Kaltim
RKUHP Ancam Kebebasan Pers, AJI: Pemerintah dan DPR Minim Libatkan Publik
Kaltimtoday.co, Jakarta - Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengancam kebebasan pers. Tak hanya itu, sejumlah pasal juga berpotensi mengkriminalisasi pers yang menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, pihaknya mendapati sejumlah pasal karet dalam RKUHP. Pasal-pasal itu berpotensi digunakan sejumlah pihak untuk menyerang atau mengkriminalisasi jurnalis. Ujungnya, kemerdekaan pers yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, akan terancam.
"Jika RKUHP disahkan, kebebasan pers terancam," kata Arif Zulkifli dalam konferensi pers virtual yang digelar Komite Keselamatan Jurnalis, Senin (18/7/2022).
Ada sejumlah pasal bermasalah menurut Arif Zulkifli yang membahayakan kemerdekaan pers. Pasal-pasal tersebut di antaranya, menyangkut pencemaran nama baik, kelengkapan berita, serta penghinaan terhadap kepala negara dan perangkat pemerintah.
Pidana soal kelengkapan berita misalnya, diatur dalam Pasal 264 RKUHP. Pelanggaran pasal ini diancam pidana paling lama 2 tahun penjara.
Ketentuan ini, sebut Arif Zulkifli, menimbulkan kegelisahan di komunitas pers yang bertugas menjalankan amanah publik untuk melakukan kontrol sosial kepada pemerintah lewat berita.
Demi menghindari masalah hukum jika RKUHP disahkan, komunitas pers menurutnya, bakal melakukan penyensoran secara mandiri. Dalam jangka panjang hal itu akan merugikan masyarakat.
Padahal, sebut Arif Zulkifli, berdasarkan UU Pers, pers diberikan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Diatur dalam peraturan Dewan Pers.
Jika komunitas pers disoal masyarakat terkait pemberitaan, masalah tersebut bisa dibawa melalui jalur etik di Dewan Pers, bukan melalui polisi atau pengadilan.
"Pers tetap tidak boleh sewenang-wenang, karena di dalamnya diatur kode etik jurnalistik," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas menegaskan, selama ini pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR minim melibatkan publik secara barmakna. Padahal, hal tersebut sangat penting,
"Kami kecewa pembahasan RKUHP berlangsung tertutup. Pemerintah mengabaikan partisipasi publik," tegas Ika Ningtyas.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disinyalir mengancam kemerdekaan pers.
Azyumardi menilai pembuat undang-undang sejauh ini tidak mengindahkan delapan poin keberatan Dewan Pers terhadap sejumlah pasal dalam draf RKUHP 2019 pada naskah yang terbaru.
"Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan," kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022).
"Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers," imbuhnya.
Pasal-pasal yang dimaksudkan Azyumardi dalam RKUHP terbaru itu beberapa di antaranya adalah Pasal 184 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara, Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Lalu, Pasal 240-241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah.
Kemudian Pasal 263-264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong, Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan, Pasal 302-304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan.
Lalu Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, Pasal 440 tentang Tindak Pidana Penghinaan, serta Pasal 437 dan 443 tentang Tindak Pidana Pencemaran.
Dewan Pers, kata Azyumardi, menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan berpotensi membelenggu kebebasan pers.
Beberapa substansi dalam sejumlah pasal juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Seperti misalnya, larangan menyiarkan hal berbau komunisme marxisme, dan leminisme.
Dalam rancangan aturan itu, apabila tulisan memuat tentang komunisme lalu menimbulkan kegaduhan, jurnalis dapat dipidana dengan ancaman dua tahun penjara meski tulisan itu bernada kritis.
"Kalau misal menimbulkan kegaduhan maka kemudian bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban luka atau ada yang cidera itu hukumannya nambah. Itu contohnya," ujar dia.
Selain itu, Azyumardi juga menilai jurnalis rentan menjadi objek kriminalisasi. Jurnalis tak diperbolehkan mengkritik pemerintah bila tak mengikutsertakan solusi di tulisannya.
"Kalau kita mengkritik ya boleh mengkritik tapi harus ada solusinya. Oleh karena itu media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa kena delik. Walaupun kemudian pihak pemerintah ketika saya tanya soal ini ya dia bilang ya ga harus begitu, tapi kan pengalaman kita pasal-pasal seperti itu seperti pasal karet yang ada di UU ITE," tuturnya.
Ia juga menyayangkan keputusan pemerintah dan DPR yang tak lagi mengundang Dewan Pers untuk mendiskusikan RKUHP. Pasalnya, pembahasan RKUHP perlu melibatkan partisipasi publik, termasuk mereka yang terdampak langsung.
Dewan Pers pun berharap dapat diundang kembali oleh DPR dan pemerintah untuk bersama-sama mengkaji ulang RKUHP.
"Coba diundang, dibahas kembali pasal-pasal yang kontroversial itu agar kita diskusikan kembali. Memang yang kontroversial itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak kontroversial ada banyak, tapi yang kontroversial ini seperti menyangkut kehidupan pers. Itu sangat berbahaya bagi kehidupan pers kita di masa depan," tutupnya.
[TOS]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.