Opini
Bukan Sastrawan Tapi Menyusup di DSBK 2025

Oleh Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
SAYA bukan penyair apalagi sastrawan. Sampai saat ini saya berkomitmen hanya akan menulis genre nonfiksi, khususnya bidang sejarah. Saya tidak akan menulis genre fiksi, terutama novel dan cerpen.
Kenapa begitu? Karena tulisan sejarah lokal saja masih minim dan perlu penulisan lanjutan serta mendalam, sedangkan penulisan fiksi sudah banyak pelakunya. Alasan kedua, saya tidak ingin publik melihat saya sebagai penulis yang tak konsisten dalam berkarya.
Kalau saya menulis cerpen atau novel, bisa saja muncul keraguan terhadap konten sejarah yang saya tulis. Boleh jadi ada yang berpikir, jangan-jangan tulisan sejarah saya bercampur, disusupi atau terkontaminasi dengan fantasi dan manipulasi.
Di Kalimantan Timur ini sudah terlalu banyak tulisan buku yang diklaim sebagai karya sejarah, tapi hakikatnya adalah dongeng. Buku yang bergenre roman sejarah lebih mengecoh lagi. Diksi “sejarah” pada tulisan fiksi seolah memvalidasi bahwa itu benar-benar karya sejarah.
Memang ada sejarawan yang dikenal juga sebagai sastrawan, misalnya Profesor Kuntowijoyo. Namun, penulis buku Pengantar Ilmu Sejarah dan pengarang novel Pasar tersebut sudah paripurna dalam disiplin ilmu historiografi. Sementara saya bukanlah Kuntowijoyo.
Begitu pula Profesor Anthony Reid, ahli sejarah Asia Tenggara kelahiran Selandia Baru 1939 dan wafat pada 8 Juni 2025. Disertasinya di Universitas Cambridge mengenai konflik antara Kesultanan Aceh, Belanda, dan Inggris pada abad ke-19. Satu di antara bukunya yang terkenal berjudul Revolusi Nasional Indonesia.
Saya pernah menghadiri webinar Anthony Reid pada 5 bulan awal pandemi Covid-19 di Indonesia. Direktur Asia Research Institute (ARI) dari Universitas Kebangsaan Singapura (NUS) itu menyatakan, sejarawan mempunyai modal yang sangat menguntungkan, yaitu pengetahuan sejarah yang sudah berbasis riset. Namun, Anthony Reid baru menerbitkan novel fiksi perdananya pada 2018, saat dia berusia 79 tahun. Judulnya, Mataram: A Novel of Love, Faith and Power In Early Java.
Dia sempat mencoba menyamar dengan nama pena “Tony Reid”, tapi akhirnya ketahuan. Alasan penyamaran tersebut karena dia tidak ingin publik menilai karyanya dengan reputasi dirinya sebagai sejarawan. Jadi, jika mau mengikuti jejak Tony Reid menulis novel, saya harus menunggu setidaknya setelah kalender Indonesia Emas 2045 melewati seperempat abad, alias kisaran tahun 2070.
Seleksi 5 Puisi Melayu
 duduk di belakang saat foto seremonial pembukaan DSBK 17 Juni 2025 (foto DKD Kaltim).jpg)
Sejak awal kalender 2025 bergulir info pertemuan sastrawan 3 negara di Samarinda, 17–20 Juni 2025. Kegiatannya bernama Dialog Serantau Borneo-Kalimantan (DSBK) XVI. Namun, saya tidak berminat dan tak berniat menjadi pesertanya.
Saya juga bukan anggota pengurus Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kaltim, sehingga tak mungkin join DSBK dari jalur panitia. Dari jalur undangan entitas seni budaya daerah/kabupaten atau atribusi sastrawan, saya juga di luar itu.
Syarat menjadi peserta umum DSBK adalah lolos seleksi 5 karya puisi bertema sastra Melayu. Panitia menetapkan tema “Nusantara dan Penguatan Sastra Melayu: Merawat Estetika dan Didaktika”. Pertemuan sastra internasional ini diharapkan mengungkap jejak peran kerajaan-kerajaan di Nusantara, utamanya di Borneo-Kalimantan, dalam penguatan sastra Melayu.
Sudahnya bukan penyair, tak pernah bikin puisi, syarat spesifik puisi Melayu pun tidak relevan bagi saya. Delapan hari sebelum pendaftaran peserta ditutup, ada dua perempuan penyair (penyair perempuan?) yang mengajak saya mendaftar DSBK.
Saya jawab, saya tak kompeten bikin puisi Melayu, harus 5 pula. Satu penyair cum dosen sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Samarinda berinisial U tak mendebat alasan saya. Namun, satunya sastrawan berinisial F cukup ‘memaksa’ saya bikin puisi. Dia meyakinkan saya bahwa kurator atau panitia akan fokus memverifikasi karya, bukan mengedepankan unsur like and dislike personal. Tapi saya tetap tak bilang akan mencoba menulis puisi.
Dalam senyap tanpa konsultasi dengan sastrawan, pada 3 hari tersisa saya mencari referensi dari internet, apa definisi puisi, apa bedanya dengan syair, pantun, dan karangan lainnya, serta bagaimana itu puisi Melayu. Saya menyimak satu-dua puisi Chairil Anwar, tapi karyanya bukan Melayu (silakan koreksi jika saya keliru). Skip! Puisi Buya Hamka yang Melayu banget malah luput dari pantauan.
Saya cek koleksi buku puisi yang saya punya. Kebetulan saya pernah membelinya di toko buku dalam mal. Saat itu akhir 2019 hingga tahun pertama pandemi, Gramedia Big Mal Samarinda mengobral buku bagus mulai harga Rp5.000-an.
Ada buku puisi karya Wiji Thukul berjudul Nyanyian Akar Rumput. Juga buku puisi Korrie Layun Rampan berjudul Dayak! Dayak! Di manakah Kamu? Saya beli dua buku ini bukan karena minat dengan puisi, tapi karena harga bukunya yang murah, cuma Rp10.000, dan penulisnya cukup populer.
Hari terakhir pendaftaran DSBK, saya kirim eksperimen 5 puisi tanpa berkomunikasi dengan panitia dan kurator. Saya sekadar challenge tanpa ekspektasi. Diam-diam mengirim puisi. Kalau lolos berarti siap hadir DSBK. Kalau tak lolos, berarti karya saya bukan puisi, melainkan hanya tumpukan kata-kata tak jelas yang kaidah bahasanya jungkir balik.
Akhirnya, peserta terpilih diumumkan 21 Mei 2025. Sastrawan F mengirimi saya file PDF daftar peserta terpilih DSBK diikuti chat WA: “Selamat sejarawan lolos”.
Wah, gak nyangka bet, jawab saya.
F bilang bahwa banyak nama-nama yang dikenal sebagai pegiat literasi atau pengarang buku di Kaltim yang tak lolos. Jelang hari-H DSBK, panitia mengumumkan bahwa dari 130 peserta yang puisinya lolos, tidak semuanya diterbitkan dalam buku antologi. Hanya ada 71 peserta yang puisinya dimuat dalam buku berjudul Jejak Perigi di Tanah Melayu: Antologi Puisi 3 Negara. Itu pun tak semua 5 puisi tiap peserta yang dimuat.
Akhirnya di sebuah hotel pinggir Sungai Mahakam, venue DSBK, saya menjadi peserta yang diberi penginapan gratis 3 hari plus akomodasi. Di sesi pembukaan, Ketua DKD Kaltim Syafril Teha Noer dalam sambutannya mengungkapkan bahwa ada orang-orang yang tak lolos seleksi peserta, melobi panitia supaya bisa diikutsertakan menjadi peserta DSBK. “Bahkan ada yang rela membayar,” ujarnya.
Jadi, seleksi dari ratusan pendaftar pengirim puisi, lolos 130 peserta. Dari 130 difilter lagi menjadi 71 orang yang puisinya diterbitkan dan diluncurkan pada DSBK. Dan puisi saya ada 2 judul yang dimuat pada halaman 88–91, berjudul “Khatib Aksara” dan “Gagasan Parangan”.
“Punyamu yang ngerik ada catatan kakinya, puisi sejarah,” seloroh sastrawan F.
Tapi saya tetap disclaimer bahwa saya bukan penyair, bukan pula sastrawan. Saya tidak akan latah menerbitkan buku puisi, apalagi sampai mendadak jadi pemateri workshop penulisan puisi. Masih banyak sejarah Kaltim yang perlu diteliti dan ditulis.
Pemuatan satu-dua puisi seorang newbie dalam sebuah buku antologi yang juga terdapat puisi para sastrawan populer dan lintas negara, tidak otomatis memvalidasi bahwa puisi individu tersebut berstandar kualitas setara dengan karya sastrawan. Apalagi sekadar foto bareng sastrawan ternama yang diposting di media sosial dengan caption glorifikasi dan flexing. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Labkesprov Kaltim Sabet Peringkat Tiga Nasional di Aslabkesda Awards 2025
- Solidaridad Dukung Kementerian Pertanian dan BPDP Percepat Sertifikasi ISPO untuk Petani Sawit Swadaya di Kaltim
- Program Gratispol Resmi Berjalan, Pemprov Kaltim Minta Masyarakat Laporkan Jika Ada Pungli
- Warga Kaltim Kini Bisa Nikmati Layanan Kesehatan Gratis Cukup dengan Tunjukkan KTP
- Sampah Plastik di Kaltim Capai 19,3 Persen, DLH Gencarkan Edukasi Kurangi Sampah dari Sumbernya