Politik

Minimnya Fasilitas Pendidikan, Guru Honorer, hingga Sistem Zonasi Jadi PR Calon Wali Kota Samarinda

Kaltim Today
19 Oktober 2020 14:10
Minimnya Fasilitas Pendidikan, Guru Honorer, hingga Sistem Zonasi Jadi PR Calon Wali Kota Samarinda

Kaltimtoday.co, Samarinda – Sebelumnya, perihal Covid-19 dan kesehatan sudah dilahap habis oleh ketiga calon Wali Kota (Cawali) Samarinda. Ketiganya punya pandangan masing-masing perihal strategi yang bakal dijalani. Namun, segmen selanjutnya masih menanti yakni soal pendidikan. Berlangsung di Crystal Grand Ballroom Hotel Mercure Samarinda pada Minggu (18/10/2020) I Made Kertayasa selaku moderator mulai memandu jalannya debat. Dia kembali memegang 3 amplop A, B, dan C. Seperti urutan sebelumnya, Zairin memilih amplop terlebih dahulu yakni A.

Pada intinya, pertanyaan itu seputar kondisi pendidikan di wilayah pinggiran Samarinda. Di mana fasilitas pendidikan belum tersedia dan buruk. Contohnya seperti di Barambai yang bahkan tidak ada listrik. 2 guru juga masih berstatus honorer. Maka, solusi apa agar kesenjangan itu bisa ditiadakan dan fasilitas bisa terpenuhi secara layak dan memadai.

Lantas Zairin langsung menjawab. Dia mengatakan bahwa pendidikan di Samarinda ini kemajuannya memang cukup. Hampir 99 persen penduduk tidak ada yang buta aksara. Dia pun mulai menceritakan pengalamannya saat menyambangi Loa Gagak. Berseberangan dengan Loa Duri dan berdekatan dengan daerah Jembatan Mahulu. Di sana ada suatu SD yang memiliki murid sebanyak 60. Namun tempat belajarnya meminjam perusahaan. Tingkat SMP pun fasilitasnya masih ada yang memprihatinkan.

“Kami ada 1 program unggulan di mana bisa meningkatkan infrastruktur ke depan. Jangan ada lagi siswa yang sekolah di bangku peyot dan atap bocor. Harus diperbaiki,” tegas Zairin.

Barkati juga berikan tanggapan. Baginya, seluruh masyarakat tidak bisa menutup mata. Di Samarinda, infrastruktur pendidikan masih ada yang dari kayu dan ruang kelasnya kurang. ke depan tentu tidak ada pilihan lain selain harus rela menyusun anggaran untuk perbaikan fasilitas pendidikan hingga tunjangan tenaga pengajar.

“Kita harus ingat bahwa alokasi anggaran pendidikan merupakan investasi. Kita ingin ciptakan sumber daya manusia yang agamis, sehat, cerdas, dan inklusif. Infrastruktur jadi salah 1 sarana dalam pemberian pelajaran kepada anak-anak kita. Ini juga tidak terlepas dari kebersamaan eksekutif dan legislatif,” ujar Barkati.

Andi pun memiliki pandangan sendiri. Menurutnya, dia tidak melihat pendekatan kasus untuk menyelesaikan kasus secara komprehensif. Langkahnya adalah ketaatan dan kepatuhan terhadap UU. Anggaran pendidikan itu 20 persen. Seandainya seluruh pemimpin daerah mengalokasikan 20 persen tersebut, menurutnya tidak akan terjadi kekurangan infrastruktur. “Gimana pun visinya, kalau tidak ada keinginan pasti tidak terbangun. Periksa APBD, apakah benar-benar sudah teralokasikan 20 persen. Kalau kita patuh dan taat terhadap aturan, tidak akan lagi ada sekolah yang reyot,” tegas Andi.

Kini giliran Andai yang memilih amplop B. Made memberikan penjelasan bahwa berdasarkan data dari Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda terdapat kurang lebih 1.500 tenaga honorer, 70-80 persen di antaranya adalah guru. Sisanya adalah tenaga umum dan yang lain. “Apa langkah konkret Anda untuk meningkatkan status dan kesejahteraan guru honorer di Samarinda? tanya Made.

“Kita harus realistis. Kalau mau gampang, kita naikkan gaji. Sederajatkan dengan UMK sebesar Rp 2,8 juta. Terpenting adalah sistem peningkatan kesejahteraan. Selain bentuk uang, kita harus realistis terhadap kemampuan daerah. Ada fasilitas dari Presiden yang telah disiapkan. Bagi yang tadinya tenaga honorer, sekarang aturan membolehkan kita mengangkatnya jadi Aparatur Sipil Negara (ASN),” jelas Andi.

Ada perbedaan antara ASN dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kalau ASN, tidak mendapat tunjangan pensiun namun gajinya disamakan dengan PNS. Menurut Andi, tidak perlu lagi mencari model dalam bentuk lain karena negara telah menyiapkan model yang paling tepat untuk tenaga honorer. Seandainya terpilih, dia akan mengusahakan tenaga honorer di sektor pendidikan maupun pemerintah bisa diangkat sebagai ASN.

Zairin menyampaikan tanggapan. Dia melihat bahwa guru honorer sangat memprihatinkan. Terlebih dengan gaji Rp 800 ribu per bulan. Dia dan Sarwono berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Harus diberi tambahan, disesuaikan dengan kualitas mengajarnya. “Mereka ini juga kasihan, fasilitas yang diberikan belum mencukupi, perumahan tidak ada. Kami ingin guru honorer gajinya sesuai UMR,” beber Zairin.

Sedangkan Barkati juga tak menampik bahwa guru honorer sangat banyak sekali. Hampir 4.000-an. Mereka bekerja melebihi guru-guru yang berstatus PNS. Pemerintah tidak bisa diam saja. Barkati bersama Darlis Pattalongi akan menambahkan gaji insentif dan tunjangan lain. Sembari menyesuaikan dengan alokasi anggaran Pendapatan Asli Daerah (APD). Itu akan dia usahakan, dan keputusan PNS atau ASN ada di pusat. Namun, dia dan Darlis akan memperjuangkan tenaga honor agar diangkat sebagai pegawai tetap.

Terakhir, amplop C dipilih oleh Barkati. Pertanyaannya seputar sistem zonasi di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMP di Samarinda. Kebijakan ini justru menjadi keresahan orangtua murid. “Meskipun itu kewenangan pusat, upaya apa yang Anda lakukan untuk atasi masalah ini agar tidak terulang?” tanya Made.

Barkati juga mengetahui bahwa kebijakan itu memang dikeluhkan seluruh masyarakat. Ke depannya, dia akan mencari pola agar penerimaan siswa baru bisa lebih baik dan mungkin bagi sekolah-sekolah yang kurang akan ada pembangunan sekolah baru sesuai zonanya. Kebijakan daerah soal penerimaan siswa berprestasi juga jadi opsi.

Bagi Andi, secara nasional mungkin niat pemerintah baik dengan memberlakukan sistem zonasi. Namun, infrastruktur pendidikan di sini tidak begitu merata seperti di Jawa. Menurutnya, jika distribusi SMA merata di tiap zona tentu tidak akan jadi masalah. Oleh sebab itu, dia akan mengomunikasikan itu kepada pemerintah pusat bahwa infrastruktur SMA di Samarinda belum merata di tiap kecamatan. Distribusi yang merata itu akan dibangun. Agar ke depan, persoalan zonasi tidak lagi menjadi masalah.

Sedangkan Zairin berpendapat bahwa filosofi awal dari pemberlakuan zonasi adalah untuk mengatasi sekolah unggulan yang selalu banyak peminatnya. Zairin sepakat kalau zonasi dihilangkan. Justru harus mengembalikan ke masing-masing sekolah agar berkembang sendiri. Sebab tidak cocok kalau dibuat zona. Zairin ingin seluruh siswa bisa menikmati sekolah unggulan.

[YMD | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya