diperlakukan tidak adil. Sebaliknya, semua orang mendambakan keadilan. Sesuatu dapat dikatakan adil jika sesuai dengan hukum yang berlaku. Di Indonesia, hukum negara menganut nilai-nilai yang di dalamnya memiliki prinsip berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konsep negara demokratis yang menciptakan negara hukum yaitu untuk mewujudkan negara yang adil bagi seluruh rakyat dengan peraturan tertentu dalam penegakannya, sehingga harus bersifat profesional, adil, dan bijak sesuai kaidah yang berlaku. Tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 “...dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, harus terpenuhi agar rakyat dapat merasakan kesejahteraan. 

Soekarno memimpikan terwujudnya “Indonesia Bagi Semua”, maka semua warga negara harus merasa sebagai orang Indonesia dan membangun Indonesia yang sama. Gagasan kebersamaan, kebangsaan, keadilan, dan kesejahteraan menjadi dambaan rakyat dan tujuan negara. Dalam Pancasila, dijiwai semangat gotong royong, segala perbedaan sosial dilebur. Namun, keadilan saat ini menyimpang dari apa yang diimpikan Soekarno. Hal tersebut disebabkan adanya golongan berkuasa yang lebih memikirkan diri sendiri, dimana mereka lebih memenuhi kebutuhan segelintir orang daripada memberi keadilan pada seluruh rakyat.

Lihat saja produk hukum mulai dari UU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Cipta Kerja, dan lain-lain yang merupakan perselingkuhan penguasa dengan kapitalis dan membuat rakyat termarjinalkan. Kondisi keadilan yang carut marut ini menjadi bukti bahwa sila kelima Pancasila yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” belum terejawantahkan. Indonesia memiliki banyak permasalahan terkait demokrasi, hukum, dan layanan publik. Tragedi ketidakadilan seakan tidak habis mewarnai wajah hukum di Indonesia yang katanya menjunjung tinggi hukum. Kasus Novel Baswedan merupakan satu dari sekian banyak kasus yang mempertontonkan bahwa keadilan seolah sudah mati. Keadilan yang selama ini ditunggu, tetapi malah membuat pilu. 

Keadilan dinilai jauh dari harapan. Hal ini acapkali dirasakan oleh masyarakat kelas bawah, sehingga keadilan menjadi barang mahal. Sementara Si Kaya dapat dengan mudah menghindar atau sering kita sebut ‘hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah’. Hingga muncul satire dalam lirik lagu yang berjudul Andai Aku Gayus Tambunan “...Lucunya di Negeri ini, Hukuman Bisa Dibeli”. Padahal, hakikat dan inti hukum itu adalah keadilan bagi banyak orang. 

Penegakan keadilan masih menjadi PR Pemerintah dan pelaksanaannya harus berjalan selaras dengan Undang-Undang yang berlaku agar tidak menciptakan masalah baru. Dalam momentum Hari Keadilan Internasional yang jatuh pada 17 Juli, saya mengajak masyarakat untuk terus mengkampanyekan keadilan di seluruh elemen kehidupan. Keadilan tidak hanya sebatas seremonial, setiap hari keadilan harus digaungkan dan ditegakkan.

Hukum berlaku tanpa pandang bulu demi tegaknya keadilan, sebab semua orang berkedudukan yang sama di hadapan hukum. Serta pemenuhan hak rakyat dapat dilakukan dengan merata. Amanat konstitusi menegaskan keadilan selalu ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Perwujudan keadilan menghendaki upaya pemerataan sumber daya agar kelompok masyarakat yang lemah dapat dientaskan dari kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dapat diatasi.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya