Opini
Organisasi Kampus: Wadah Agent of Change atau Ajang Kepentingan?

Oleh: Ekmal Muhammad Firyal, Ketua Umum UKM FISIPERS UNMUL
Pagi hari, kampus selalu dimulai dengan rutinitas melihat jadwal, masuk kelas, mengikuti perkuliahan, berkutat dengan tugas. Namun di balik proses akademik, terselip satu frasa yang kerap digunakan oleh para dosen yaitu, “Agent of Change”. Frasa yang melekat pada identitas mahasiswa. Namun, sejauh mana makna dari sebutan itu benar-benar dipahami?
Julukan "agent of change" mengacu pada peran mahasiswa sebagai penggerak perubahan positif di masyarakat. Peran ini menuntut keterlibatan aktif, bukan hanya dalam kegiatan akademik, tetapi juga dalam menjawab isu sosial dan berkontribusi nyata. Untuk mewujudkan hal itu, mahasiswa membentuk organisasi kampus struktur kolektif yang memungkinkan kolaborasi, belajar memimpin, dan menjalankan ide-ide perubahan secara terarah. Organisasi menjadi ruang praktik nyata dari nilai-nilai yang dipelajari di kelas.
Organisasi menjadi fondasi awal bagi mahasiswa untuk belajar bagaimana bergerak bersama, menyatukan visi, dan mengimplementasikan gagasan perubahan.
Mayoritas organisasi kampus merepresentasikan ciri khas atau budaya fakultasnya. Setiap organisasi memiliki tujuan serta minat yang beragam, dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) , Hima (Himpunan Mahasiswa) hingga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang mengemban amanah advokasi dan representasi mahasiswa.
Meskipun demikian, mereka sebenarnya memiliki kesamaan visi mendasar terhadap anggota atau kadernya, sebagai wadah pengembangan diri dan relasi. Organisasi kampus menjadi tempat yang sangat efektif bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan akademik maupun non-akademik, mengasah keterampilan soft skills dan membangun relasi.
Namun, dengan beragamnya organisasi, seringkali muncul pandangan tentang "organisasi baik," "organisasi buruk," atau bahkan "organisasi tidak penting." Narasi ini kerap menimbulkan pertanyaan, terutama bagi mahasiswa baru yang masih mencari jati diri dan tempat bernaung. Mereka mungkin dihadapkan pada dilema apakah berorganisasi itu penting atau hanya membuang waktu. Ini pada akhirnya memunculkan anti-tesis terhadap pentingnya berorganisasi, di mana sebagian mahasiswa justru memilih untuk tidak terlibat, menganggapnya tidak relevan dengan tujuan utama mereka kuliah. Persepsi ini bisa jadi muncul dari empiris pribadi atau kurangnya pemahaman mendalam tentang nilai-nilai yang ditawarkan oleh organisasi yang sebenarnya.
Harfiahnya, organisasi adalah wadah atau sistem sosial yang terstruktur, di mana individu-individu bekerja sama secara sinergis untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan dengan efisien dan efektif.
Menurut saya yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Umum UKM FISIPERS FISIP Universitas Mulawarman, mengenai bagaimana sebuah organisasi di lingkungan kampus. Organisasi bukanlah sekadar tempat berkumpul, dengan sebutan Keluarga, melainkan di mana teori-teori perkuliahan dapat diimplementasikan dan diuji dalam praktik nyata.
Organisasi menjadi tempat pengembangan dan juga penambahan wawasan mahasiswa yang tak diperoleh di kelas. Hal ini selaras dengan bagaimana kita akan bekerja nantinya di dunia profesional. Di dalam organisasi, mahasiswa diajarkan bagaimana memecahkan masalah yang kompleks, meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal dan publik speaking, mengelola keuangan, manajemen administrasi, dan belajar bagaimana bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan bersama.
Setiap organisasi mempunyai visi dan misi yang menjadi landasan geraknya. Visi adalah gambaran kedepan yang ingin dicapai, sedangkan misi adalah langkah-langkah konkret untuk mencapai visi tersebut. Setiap organisasi, tentu saja, berbeda-beda dengan tujuan spesifik yang dijalankan, ini saya dapatkan dari materi Mission pada organisasi yang saya ikuti.
Tujuannya bisa menjadi pemandu arah yang jelas bagi seluruh anggota, memotivasi mereka untuk mencapai cita-cita bersama, dan menjadi tolak ukur keberhasilan serta relevansi organisasi di mata publik. Kejelasan visi dan misi sangat penting agar setiap anggota memahami mengapa mereka berjuang dan ke mana arah organisasi ini bergerak.
Jelasnya, kita bisa melihat "wajah" dari sebuah organisasi melalui kualitas ketua atau pemimpinnya. Pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan visioner adalah bentuk dari kredibilitas dari seluruh anggotanya. Mereka mampu menginspirasi, memotivasi, dan membawa organisasi mencapai targetnya. Kita bisa meyakini bahwa organisasi ini berkompeten jika pemimpinnya menunjukkan dedikasi, kapabilitas, dan komitmen.
Namun, ironis, jika seorang ketua tidak kompeten, mereka cenderung menyelimuti kekurangan mereka dengan branding-branding, janji-janji kosong, dan penjelasan persuasif yang seolah-olah semuanya baik-baik saja di permukaan. Mereka lebih condong mengandalkan popularitas daripada substansi kepemimpinan yang sebenarnya.
Mungkin inilah yang menjadi alasan adanya persepsi "organisasi buruk," itu ada, dikarenakan apa yang disampaikan tidak sesuai ekspektasi saat berada di internalnya. Ada kondisi dimana organisasi justru menuntut anggota secara berlebihan, meremehkan ide-ide baru, merendahkan inisiatif individu, dan menjadikan anggotanya hanya sebagai "suruhan" saja tanpa memberikan ruang untuk berpendapat atau berkreasi. Apa yang diucapkan dalam visi dan misi, atau janji-janji saat rekrutmen, tidak selaras dengan praktik yang dilaksanakan, tanpa melihat esensialnya terlebih dahulu. Fatal, dalam berorganisasi kampus jauh berbeda dengan tujuan awal mahasiswa, yang ingin memperbaiki, belajar, dan berkontribusi.
Budaya gengsi yang dibalut dengan rasionalisasi semu, di mana kepentingan pribadi atau kelompok diluar internal lebih diutamakan daripada kepentingan bersama dan nilai-nilai organisasinya sendiri.
Sewajarnya organisasi adalah, bisa menjadi ladang berdialektika, sebuah ruang aman untuk menyampaikan pendapat dengan rasionalisasi yang kuat, saling menyuarakan aspirasi tanpa takut, saling memperbaiki diri dan sistem, dan saling menumbuhkan potensi setiap individu. Dalam suasana dialektis inilah gagasan-gagasan cemerlang bisa lahir, masalah dapat dipecahkan secara kolektif, dan setiap anggota merasa dihargai kontribusinya.
Organisasi terbilang buruk saat ada perubahan tujuan, tujuan kepentingan pribadi yang pragmatis memudarkan tujuan utamanya, menggeser fokus dari misi awal, dan bahkan mengesampingkan nilai-nilai, moral, dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap aktivitas organisasi.
Saya menulis ini sebagai bagian intrapersonal terhadap saya dalam menjalankan kepemimpinan, apakah saya sudah menjalankan organisasi sesuai dengan tujuannya? atau tidak?. Dalam penulisan, saya memberikan pengetahuan pribadi dan juga sudut pandang dari latar belakang empiris.
Organisasi kampus, pada hakikatnya, adalah miniatur masyarakat. Pengalaman di dalamnya adalah bekal untuk kehidupan setelah kampus. Dengan membangun organisasi berorientasi pada pengembangan. Kekayaan organisasi bukan dilihat dari anggarannya tetapi dilihat dari sumber daya manusianya yang berdampak positif kepada masyarakat.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Mahasiswa Unmul Turun Aksi ke Jalan, Kritik 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi, dan Tuntut DPR Patuhi Putusan MK
- Hak Konstitusional dan Ruang Aman bagi Perempuan
- Mahasiswa Unmul Buat Inovasi Produk Oseng Mandai dengan Menerapkan Metode Pengawetan Pengalengan Suhu Tinggi
- Kritik Biaya Pendidikan Era Jokowi di Rakernas V PDIP, Megawati: Masa Mau Pintar Saja Harus Bayar Mahal
- UMKT Terima Mahasiswa Non Muslim, Bukti Dukung Kemajuan Seluruh Umat Manusia