Opini

Jasmerah Pangeran Bendahara di Samarinda Seberang

Kaltim Today
06 Juni 2025 19:05
Jasmerah Pangeran Bendahara di Samarinda Seberang
Suvenir gantungan kunci tema Masjid Shirathal Mustaqiem inisiasi Pangeran Bendahara, karya kreatif Nurul Ulfa (Nuu), penerima Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2025 BPK Wilayah XIV Kaltimtara.

Oleh: Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
 
IRONIS! Semestinya yang menjadi situs cagar budaya makam dan destinasi wisata religi di Samarinda Seberang adalah makam Pangeran Bendahara. Sang tokoh punya karya monumental. Masjid Shirathal Mustaqiem yang selalu dibanggakan sebagai masjid tertua. Referensi sejarahnya valid, tidak mengada-ada.

Masjid Shirathal Mustaqiem berkonstruksi kayu telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Dalam teks riwayat pembangunannya sejak 1881, nama inisiatornya turut disebut, yaitu Syarif Abdurachman bin Segaf alias Pangeran Bendahara. Tapi, ada yang janggal. Kenapa pemerintah dan warga tidak menziarahi makamnya? Siapakah sebenarnya Pangeran Bendahara?

Sejarah memang tak semuanya bernarasi tentang heroisme dan glory. Di balik kejayaan, lazim ada tragedi. Begitulah sejarah Pangeran Bendahara di Samarinda Seberang. Meski figurnya identik dan melekat dengan Masjid Shirathal Mustaqiem—bahkan alamat masjidnya juga di Jalan Pangeran Bendahara—tetapi profilnya seolah dijauhkan dari literasi publik.

Ketika pemerintah atau komunitas mengagendakan wisata religi atau tur wisata budaya ke Masjid Shirathal Mustaqiem, sering dipaketkan dengan kunjungan ke sebuah makam lain di Samarinda Seberang. Padahal makam tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan dengan pembangunan Masjid Shirathal Mustaqiem.

Makam yang diklaim sebagai pendiri Kota Samarinda itu, selain tidak relevan dengan masjid, juga tidak berbasis sumber sejarah yang valid dan kredibel. Peraturan Daerah Kotamadya Samarinda Nomor 1 Tahun 1988 tentang Hari Jadi Kota Samarinda dalam semua pasalnya juga tidak pernah mencantumkan satu pun nama individu yang dinobatkan sebagai pendiri Kota Samarinda.

Jika hendak menobatkan pendiri Kota Samarinda, maka tokoh yang tepat adalah Raja Kutai Kertanegara. Pada zaman pemerintahan Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martapura 1732, ibu kota Kutai dipindahkan dari Kutai Lama ke Pemarangan-Jembayan. Pada time line itulah Samarinda berdiri dan berfungsi sebagai market city atau kota bandar niaga bagi Kerajaan Kutai.

Penelitian ilmiah berjudul “Kontroversi Sejarah La Mohang Daeng Mangkona dan Hari Jadi Kota Samarinda: Sebuah Tinjauan Kritis” telah dipublikasikan pada Yupa: Historical Studies Journal, volume 5 nomor 2 tahun 2021, dan dapat diakses secara daring doi.org/10.30872/yupa.v5i2.569. Publikasi jurnal riset dilakukan sebagai solusi atas perdebatan di media sosial dan klaim-klaim tidak ilmiah yang dimuat di buku tertentu. Dalam penerbitan paper di jurnal ilmiah, ada mekanisme review naskah oleh para ahli.

Jika ingin mengagendakan ziarah makam di Samarinda Seberang, mestinya yang dikunjungi adalah makam tokoh pendiri Masjid Shirathal Mustaqiem. Seberapa penting peran Pangeran Bendahara selain sebagai founder masjid? Adakah sejarah signifikan mengenai Syarif Abdurachman bin Segaf?

Mari kita pelajari bagaimana figur Pangeran Bendahara dalam sejarah Samarinda. Kita ungkap peranannya sehingga kita bisa paham mengapa ketokohannya sampai dilupakan, alih-alih disembunyikan (?).
 
Sumber sejarah terkait hal ini setidaknya ada 3 referensi. Pertama, laporan Asisten Residen Oost Borneo, yakni J Zwager yang terbit 1866, berjudul “Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie”. Kedua, jurnal ekspedisi Carl Bock yang berjudul The Head-Hunters of Borneo: A Narrative of Travel up the Mahakkam and Down the Barito, yang diterbitkan di London pada 1882.

Ketiga, naskah Salasilah Bugis di Kutai berbahasa Melayu yang dipublikasikan oleh Solco Walle Tromp tahun 1887 dalam kajiannya yang berjudul "Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai". Khusus naskah Tromp berbahasa Belanda ini, saya memperoleh bantuan file terjemahan dan sadurannya dari Frieda Amran, antropolog dan sastrawan yang berdomisili di Belanda.

Zwager dan Tromp sama-sama mencatat bahwa situasi di Samarinda pada pertengahan abad ke-19 diwarnai dengan maraknya kriminalitas. Terjadi perampokan, pembunuhan, dan perbudakan. Gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) itu dibekingi oleh pua adu dan kepala manang. Kadang pelaku kriminal itu merupakan kerabat pua adu atau kepala manang, sehingga tidak dilakukan proses hukumnya.

Pua adu adalah lembaga komunitas adat Bugis yang diberi izin oleh Sultan Kutai untuk mengatur internal sukunya sendiri di Samarinda Seberang. Pejabat pua adu dipilih oleh kepala manang dan disetujui oleh Sultan Kutai. Kepala manang adalah para kepala keluarga Bugis terkemuka.

Kamtibmas yang kacau merugikan warga yang bukan keluarga pua adu dan kepala manang. Konflik juga menimpa sesama kerabat pua adu dan kepala manang. Institusi pua adu kehilangan legitimasi karena tidak mampu menegakkan hukum atas kasus kriminal.

Di Samarinda terdapat pejabat otoritas lain, yaitu sebandar. Sebandar merupakan kepala pelabuhan yang mengurusi perdagangan di Samarinda. Namun, Sultan Kutai tidak ingin menambahkan tugas bidang kamtib kepada sebandar. Karena itu, Sultan Aji Muhammad Sulaiman (periode 1850–1899) mengangkat kepala polisi dari seorang Banjar yang bernama Ince Miril.

Pengangkatan jabatan kepala polisi di Samarinda menimbulkan pertentangan dari pua adu dan pendukungnya. Mereka merasa pengaruh dan kedudukannya terancam. Sultan kemudian mencari figur yang lebih militan dan tegas lagi untuk posisi kepala polisi.

Tujuh bulan kemudian Sultan mengangkat kepala polisi dari seorang Arab yang bergelar Pangeran Bandahara. Mengenai nama aslinya, terdapat beberapa versi. Ada buku dan website yang menuliskan namanya dengan teks “Sayyid Abdurrahman Assegaf” dan “Said Abdurachman bin Assegaf”. Ada juga yang menulis Sayed Abdurrachman bin Abdullah Assegaf. Yang terbaru di 2024 muncul teks nama dengan titel baru: Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf.

Di antara beberapa versi, manakah nama asli Pangeran Bendahara yang valid? Saya lebih memilih berpedoman dengan riset SC Knappert tahun 1905. Pada publikasinya yang berjudul “Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei” halaman 636 nama asli Pangeran Bandahara ditulis dengan ejaan lama: Sjarif Abdoerachman bin Segaf. Dikonversi ke EYD menjadi Syarif Abdurachman bin Segaf. Teks “Abdoerachman” tak masalah juga jika di-EYD-kan menjadi “Abdurrahman”.

Syarif Abdurachman bin Segaf adalah saudagar yang berasal dari pesisir barat Pulau Kalimantan. Satu di antara faktor kekuatan personalnya adalah hubungan kekerabatan dengan orang Bugis karena dia menikahi beberapa perempuan Bugis.

Ketokohan Pangeran Bendahara bukan sekadar founder Masjid Shirathal Mustaqiem, tetapi juga kepala otoritas di Samarinda di bawah Sultan Kutai. Carl Bock menyebut Pangeran Bendahara sebagai menteri luar negeri Kesultanan Kutai sekaligus gubernur daerah dan kepala polisi Samarinda.

Pangeran Bendahara bermanuver. Dia berani memasuki wilayah otonom internal komunitas Bugis. Dia mengusulkan kepada Sultan Sulaiman agar menerbitkan peraturan yang mengurangi wewenang pua adu. Sultan menyetujui usulannya.

Wewenang pua adu yang dikurangi antara lain tentang pemberian suaka atau perlindungan kepada orang yang datang dari negeri/daerah lain. Beberapa wewenang politik, hukum, dan ekonomi pua adu juga dicabut.

Pua adu tidak menyetujui peraturan baru yang diumumkan oleh Pangeran Bendahara. Pua adu mengundurkan diri dari jabatannya. Beberapa waktu kemudian, terjadi kasus penjarahan barang-barang milik seseorang yang meninggal di atas kapal dari Pare Pare menuju Samarinda. Penjarahnya diketahui bernama Daeng Mattero, yang ternyata bersekongkol dengan mantan pua adu. Pangeran Bendahara merasa dilecehkan.

Klimaks konflik terjadi ketika kelompok pendukung mantan pua adu mengancam untuk meninggalkan Samarinda. Pangeran Bendahara menyarankan Sultan agar mengabaikan ancaman tersebut dan tidak memberi konsesi apapun. Pangeran Bendahara yakin bahwa gertakan itu cuma omon-omon.

Prediksi terbukti. Kelompok Bugis menghadap Sultan di Tenggarong. Mereka memperbarui janji dan sumpah setia kepada Sultan Kutai. Sultan memberikan pengampunan kepada Daeng Mattero yang memimpin perlawanan terhadap Pangeran Bendahara.

Dalam pertemuan di istana Tenggarong, Sultan mengungkapkan pendapatnya bahwa segala masalah kamtibmas yang berulang kali di Samarinda muncul akibat adanya gelar kebangsawanan dan kedudukan pua adu. Karena itu, Sultan memutuskan bahwa kelembagaan pua adu itu dihapuskan sama sekali dan tidak boleh dihidupkan kembali. Orang-orang Bugis pun menerimanya.

Sultan memerintahkan para kepala manang agar memilih pemimpin baru komunitas Bugis, yang gelarnya bukan lagi pua adu. Sultan memberinya gelar penggawa, yang strukturnya di bawah Pangeran Bendahara.

Setelah pua adu digantikan penggawa, konflik dan skandal masih saja terjadi di Samarinda Seberang. Ada kasus orang mengamuk yang mengakibatkan korban jiwa. Pangeran Bendahara memerintahkan petugas masjid mengurus dan menguburkan jenazah korban amukan, tetapi tidak dipatuhi. Ternyata, penggawa yang melarang petugas masjid mengurus jenazah tersebut. Dengan kejadian ini, Pangeran Bendahara melaporkannya kepada Sultan.

Akhirnya, Sultan Kutai memberhentikan penggawa dan menghapuskan jabatan kepala suku Bugis di Samarinda Seberang. Komunitas Bugis diwajibkan tunduk pada Pangeran Bendahara sebagai pemimpin baru mereka. Dampaknya, stabilitas kamtibmas cukup kondusif.

Jejak sejarah Pangeran Pangeran berkonsekuensi pada kekesalan satu kelompok di Samarinda Seberang. Pangeran Bendahara dikenang sebagai tokoh yang punya andil besar dalam penghapusan lembaga otonom Bugis di Samarinda Seberang.

Pada 2015 saya mencoba mencari makam Pangeran Bendahara. Di area kuburan muslimin Samarinda Seberang kebetulan ada orang-orang yang bertugas memelihara makam. Saya minta ditunjukkan di mana ada pusara yang bertuliskan aksara Arab. Saya memeriksa nisan-nisan tersebut. Namun, saya tidak menemukan tulisan Syarif Abdurachman bin Segaf atau Pangeran Bendahara. Mungkin saja makamnya bukan di kuburan umum.

Sekarang sudah saatnya Pemerintah Kota Samarinda dan juga Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) menelusuri keberadaan makam Pangeran Bendahara. Jika ditemukan, makam tersebut layak menjadi sebuah situs cagar budaya atau destinasi wisata religi. Karyanya jelas, kamtibmas yang kondusif dan Masjid Shirathal Mustaqiem yang ikonik. Sumber sejarahnya terverifikasi, bukan fiksi, bukan fabrikasi.

Jasmerah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah Pangeran Bendahara di Samarinda Seberang. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya