Opini
Nasib Kepala Daerah Petahana: Melawan Covid-19 dan Pilkada
Oleh : Fahmi Prayoga, Analis Kebijakan Publik (Asisten Peneliti Muda Institute for Development and Governance Studies; Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya)
Pemilihan Kepala Daerah secara jadwal akan kembali dilaksanakan pada tahun 2020 ini. Pelaksanaan Pilkada di tengah situasi pandemi Covid-19 ini sebenarnya juga perlu perhatian khusus. Karena ada banyak hal yang bisa sangat mempengaruhi kontestasi politik di tingkat daerah ini sendiri. Misalnya saja bagaimana kemungkinan partisipasi masyarakat untuk memilih di tengah Covid-19 yang belum tentu sudah mereda pada saat hari H pemilihan, bagaimana mekanisme kampanye akbar yang lazim dilaksanakan selama ini, dan hal-hal lain yang bisa berubah karena adanya pandemi saat ini. Namun, pelaksanaan pilkada di masa pandemi bukan berarti tidak ada nilai positifnya utamanya dalam hal upaya penanganan Covid-19 itu sendiri. Khususnya, untuk daerah-daerah yang menyelenggarakan kontestasi.
Kepala daerah petahana memiliki peluang untuk bekerja secara all-out untuk menyelamatkan nasibnya. Momentum pandemi dan Covid-19 ini dapat memaksa kepala daerah untuk berkontribusi lebih dan bekerja lebih keras. Bagi petahana yang berencana maju kembali, baik pada posisi yang sama ataupun naik level, isu penanganan Covid-19 di daerahnya dapat menjadi sebuah pertaruhan.
Petahana tentu tidak selalu diuntungkan dengan pilkada di masa pandemi. Bisa menjadi sebuah boomerang bagi petahana apabila tidak dapat menangani Covid-19 di daerah dengan baik. Data dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menyajikan bahwa, untuk posisi kepala daerah, baik gubernur maupun wali kota/bupati, ada sekitar 207 orang. Sementara pada posisi wakil, ada 245 orang yang memiliki kesempatan itu. Data ini diasumsikan berdasarkan masa jabatan mereka yang baru berjalan satu periode.
Berjalannya Pilkada di tengah pandemi tidak berarti mempolitisasi pandemi. Namun tentu ada dampak lain yang dapat diakibatkan dari adanya Pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini. Contohnya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin terjadi adalah politisasi bansos. Bansos untuk masyarakat terdampak Covid-19 bisa menjadi alat untuk politisasi kepala daerah. Dengan kampanye terselubung, entah misal dengan dresscode tertentu yang harus digunakan pada saat mengambil bansos yang warna dresscode tersebut mengisyaratkan warna partai tertentu. Selain itu sembako yang diberikan pada warga diberi label dan gambar kepala daerah petahana, dan lain sebagainya.
Bansos untuk warga yang terdampak Covid-19 telah kita ketahui bersama masih menuai sejumlah persoalan di lapangan. Misalnya saja bantuan yang tidak tepat sasaran. Bansos yang tidak tepat sasaran ini diakibatkan data yang dimiliki masih tidak sinkron. Padahal sinkronisasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial ini sangat penting.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi menyampaikan bahwa, pemutakhiran data dilakukan enam bulan sekali. BPK menyatakan bahwa dari 514 kabupaten/kota, hanya ada 29 daerah yang tertib melakukan pembaruan data setiap enam bulan. Maka tidak heran jika bansos untuk penanganan pandemi terjadi tidak tepat sasaran dalam penyalurannya. Warga yang butuh sokongan terlewatkan, sementara yang tidak cukup layak menerima justru malah mendapatkan jatah bantuan.
Saat ini sudah sepatutnya seluruh kepala daerah terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk berakselerasi dalam rangka memberantas Covid-19 di Bumi Pertiwi. Pilkada yang akan diselenggarakan pada tahun 2020 ini, seharusnya menjadi pelecut semangat bagi petahana yang ingin kembali berkontestasi untuk meneruskan masa baktinya pada periode berikutnya. Masyarakat tentu harus terus mengawal pelaksanaan penanganan Covid-19 di daerah masing-masing. Selain itu seluruh elemen perlu mengingat pentingnya kebersamaan yang harus dipererat untuk menghadapi krisis Covid-19 yang sedang dihadapi saat ini.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co