Uncategorized
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah dan DPR Batalkan Pengesahan RKUHP
Kaltimtoday.co - Ribuan orang berunjuk rasa di seluruh Indonesia, Senin (5/12) mendesak DPR untuk tidak mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi undang-undang karena legislasi tersebut dinilai berisi pasal-pasal yang melanggar kebebasan sipil.
Pasal-pasal kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut antara lain ancaman hukuman penjara untuk seks di luar nikah, penghinaan kepada presiden dan lembaga negara serta unjuk rasa tanpa pemberitahuan ke kepolisian.
Aktivis mengancam akan memobilisasi massa lebih besar bila RKUHP tetap disahkan oleh DPR pada Selasa. Jika disahkan, semua peraturan di dalamnya akan berlaku dalam tiga tahun ke depan.
"Kami akan tetap melakukan penolakan. Kami akan semakin banyak dan besar untuk datang ke DPR menolak RKUHP sampai besok," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum, yang bersama aktivis dari LSM lain melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta.
Aktivis mengklaim demo digelar di 40 kota di seluruh Indonesia, termasuk kantor-kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di daerah.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan demonstrasi yang digelar masyarakat mulai dari Banda Aceh hingga Jayapura, merupakan hak warga negara dalam menyampaikan pendapat.
"Namanya unjuk rasa dijamin oleh UU (undang-undang) dan tentunya hal tersebut tidak bisa dilarang karena itu adalah hak dari warga negara untuk menyatakan pendapatnya," terang Dasco kepada jurnalis di kompleks DPR.
Dasco menegaskan, pembuatan RKUHP telah dilakukan secara hati-hati dan pasal-pasal yang mendapat penolakan telah diubah sebagai bentuk kompromi.
“Dan juga pasal demi pasal kita kupas lagi. Beberapa pasal yang kontroversial sudah kita sesuaikan,” kata Dasco.
Menurut draf RKUHP per 30 November, pasal 413 menyatakan orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara selama satu tahun.
Sementara menurut pasal 414, orang yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan dapat dihukum 6 bulan penjara.
Peraturan tersebut merupakan delik aduan, yang berarti polisi hanya bisa melakukan penyidikan pidana bila ada pengaduan oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan dan orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Penambahan syarat itu dinilai sebagai kompromi terhadap kalangan konservatif dan liberal yang bertentangan pendapat soal seks di luar nikah.
Pasal 218 menyatakan bahwa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat” presiden atau wakil presiden dapat dipidana dengan hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp200 juta.
Tindak pidana ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan oleh presiden atau wakil presiden sendiri.
Pasal 240 mengatakan orang yang “menghina pemerintah atau lembaga negara” diancam penjara paling lama 18 bulan. Hukuman bertambah menjadi tiga tahun jika “penghinaan” itu berakibat kerusuhan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan semua lapisan masyarakat yang tidak sepakat dengan KUHP baru bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
[irp posts="68478" name="Sudahkah Rumusan “Living Law” dalam RKUHP Sesuai dengan Realitas Masyarakat Indonesia?"]
“Perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya nanti (disahkan), saya mohon gugat saja di MK, lebih elegan caranya,” kata Yasonna kepada wartawan di Kompleks DPR, Jakarta.
Menurut Yasonna, KUHP yang ada saat ini merupakan produk kolonial Belanda yang sudah tidak relevan diterapkan di Indonesia, sedangkan RKUHP saat ini lebih maju dan sudah dibahas secara teliti dengan menerima masukan dari publik.
Hukuman lebih ringan untuk pelanggar HAM
Selain pasal kontroversial yang dinilai bisa mengebiri hak-hak warga sipil tersebut, RKUHP juga dinilai memberikan hukuman yang lebih ringan bagi pelanggar hak asasi manusia (HAM).
Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Atnike Nova Sugiro menilai adanya kecenderungan penurunan ancaman hukuman penjara di RKUHP dibanding Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Atnike mengatakan UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana untuk kejahatan genosida dengan penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun.
Sedangkan dalam RKUHP, lanjut Atnike, ancaman kejahatan genosida hanya diganjar paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun sebagaimana tertuang dalam Pasal 598.
Atnike menambahkan UU Pengadilan HAM juga mengatur tindak pidana terhadap kemanusiaan dengan ancaman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun.
“Sedangkan dalam RKUHP diatur bahwa ancaman pidana penjara akan tergantung pada delik yang disangkakan, namun paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun seperti dalam Pasal 599 RKHUP,” ucap Atnike dalam keterangannya, Senin.
Menurut Atnike, maksimal hukuman 20 tahun penjara untuk kedua tindak pidana tersebut telah mereduksi sifat kekhususan dari delik perbuatan pelanggaran HAM berat menjadi tindak pidana biasa.
“Hal ini membuat harapan dan cita-cita hukum untuk menimbulkan efek jera maupun ketidakberulangan menjadi tidak jelas,” ucap Atnike.
Atnike khawatir masuknya genosida dan kejahatan kemanusiaan dalam RKUHP akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian yang efektif.
Dalam Pasal 8 UU Pengadilan HAM, kejahatan genosida diartikan sebagai perbuatan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama.
Dalam Pasal 9, kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai perbuatan berbentuk serangan secara meluas atau sistematik, dan ditujukan langsung kepada penduduk sipil, seperti misalnya perbudakan, kekerasan seksual, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, dan lain sebagainya.
Ketua AJI Jayapura Lucky Ireeuw menyatakan pengesahan RKUHP akan berdampak besar bagi kebebasan pers di Indonesia khususnya di Papua karena adanya ancaman pidana penjara.
"Jurnalis Papua menolak pengesahan RKUHP pada Selasa esok. Regulasi ini akan menghambat kebebasan pers di tengah era demokrasi," tegas Lucky.
Pasal 263 RKUHP mengancam pidana penjara hingga 6 tahun bagi siapapun yang terbukti secara sengaja menyebarkan berita bohong dan mengakibatkan kerusuhan di tengah masyarakat.
Sedangkan, Pasal 264 memberi ancaman pidana hingga dua tahun bagi siapapun yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga menyebabkan kerusuhan di tengah masyarakat.
“Keprihatinan semua”
Anggota Komisi I DPR Papua Yonas Nusi menyatakan pihaknya menerima aspirasi para jurnalis Papua.
"Hal ini menjadi keprihatinan kami semua. Kami bersama pimpinan DPR Papua akan membahas dan meneruskan aspirasi ke pusat," tutur Yonas.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dimyati Natakusumah mengatakan partainya menyetujui RKUHP namun dengan sejumlah catatan.
Dia juga menyoroti pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah karena pasal itu rentan disalahgunakan dengan menganggap kritik sebagai penghinaan dan tidak menjelaskan secara rinci batasan mengenai penghinaan.
“Ini akan menjadi persoalan ke depan, dan debatable. Lalu penghinaan kepada wapres dan menteri-menteri kena pasal ini ngga? Karena kritik pedas itu kan bisa jadi penghinaan,” ucap Dimyati.
Pasal 218 draf RKUHP per 30 November menyatakan orang yang menghina presiden atau wakil presiden diancam hukuman tiga tahun penjara.
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal itu.
Pasal 240 juga memberikan penjelasan yang dimaksud dengan “pemerintah” adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[TOS]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.